1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

Polusi Udara Jakarta: Kulit Wajah Juga Ikut Menderita

22 Agustus 2023

Sebagian warga Jakarta tidak bisa lepas dari masker saat beraktivitas di luar ruang guna kurangi dampak negatif polusi udara. Namun kulit juga ikut menderita akibat pemakaian masker terus-menerus.

Polusi udara di Jakarta, foto diambil pada 21 Juni 2023
Polusi udara di Jakarta, foto diambil pada 21 Juni 2023Foto: Eko Siswono Toyudho/AA/picture alliance

Berkendara menembus kemacetan di jalan raya menuju tempat kerja tidak bisa dielakkan bagi sebagian besar penduduk megapolitan Jakarta. Apalagi akhir-akhir ini, mereka juga harus menghadapi kualitas udara Jakarta yang semakin buruk.

Natalia Bulan misalnya. Sejak satu tahun tinggal di kota yang dihuni lebih dari 11 juta jiwa ini, ia harus selalu mengenakan masker untuk melindungi pernapasannya dari asap knalpot kendaraan bermotor dan debu.

Satu jam bersepeda motor dari kediamannya di Kalibata menuju kantor lembaga riset kebijakan publik tempatnya bekerja di Cilandak, perempuan asal Semarang ini mendapati wajahnya kusam dan berjerawat saat melepas masker.

"Mukaku jerawatan di mana-mana. Di jidat, pipi, dan rahang," kata Natalia sambil menunjukkan jerawatnya kepada DW Indonesia.

Wajah perempuan berusia 29 tahun tersebut telah berjerawat saat harus menggunakan masker wajah sejak pandemi COVID-19. Namun, impiannya untuk segera bebas masker seusai pandemi tidak kunjung terwujud. Hingga kini ia harus tetap mengenakan masker setiap bepergian ke luar rumah untuk mengurangi dampak negatif polusi udara di sistem pernapasannya.

"Aku punya asma. Aku pernah kena radang tenggorokan. Rasanya sesak kalau ga pakai masker, menghirup udara yang kelihatannya ada asap tapi tipis," terang Natalia.

Hybrid working, solusi atasi polusi?

Presiden Joko Widodo pun membahas permasalahan buruknya kualitas udara di ibu kota dalam rapat terbatas. Dalam cuitannya, Presiden Jokowi mengatakan bahwa pada tanggal 13 Agustus 2023, indeks kualitas udara DKI Jakarta berada di angka 156 atau tidak sehat.

Pemerintah mengatakan ada beberapa faktor yang berkontribusi pada perburukan kualitas udara di Jakarta. Misalnya, pembuangan emisi dari transportasi dan kegiatan industri di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). 

Pemerintah kemudian mengusulkan solusi jangka pendek untuk mengantisipasi permasalahan ini yaitu memperbanyak ruang terbuka hijau, mendorong kantor-kantor melaksanakan hybrid working yakni dengan mengombinasikan bekerja dari kantor dan rumah.

Natalia menuturkan bahwa tempat dia bekerja sudah menerapkan kombinasi bekerja dari kantor dan rumah. Namun, ia berpendapat sistem kerja tersebut belum menjawab permasalahan polusi udara.

"Ga ngaruh karena kita tetap punya aktivitas lain di luar rumah selain bekerja," ujar Natalia.

Ia mengaku harus ekstra rajin dalam menyikapi permasalahan kulit wajahnya. Natalia pun kerap membeli produk-produk perawatan kulit wajah. Setiap tiga bulan sekali ia merogoh kocek sekitar Rp. 200,000,- untuk membeli obat totol jerawat, serum, pelembab, dan pelindung tabir surya.

Tidak hanya itu, untuk menunjang kesehatan kulit wajah, Natalia juga mengonsumsi air putih, buah, serta rutin berolahraga.

Masker saja dinilai tidak cukup

Kendati masker bisa memproteksi wajah dari kuman dan debu, hal tersebut dinilai belum cukup untuk melindungi wajah dari paparan polusi udara, menurut dokter Aulia Nurul Fatimah, dokter estetika wajah yang berpraktik di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Dokter Aulia menyarankan penggunaan krim tabir surya sebelum bepergian. Ia memaparkan bahwa kulit manusia menyerap sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh matahari alih-alih memantulkannya. Terutama di kulit wajah.

Bentuk perawatan lainnya yang bisa mengurangi permasalahan wajah adalah rutin mencuci muka sehari dua kali. Upaya-upaya menjaga kesehatan kulit wajah perlu dilakukan sebelum seseorang pergi keluar rumah dan menggunakan masker, ujarnya.

Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa dampak jangka pendek dari paparan polusi udara yang mudah terlihat adalah wajah terlihat kusam. Selain itu, siapa pun juga rentan dengan permasalahan wajah bila menggunakan masker berjam-jam. Jerawat muncul tidak hanya karena paparan polusi udara, tambahnya.

"Efek (memakai) masker berjam jam tidak hanya orang berjerawat (walaupun) memang mereka lebih banyak masalah. Udah ketutup, berkeringat jadi satu, belum lagi kena polusi," ujar dokter Aulia. Oleh karena itu, siapa pun harus bisa memilih masker dengan bahan yang cocok dengan kulit wajah masing-masing, kata dokter Aulia. 

Ia menegaskan dampak jangka panjang yang bisa muncul bertahun-tahun bila wajah sering terpapar polusi udara. Kulit akan rusak dari dalam karena jaringan kulitnya terkena banyak radikal bebas bila tanpa melakukan perawatan wajah, tambahnya.

"Efek jangka panjang yang paling ditakuti adalah kanker kulit," tegasnya.

Kurangi pemakaian bahan bakar fosil

Polusi udara ditengarai terjebak di antara belantara gedung-gedung tinggi di Jakarta, ujar Shahnaz Nur Firdausi, peneliti energi dan iklim di Institute for Essential Services Reform (IESR). Shahaz menuturkan bahwa penurunan kualitas udara di Jakarta juga disebabkan oleh emisi dari transportasi, konstruksi, dan pembangkit listrik.

Oleh karena itu perlu disusun regulasi yang dapat mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil untuk menurunkan emisi dari sektor energi, imbuhnya. Sejauh ini, menggunakan transportasi umum dan hybrid working masih menjadi pilihan bagi publik untuk berkontribusi mengurangi emisi, ujarnya. 

Salah satu cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang kerap didengungkan adalah menggunakan kendaraan bertenaga listrik. Kendati demikian, Shahnaz menyoroti bahwa kendaraan bertenaga listrik tidak serta-merta mengurangi polusi.

"Polusinya bukan dari knalpot, tapi dari listrik yang dihasilkan dari batu bara," kata Shahnaz kepada DW Indonesia.

Maka, untuk bisa menghasilkan energi yang bersih, pemerintah Indonesia bisa mencari alternatif sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Ia mencontohkan Indonesia bisa memaksimalkan sumber energi terbarukan dari tenaga matahari, angin, dan air.

"(Bila) kendaraan bertenaga listrik dan sumber energi terbarukan bisa berjalan bersamaan, hasilnya akan lebih baik," kata Shahnaz kepada DW Indonesia. (ae)

Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait