1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Waria Indonesia Dapat Bernaung di Pondok Pesantren

16 Oktober 2018

Hanya di pesantren Al-Fatah, waria di Indonesia dapat merasa aman. Di pesantren yang terletak di Yogyakarta itu, mereka bisa berdamai dengan Tuhan dan bukannya dipandang sebagai orang berdosa karena jadi transgender.

Indonesien Transgender Boarding School
Foto: Getty Images/U. Ifansasti

Shinta Ratri, pengasuh pondok pesantren Indonesia, membenarkan pelafalan para anggota pondokan saat mengucapkan "hanya ada satu Tuhan” dalam Bahasa Arab. Tak lama setelah itu, mereka pun bersiap untuk shalat. Tidak ada yang janggal, selain jemaah yang berkumpul di permukiman padat penduduk di Kotagede, Yogyakarta tersebut, semuanya adalah perempuan transgender.

Tidak mudah untuk secara terbuka menjadi waria, ketika begitu banyak penolakan yang mendesak mereka untuk menyembunyikan identitasnya.

Aktivis HAM menyebutkan kehadiran kelompok Islam garis keras menjadi pemicu terkikisnya sikap toleran yang selama ini hadir di tengah masyarakat terhadap waria - sebuah singkatan untuk "wanita" dan "pria". 

Shinta Ratri (posisi tiga dari kanan) adalah pemilik pondok pesantren untuk transgenderFoto: DW

Ratri yang saat ini berusia 56 tahun dan rekannya sesama waria menyaksikan intimidasi ini secara langsung tahun 2016 lalu, ketika kelompok Front Jihad Islam (FJI) menuntut penutupan pesantren Waria Al-Fatah.

Yuri Shara (51) menggambarkan bagaimana sekelompok pria berjubah putih dan kopiah bersikap "agresif” ketika mendatangi pesantren itu setelah shalat Jumat.

"Saya merasa marah karena kebebasan saya, terutama kebebasan saya untuk beragama, dilanggar,” kata Shara yang ditinggal di pesantren. "… Bahkan negara tidak sepenuhnya menjamin keselamatan kami dari kelompok-kelompok ini,” ucapnya menambahkan sambil melepaskan rambut palsunya serta membersihkan dandanan sebelum beranjak mengikuti teman-temannya untuk sholat.

Kelompok anti-waria

Pesantren yang didirikan tahun 2008 lalu itu sempat kosong selama empat bulan pasca penggerebekan FJI tersebut, namun perlahan satu demi satu anggota pesantren datang kembali ke tempat yang kini dianggap sebagai lokasi aman bagi komunitas waria. Meski kehadiran pesantren tersebut tidak mendapat penolakan dari warga sekitar, namun kelompok penentang tetap ada.

"Kami percaya, sudah tugas kami sebagai Muslim untuk mencegah perilaku LGBT semacam ini dan melarangnya,” ujar Umar Said, juru bicara FJI yang juga aktif memimpin Forum Umat Islam DIY. 

Meski FUI tidak "mengincar" waria, namun kelompok ini tetap berkomitmen untuk mencegah komunitas waria mengampanyekan hak-hak mereka. Menjadi transgender adalah penyakit yang bisa disembuhkan melalui ibadah, imbuh Umar Said.

Waria di tengah masyarakat

Secara historis, waria atau kelompok gender tidak pasti lainnya (gender fluid) telah diterima sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Suku Bugis di Sulawesi misalnya secara tradisional mengakui lima jenis kelamin. Ada kelompok yang disebut calabai, merujuk pada laki-laki yang hidup sebagai perempuan. Ada juga istilah "bissu" yang artinya orang yang bukan perempuan dan bukan laki-laki yang memiliki posisi penting dalam adat Bugis. 

Homoseksualitas tidak diatur dalam hukum di Indonesia, kecuali di provinsi ultra-konservatif di Aceh lewat aturan syariah yang melarang hubungan sesama jenis. Namun DPR RI sedang mempertimbangkan untuk merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk memberlakukan pembatasan hubungan seksual di luar nikah – sebuah langkah yang menurut aktivis bisa digunakan untuk menargetkan kelompok LGBT.

Berdamai dengan Tuhan

Bahkan tanpa batasan hukum tersebut, banyak komunitas LGBT yang dikucilkan keluarga dan masyarakat, mereka juga mengalami diskriminasi saat mencari pekerjaan, dan dalam beberapa kasus, kerap mengalami tindakan kekerasan dan dipermalukan.

Banyak waria yang diusir dari rumah mereka, sehingga berakhir sebagai pekerja seks, termasuk sebagian dari yang mulai kembali berkumpul di pesantren milik Ratri untuk menunaikan ibadah shalat hari itu.

Bagi Arif Nuh Safri, seorang ustad di salah satu pesantren di Yogyakarta, merangkul kaum waria adalah bagian dari tugasnya. Saat pengajian berlangsung, Safri mendorong umatnya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersembunyi tentang seksualitas mereka dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi hubungan mereka dengan Tuhan.

"Selama kita bisa terhubung satu sama lain dalam konteks kemanusian, kita bisa saling menerima pribadi masing-masing sebagaimana adanya," ungkap Safri sambil menambahkan bahwa dia percaya sebagian besar warga Indonesia memiliki "pemikiran terbuka" seperti dirinya.

Ratri yang memakai kerudung ungu dan memakai eye-shadow dan lipstik berwarna merah cerah mengatakan sikap terbuka demikianlah yang memungkinkan waria yang biasanya dijauhi dapat "berdamai dengan Tuhan".

"Sebagai waria, kami berada dalam stres psikologis yang luar biasa," ungkapnya, "Di sini kami percaya bahwa kami bukan pendosa karena menjadi transgender."

ts/hp (reuters)