1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Politisi Korup di Bangladesh

30 Januari 2008

Budaya korupsi telah mengakar dalam masyarakat Bangladesh. Para politisi melakukan aksi suap dalam pemilihan, membeli suara, dan berbisnis dengan para pengusaha.

Suasana kota Dhaka di BangladeshFoto: picture-alliance/ dpa

Menurut Christian Wagner, pakar Asia Selatan, budaya korupsi memang sudah menjadi keseharian dalam politik negara tersebut.

“Partai dan anggota parlemen menyediakan uang mereka bagi perkembangan wilayah pemilihan mereka. Ini sudah terjadi selama bertahun-tahun. Kubangan korupsi ini menular kepada sistem politik .“

Sekitar 1,5 milyar Dolar nilai korupsi yang dilakukan politik dan perekonomian negara ini setiap tahunnya. Demikian keterangan dari organisasi anti korupsi Transparency International. Ini hampir tiga persen dari hasil keseluruhan perekonomian negara ini. Sebagai salah satu negara yang terkorup, Bangladesh rutin berada dalam urutan teratas indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan Transparency International setiap tahun. Semenjak pemerintahan transisi berada di bawah pimpinan mantan kepala Bank Sentral dan pegawai Bank Dunia Fakhrudin Ahmed, dikeluarkan peraturan khusus untuk memerangi korupsi. Menurut Christian Wagner, mereka telah mencapai beberapa hal yang positif dengan langkah tersebut.

"Pemerintahan transisi berhasil mengungkit kembali masalah yang semenjak bertahun-tahun menyangkut kedua pimpinan partai dan menuntut pertanggungjawaban mereka. Juga dalam kasus korupsi. Saya rasa, proses ini masih memakan waktu yang lama, hingga kita memiliki sistem partai yang bisa mengatasi korupsi.“

Namun, menurut Syed Anwar Husein, ahli sejarah Universitas Dhaka, seharusnya dalam setahun pemerintahan transisi mencapai hasil yang lebih dari itu. Apalagi menjelang pemilihan parlemen akhir tahun ini.

"Jika kita berbicara tentang reformasi politik, menurut saya belum ada langkah konkrit yang diambil. Saat pemilihan yang akan berlangsung beberapa bulan lagi, kita akan melihat, bahwa masih partai politik ynag sama yang akan ikut serta dan juga pribadi politik yang sama juga. Kecuali mereka yang tengah diproses pengadilan dan telah divonis.“

Untuk mencegah terjadinya kecurangan dalam pemilihan mendatang, pemerintah membentuk suatu komisi pemilihan independen yang tidak berada di bawah pengawasan perdana menteri. Para pakar menilai, harus ditunggu terlebih dahulu apakah komisi ini akan benar-benar mampu bekerja secara independen. Pada langkah selanjutnya peraturan tentang pengawasan dan pembiayaan partai harus disusun ulang. Dengan ini, suatu saat nanti, budaya korupsi lambat laun tidak lagi menjadi ciri khas negara Bangladesh. (vl)