Waria Indonesia Dapat Bernaung di Pondok Pesantren
16 Oktober 2018
Hanya di pesantren Al-Fatah, waria di Indonesia dapat merasa aman. Di pesantren yang terletak di Yogyakarta itu, mereka bisa berdamai dengan Tuhan dan bukannya dipandang sebagai orang berdosa karena jadi transgender.
Iklan
Shinta Ratri, pengasuh pondok pesantren Indonesia, membenarkan pelafalan para anggota pondokan saat mengucapkan "hanya ada satu Tuhan” dalam Bahasa Arab. Tak lama setelah itu, mereka pun bersiap untuk shalat. Tidak ada yang janggal, selain jemaah yang berkumpul di permukiman padat penduduk di Kotagede, Yogyakarta tersebut, semuanya adalah perempuan transgender.
Tidak mudah untuk secara terbuka menjadi waria, ketika begitu banyak penolakan yang mendesak mereka untuk menyembunyikan identitasnya.
Aktivis HAM menyebutkan kehadiran kelompok Islam garis keras menjadi pemicu terkikisnya sikap toleran yang selama ini hadir di tengah masyarakat terhadap waria - sebuah singkatan untuk "wanita" dan "pria".
Yuri Shara (51) menggambarkan bagaimana sekelompok pria berjubah putih dan kopiah bersikap "agresif” ketika mendatangi pesantren itu setelah shalat Jumat.
"Saya merasa marah karena kebebasan saya, terutama kebebasan saya untuk beragama, dilanggar,” kata Shara yang ditinggal di pesantren. "… Bahkan negara tidak sepenuhnya menjamin keselamatan kami dari kelompok-kelompok ini,” ucapnya menambahkan sambil melepaskan rambut palsunya serta membersihkan dandanan sebelum beranjak mengikuti teman-temannya untuk sholat.
Kehidupan Waria di Kampung Bandan
Kampung Bandan di Jakarta Utara akan disulap menjadi stasiun megah. Di kampung ini menetap para waria yang hidupnya tergantung pada area itu. Banyak dari mereka mengonsumsi obat anti letih. Simak bagaimana kesehariannya.
Foto: DW/M. Rijkers
Membebaskan diri dari kekangan sosial
Sore hari Kezia sudah selesai merias wajah dan menata rambutnya. Sabtu adalah malam panjang buat waria seperti Kezia. Kezia sudah siap mengamen sebagai pekerjaan utamanya. Lahir sebagai Reza, Kezia memilih menjadi waria dan tinggal di Kampung Bandan, kawasan padat penduduk miskin meski ayahnya tergolong mampu dan sudah membelikan rumah untuk anak laki-lakinya di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat.
Foto: DW/M. Rijkers
Berjalan jauh dengan hak tinggi
Gaun, tas dan sepatu hak tinggi merupakan andalan Darno yang mengubah namanya menjadi Vera, dalam meraup rupiah. Dari jam 19 hingga 2 pagi, Vera menelan sirup obat batuk merek tertentu sebanyak 30 bungkus per hari agar kuat berjalan jauh, mengamen. Pilihan lain.,obat penenang atau pereda sakit yang dibeli dari apotek secara diam-diam. Pemakaian obat secara berlebihan bisa berakibat fatal.
Foto: DW/M. Rijkers
Ruang hidup di kamar sempit
Di kamar kontrakan berukuran 1,5 x 2,5 meter seharga 400 ribu rupiah sebulan ini, Ella dan Dede tinggal bersama. Pasangan ini sudah hidup bersama selama tujuh tahun. Dede bekerja menyewakan alat mengamen untuk para waria dengan ongkos lima puluh ribu rupiah seminggu.
Foto: DW/M. Rijkers
Komitmen pada kesetiaan
Ella bekerja mengamen tanpa kencan dengan pria lain karena ia sudah berkomitmen setia pada Dede. Sama seperti Vera, Ella mengaku memerlukan obat-obatan agar tidak letih berjalan kaki.
Foto: DW/M. Rijkers
Terbiasa hidup dengan obat anti letih
Kosmetik termasuk kebutuhan utama para waria. Alas bedak, bedak dan umumnya setiap waria bisa dandan sendiri. Namun ada kalanya para waria saling bantu merias wajah teman. Seperti yang lainnya, merekapun mengkonsumsi obat anti letih.
Foto: DW/M. Rijkers
Siap mencari nafkah
Butuh waktu minimal dua jam untuk merias wajah, mengubah raut muka pria menjadi perempuan. Selain rias wajah, rambut palsu atau wig menjadi pelengkap andalan para waria.
Foto: DW/M. Rijkers
Operasi payudara di Singapura
Christine operasi payudara di Singapura pada tahun 2015 silam. Butuh biaya 12 juta rupiah untuk menambah silikon padat seberat 100 cc. Christine mengaku bekerja sebagai PSK di Taman Lawang. Sama seperti Vera dan Ella, Christine mengaku mengonsumsi obat-obatan agar kuat berdiri dan tidak lekas lelah.
Foto: DW/M. Rijkers
Ketika mereka sakit...
Emak tinggal di kamar berdinding tripleks di lantai atas sebuah kamar kontrakan di Kampung Bandan. Sewa kamar sempit ini 250 ribu rupiah sebulan. Hari itu Emak sedang sakit di bagian kanan perut dan rongga dadanya sehingga ia tidak mengamen.
Foto: DW/M. Rijkers
Layanan kesehatan gratis belum diperoleh
“Saya baru mau periksa dokter nanti kalau pulang ke Cikarang,” tutur Emak sendu. Layanan kesehatan gratis bagi warga belum bisa diakses oleh kelompok marjinal ini.
Foto: DW/M. Rijkers
Aktif ikuti kegiatan rohani
Dian waria tertua di Kampung Bandan. Usianya sudah 67 tahun. Ia menjadi waria ketika berusia 19 tahun. Karena sudah tua, Dian cuma mengamen 2 kali seminggu. Waria kerap dinilai tak peduli soal keimanan. Namun Dian, yang baru memeluk agama Kristen, mengaku cukup relijius. Dian aktif mengikuti kegiatan rohani serta datang beribadah setiap Minggu di gereja. Saat beribadah ia memakai pakaian pria.
Foto: DW/M. Rijkers
Akan disulap menjadi stasiun
Terletak di kawasan Mangga Dua, Jakarta Utara, Kampung Bandan dikenal sebagai kampung waria. Saat ini ada sekitar 27 waria yang tinggal di sini, area padat penduduk di pinggir rel kereta api. Biaya sewa kamar bervariasi mulai dari 200 ribu hingga 400 ribu rupiah sebulan.
Foto: DW/M. Rijkers
Tantangan dari luar
Beberapa kalangan warga Kampung Bandan tidak menolak kehadiran para waria. Tantangan sebagai waria justru datang dari kelompok ormas keagamaan yang kerap menyerang waria jika bertemu di kendaraan umum atau di jalanan. Jika kampung ini berubah wajah menjadi stasiun modern, bagaimana nasib mereka nanti?(Monique Rijkers/ap/vlz)
Foto: DW/M. Rijkers
12 foto1 | 12
Kelompok anti-waria
Pesantren yang didirikan tahun 2008 lalu itu sempat kosong selama empat bulan pasca penggerebekan FJI tersebut, namun perlahan satu demi satu anggota pesantren datang kembali ke tempat yang kini dianggap sebagai lokasi aman bagi komunitas waria. Meski kehadiran pesantren tersebut tidak mendapat penolakan dari warga sekitar, namun kelompok penentang tetap ada.
"Kami percaya, sudah tugas kami sebagai Muslim untuk mencegah perilaku LGBT semacam ini dan melarangnya,” ujar Umar Said, juru bicara FJI yang juga aktif memimpin Forum Umat Islam DIY.
Meski FUI tidak "mengincar" waria, namun kelompok ini tetap berkomitmen untuk mencegah komunitas waria mengampanyekan hak-hak mereka. Menjadi transgender adalah penyakit yang bisa disembuhkan melalui ibadah, imbuh Umar Said.
Waria di tengah masyarakat
Secara historis, waria atau kelompok gender tidak pasti lainnya (gender fluid) telah diterima sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Suku Bugis di Sulawesi misalnya secara tradisional mengakui lima jenis kelamin. Ada kelompok yang disebut calabai, merujuk pada laki-laki yang hidup sebagai perempuan. Ada juga istilah "bissu" yang artinya orang yang bukan perempuan dan bukan laki-laki yang memiliki posisi penting dalam adat Bugis.
Selain ketoprak dan wayang kulit, ludruk merupakan seni budaya tradisional yang lama mengakar dalam masyarakat Jawa Timur. Kehadiran waria menjadi bagian dari seni itu sendiri.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Tak lekang dimakan zaman
Berbagai jenis kesenian modern terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Namun pertunjukan ludruk masih terus bertahan. Selain menampilkan hikayat, kisah-kisah yang diangkat dalam ludruk tak lepas dari cerita keseharian masyarakat. Cerita dan tari gemulai yang dibumbui lawakan yang diiringi dengan alunan musik gamelan ini jadi tontonan yang banyak ditunggu penggemarnya.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Meraih penghargaan
Salah satu kelompok ludruk yang terkenal di Mojokerto, Jawa Timur adalah Ludruk Karya Budaya. Kelompok kesenian ini lahir tanggal 29 Mei 1969. Dalam kiprahnya di dunia kesenian tradisional, kelompok Ludruk Karya Budaya Mojokerto telah mengantungi banyak perhargaan. Tahun 2010, grup ini mendapat penghargaan dari gubernur Jawa Timur karena dianggap memperhatikan kesejahteraan anggotanya.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Karena tak boleh sepanggung
Pada awalnya seluruh pemain dalam kelompok seni ini adalah laki-laki. Dalam risetnya "Eksistensi Transgender dalam Hiburan Masyarakat Pedesaan", Ganisa Rumpoko menulis, kehadiran waria dalam ludruk, berawal dari aturan di pesantren Jawa Timur—yang melarang lelaki dan perempuan sepanggung. Maka, ludruk diisi oleh pria yang berdandan layaknya perempuan, untuk menggantikan peran perempuan asli.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Kehadiran waria
Antropolog AS James L. Peacock yang meneliti ludruk menyebutkan ludruk sudah ada sejak abad ke-13, pada masa Kerajaan Majapahit. Namun data soal saksi mata pertama yang menonton pertunjukan ludruk ditemukan tahun 1800-an. Saksi mata menggambarkan tokoh ludruk berupa pemain dagelan dan waria. Waria yang tampil dalam panggung ludruk terus berlanjut hingga ke bentuknya yang mendekati teater.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Tantangan isu LGBT
Berikut Neni Wijaya sebelum bersiap pentas dan siap pentas. Ia menjadi penari dalam panggung ludruk. Tahun 2016, tentangan terhadap keberadaan lesbian, gay, biseksual dan transjender (LGBT) semakin menguat. Meski demikian, para waria yang tergabung dalam ludruk tetap menunjukan totalitasnya dalam berkesenian.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Mandiri secara ekonomi
Yang ini, Pur sebelum pentas dan saat bersiap naik panggung. Para waria yang tergabung dalam kelompok ludruk mendapatkan perhatian khusus untuk tetap mandiri secara ekonomi adalah melalui penguatan keterampilan feminin seperti menjahit, salon, dan wirausaha, demikian dikutip dari hasil penelitian yang diterbitkan Universitas Airlangga.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Memasuki usia senja
Berdandan, berganti kostum, kembali naik panggung, demikian rutinitas mereka dalam berkarya. Kini meski banyak yang memasuki usia senja, tak berarti mengurangi totalitas mereka dalam berpentas. Banyolan dan polah mereka masih menghibur penonton hingga terpingkal-pingkal.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Waria bagian dari ludruk
Waktu menggerus zaman, seni modern berdampingan dengan seni tradisional. Namun seiring berjalannya waktu, kehadiran waria kemudian tak terpisahkan dalam kesenian ludruk. Editor : ap/vlz
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
8 foto1 | 8
Berdamai dengan Tuhan
Bahkan tanpa batasan hukum tersebut, banyak komunitas LGBT yang dikucilkan keluarga dan masyarakat, mereka juga mengalami diskriminasi saat mencari pekerjaan, dan dalam beberapa kasus, kerap mengalami tindakan kekerasan dan dipermalukan.
Banyak waria yang diusir dari rumah mereka, sehingga berakhir sebagai pekerja seks, termasuk sebagian dari yang mulai kembali berkumpul di pesantren milik Ratri untuk menunaikan ibadah shalat hari itu.
Bagi Arif Nuh Safri, seorang ustad di salah satu pesantren di Yogyakarta, merangkul kaum waria adalah bagian dari tugasnya. Saat pengajian berlangsung, Safri mendorong umatnya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersembunyi tentang seksualitas mereka dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi hubungan mereka dengan Tuhan.
"Selama kita bisa terhubung satu sama lain dalam konteks kemanusian, kita bisa saling menerima pribadi masing-masing sebagaimana adanya," ungkap Safri sambil menambahkan bahwa dia percaya sebagian besar warga Indonesia memiliki "pemikiran terbuka" seperti dirinya.
Ratri yang memakai kerudung ungu dan memakai eye-shadow dan lipstik berwarna merah cerah mengatakan sikap terbuka demikianlah yang memungkinkan waria yang biasanya dijauhi dapat "berdamai dengan Tuhan".
"Sebagai waria, kami berada dalam stres psikologis yang luar biasa," ungkapnya, "Di sini kami percaya bahwa kami bukan pendosa karena menjadi transgender."
Inilah Negara Islam yang Legalkan Gay dan Lesbian
Kendati legal, kaum gay dan lesbian di negara-negara ini tidak serta merta bebas dari diskriminasi. Tapi inilah negara-negara Islam yang mengakui hak-hak kaum gay dan lesbian.
Foto: picture-alliance/dpa
1. Turki
Sejak kekhalifahan Utsmaniyah melegalkan hubungan sesama jenis tahun 1858, Turki hingga kini masih mengakui hak kaum gay, lesbian atau bahkan transgender. Namun begitu praktik diskriminasi oleh masyarakat dan pemerintah masih marak terjadi lantaran minimnya perlindungan oleh konstitusi. Namun begitu partai-partai politik Turki secara umum sepakat melindungi hak kaum LGBT dari diskriminasi.
Foto: picture-alliance/abaca/H. O. Sandal
2. Mali
Mali termasuk segelintir negara Afrika yang melegalkan LGBT. Pasalnya konstitusi negeri di barat Afrika ini tidak secara eksplisit melarang aktivitas homoseksual, melainkan "aktivitas seks di depan umum". Namun begitu hampir 90% penduduk setempat meyakini gay dan lesbian adalah gaya hidup yang harus diperangi. Sebab itu banyak praktik diskriminasi yang dialami kaum LGBT di Mali.
Foto: Getty Images/AFP/J. Saget
3. Yordania
Konstitusi Yordania tergolong yang paling maju dalam mengakomodir hak-hak LGBT. Sejak hubungan sesama jenis dilegalkan tahun 1951, pemerintah juga telah menelurkan undang-undang yang melarang pembunuhan demi kehormatan terhadap kaum gay, lesbian atau transgender. Pemerintah misalnya mentolelir munculnya cafe dan tempat hiburan di Amman yang dikelola oleh kaum LGBT.
Foto: picture-alliance/AP Photo
4. Indonesia
Undang-undang Dasar 1945 secara eksplisit tidak melarang aktivitas seksual sesama jenis. Indonesia juga tercatat memiliki organisasi LGBT tertua di Asia, yakni Lambda Indonesia yang aktif sejak dekade 1980an. Kendati menghadapi diskriminasi, presekusi dan tanpa perlindungan konstitusi, kaum gay dan lesbian Indonesia belakangan tampil semakin percaya diri buat memperjuangkan hak mereka.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/A. Rudianto
5. Albania
Kendati bermayoritaskan muslim, Albania dianggap sebagai pionir di tenggara Eropa dalam mengakui hak-hak kaum LGBT. Negeri miskin di Balkan ini juga telah memiliki sederet undang-undang yang melindungi gay dan lesbian dari praktik diskriminasi.
Foto: SWR/DW
6. Bahrain
Negara pulau di tepi Teluk Persia ini telah melegalkan hubungan sesama jenis sejak tahun 1976. Namun begitu Bahrain tetap melarang lintas busana di ruang-ruang publik. Terutama sejak 2008 pemerintah bertindak tegas terhadap pelanggaran aturan berbusana. Bahrain juga berulangkali dilaporkan mendakwa warga asing yang menawarkan layanan seksual sesama jenis di wilayahnya.
Foto: Getty Images
7. Palestina (Tepi Barat)
Resminya praktik hubungan sesama jenis masih dilarang di Jalur Gaza. Tapi tidak demikian halnya dengan Tepi Barat Yordan sejak dilegalkan tahun 1951. Ironisnya aturan yang melarang LGBT di Jalur Gaza tidak berasal dari pemerintahan Hamas, melainkan dari Inggris sejak zaman penjajahan.