Reaksi terhadap PM baru Inggris Boris Johnson di Jerman terpecah antara pro dan kontra. Bagaimana tanggapan politisi dan kalangan bisnis Jerman?
Iklan
Para politisi Jerman terutama menekankan pentingnya persahabatan dan kemitraan Jerman dengan Inggris. Kanselir Angela Merkel (CDU) mengatakan, dia berharap ada "hubungan kerja" yang baik dengan Boris Johnson. "Negara kami akan terus diikat oleh persahabatan erat di masa depan," kata Merkel menanggapi pergantian kepemimpinan di Inggris.
Lewat Twitter, Menteri Luar Negeri Heiko Maas (SPD) menulis, Inggris akan terus menjadi teman dekat Jerman. "Inggris adalah, dan tetap menjadi, bagian dari Eropa, mitra erat dan sahabat Jerman," Maas menambahkan bahwa dia dan Boris Johnson sudah pernah berhubungan ketika mereka bekerja bersama sebagai menteri luar negeri. "Semoga sukses, Boris!" tulis Heiko Maas.
Namun ada juga yang melontarkan kritik lebih keras ke arah Boris Johnson, seperti juru bicara kebijakan luar negeri CDU Jürgen Hardt. "Boris Johnson tentu bukan mitra yang mudah (untuk bekerja sama)," kata Hardt ketika dihubungi DW.
"Dia punya kepribadian yang kuat. Tapi saya tidak berpikir dia akan membuang semuanya begitu saja, karena dia juga ingin menghindari pemilu baru. Itu sebabnya dia harus mewujudkan proses Brexit yang bisa diterima publik Inggris."
Hardt menekankan, Johnson harus mengubah retorikanya yang selama ini memecah-belah dan mencoba menjembatani perpecahan antara kubu pendukung dan penentang Brexit.
"Dia akan membutuhkan banyak kreativitas untuk itu. Namun masih ada masalah Uni Eropa-Inggris dan Jerman-Inggris yang lainnya, di mana kita membutuhkan Boris Johnson dan Inggris, misalnya soal kebijakan luar negeri dan keamanan, terutama dalam sengketa dengan Iran saat ini."
Apa kecenderungan politik Boris Johnson?
Ralf Stegner, Wakil Ketua SPD, juga membunyikan nada peringatan. "Johnson termasuk jenis politisi yang hari ini mengatakan ini dan besok itu. Dalam hal ini, tentu akan banyak kejutan, tapi situasi mayoritas di Parlemen Inggris tidak berubah. Mereka sangat kritis terhadap dia, dan karena itu proses Brexit tidak hanya akan sulit bagi Eropa, tetapi juga secara ekonomi mungkin merupakan bencana yang lebih besar bagi Inggris."
Stegner tidak berbasa-basi ketika ditanya tentang kualifikasi Johnson sebagai perdana menteri. "Theresa May tidak mencapai banyak hal, dan melihat AS kita tahu bahwa segala sesuatunya dapat selalu menjadi lebih buruk. Kekhawatiran saya adalah, bahwa Johnson jatuh ke dalam pola gaya itu. Beberapa posisinya seperti bingung dan membingungkan, dan di beberapa bagian bahkan anti-Eropa, dan saya pikir kita akan melihat dia jadi lebih dekat dengan Donald Trump."
Franziska Brantner, juru bicara kebijakan Eropa dari Partai Hijau bahkan mengeluarkan kecaman lebih keras lagi. "Johnson telah menjadi pembohong kroni terkait isu Uni Eropa, jadi kami perkirakan, (situasi) akan sulit. Kami berharap parlemen (Inggris) akan tetap memakai akal sehat dan akan mencegah Brexit tanpa kesepakatan (No Deal)," kata Fransiska Brantner kepada DW.
Kalangan bisnis Jerman mengaku sangat prihatin tentang dampak No-Deal-Brexit, jika itu terjadi. Direktur Federasi Industri Jerman (BDI) yang berpengaruh, Joachim Lang, memperingatkan Boris Johnson agar tidak bermain-main dengan Brexit.
"Ekonomi ingin Brexit terjadi dalam proses yang teratur, dan bukan skenario tanpa kesepakatan. Jadi, dengan kesepakatan dan itu sudah ada dan tidak bisa dinegosiasikan ulang."
Dia menambahkan, sekarang pun dampak ekonomi Brexit pada Inggris sudah terasa. "Inggris dulunya adalah mitra dagang nomor 5 terbesar Jerman. Tahun lalu turun menjadi peringkat 6, tahun ini menjadi 7. Jadi, meskipun Brexit belum terwujud, kita sudah melihat dampak negatifnya," tandas Joachim Lang. (hp/ae)
Brexit: Tarik Ulur Politik Inggris Keluar Dari Uni Eropa
Inggris kejutkan dunia dengan hasil referendum 23 Juni 2016 yang sepakat keluar dari Uni Eropa. Mulailah rentang waktu penuh kisruh, tarik uluk dan adu kekuatan politik di Eropa terkait Brexit.
Foto: picture-alliance/empics/Y. Mok
Juni 2016: Kehendak Rakyat Inggris
Hasil referendum yang diumumkan 24 Juni 2016, hampir 52 persen dari pemilih setuju, Inggris keluar dari Uni Eropa. Perdana Menteri Inggris saat itu, David Cameron dari partai konservatif menerima "kehendak rakyat Inggris, dan mengundurkan diri sehari setelah referendum..
Foto: picture-alliance/dpa/A. Rain
Juli 2016: Brexit berarti Brexit
Mantan Menteri Dalam Negeri, Theresa May gantikan posisi Cameron sebagai Perdana Menteri pada 11 Juli. Ia menjanjikan´Brexit berarti Brexit´. Sebelumnya, May diam-diam dukung kampanye Inggris tetap di Uni Eropa. Dia tidak secara jelas mengatakan kapan akan memulai pembicaraan diberlakukannya Pasal 50 Perjanjian Uni Eropa terkait masa dua tahun sebelum Inggris resmi keluar Uni Eropa.
Foto: Reuters/D. Lipinski
Maret 2017: Kami siap Berpisah
May tandatangani nota diplomatik untuk memulai Pasal 50, 29 Maret. Beberapa jam kemudian, Duta Besar Inggris untuk UE, Tim Barrow serahkan nota itu kepada Presiden Dewan Eropal, Donald Tusk. Inggris dijadwalkan keluar dari Uni Eropa 29 Maret 2019. Tusk merespon nota itu dengan komentar: “Kami sudah siap berpisah. Terima kasih dan selamat tinggal”.
Foto: picture alliance / Photoshot
Juni 2017: Perundingan Dimulai
Menteri Brexit, David Davis dan ketua jururunding UE, Michel Barnier memulai perundingan di Brussel pada 19 Juni. Perundingan pertama diakhiri dengan kesepakatan Inggris akan mematuhi aturan UE terkait sisa negosiasi. Tahap pertama membahas persyaratan keluarnya Inggris dan tahap kedua membahas hubungan UE dan Inggris pasca-Brexit.
Foto: picture alliance/ZUMAPRESS.com/W. Daboski
Juli – Oktober 2017: Uang, Hak-hak dan Irlandia
Tahap kedua perundingan dimulai dengan berfoto bersama tim Inggris yang terlihat tak siap. Perundingan gagal raih kemajuan terkait tiga masalah pasca-Brexit: Berapa banyak yang masih harus dibayar Inggris ke anggaran UE, bagaimana dengan hak warga negara UE dan Inggris dan apakah Inggris tetap dapat membuka perbatasan antara Irlandia dan Irlandia Utara.
Foto: Getty Images/T.Charlier
November 2017: May Tunjukkan Kemajuan?
Kemajuan baru terlihat setelah putaran perundingan ke-6 di awal November. Inggris setuju untuk membayar 57 miliar Euro atau sekitar Rp 900 triliun sebagai “biaya perceraian”. Awalnya May hanya mau membayar 20 juta, padahal UE telah menghitung biayanya sebesar 60 juta Euro. Laporan konsensi Inggris ini memicu kemarahan di kalangan politikus dan media pro-Brexit.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Hoppe
Desember 2017: Maju ke fase ke-2
Para pimpinan dari 27 anggota UE secara resmi menyetujui “kemajuan yang cukup” itu untuk diteruskan ke fase kedua: transisi periode pasca-Brexit dan masa depan hubungan perdagangan UE-Inggris. Perdana Menteri Theresa May mengungkapkan kegembiraannya atas keputusan ini, sebaliknya Presiden Dewan Eropa, Tusk memperingatkan bahwa perindingan putaran kedua akan “sangat sulit.
Foto: picture-alliance/AP Photo/dpa/O. Matthys
September 2018: Tidak ada ceri untuk Inggris
Proposal May tidak berjalan mulus. Pada pertemuan puncak di Salzburg akhir September, para pimpinan UE sampaikan kepada May bahwa proposalnya tidak dapat diterima. Presiden Dewan Eropa,Tusk menyindir May lewat Instagram dengan postingan foto mereka yang sedang melihat sepotong kue: “Sepotong kue barangkali? Maaf, tidak ada ceri”. Ini sindiran bahwa Inggris cuma mau keuntungan sepihak dari Eropa.
Foto: Reuters/P. Nicholls
November 2018: Kemajuan di Brussel
Para pimpinan UE dukung draft kesepakatan perceraian serta deklarasi politis soal hubungan pasca-Brexit setebal 585 halaman. Draft ini dikecam habis anggota parlemen yang pro maupun kontra Brexit dalam perdebatan di Parlemen Inggris beberapa minggu sebelumnya. Menteri Brexit, Dominic Raab bersama dengan beberapa menteri mencoba memicu mosi tidak percaya di bulai Mei.
Foto: Getty Images/AFP/E. Dunand
Desember 2019: May Lolos Dari Mosi Tidak Percaya
Menghadapi oposisi yang sulit, May menunda pemungutan suara di parlemen pada 10 Desember. Besoknya ia bertemu Kanselir Jerman, Angela Merkel untuk mencari kepercayaan diri dalam meyakinkan para anggota parlemen yang skeptis kembali ke kesepakatan. Sementara ia pergi, anggota parlemen dari Partai Konservatif ajukan mosi tidak percaya. May menang mosi kepercayaan di hari berikutnya.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Januari 2019: Kesepakatan ditolak
Kesepakatan Brexit May, ditolak Parlemen Inggris dengan 432 suara dan hanya 202 suara mendukungnya. Sebagai respon hasil tersebut, Presiden Dewan Eropa, Donald Tusk sarankan agar Inggris tetap bertahan di Uni Eropa. Partai Buruh Inggris menyerukanmosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri. Ini adalah tantangan berat dalam kepemimpinan kedua May dalam bulan-bulan terakhir.