1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Populerkan Bentuk Maskulinitas yang Lebih Manusiawi

30 Juni 2023

Budaya patriarki mengajarkan bahwa menjadi laki-laki identik dengan maskulinitas, kekerasan dan dominasi, ujar Nur Hasyim dari Aliansi Laki-laki Baru. Ini yang ingin ia ubah jadi lebih manusiawi.

Gambar ilustrasi orang tua berbagi tugas rumah tangga
Gambar ilustrasi orang tua berbagi tugas rumah tanggaFoto: Eric Audras/photononstop/picture-alliance

Beragam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih kerap terjadi di Indonesia. Seringnya, pelaku kasus ini adalah laki-laki yang juga orang terdekat korban. Dalam kasus kekerasan berbasis gender, sosok pria yang awalnya dianggap sebagai pelindung justru menjadi ancaman. Suara untuk menghentikan kekerasan berbasis gender sudah banyak digaungkan oleh berbagai organisasi, terutama gerakan perempuan.

Namun aktivis dan relawan anti kekerasan gender, Nur Hasyim, serta rekan-rekannya beranggapan hal ini belum cukup. Keinginan untuk menekan angka kekerasan berbasis gender dan anak serta mendefinisikan ulang arti maskulinitas laki-laki, membuat aktivis Nur Hasyim bersama beberapa rekannya untuk membentuk Aliansi Laki-laki Baru (ALB) pada 2009 lalu.

Sampai saat ini, aliansi yang tak memiliki konsep keanggotaan tetap ini justru menyebarkan pemahaman baru lewat kantong-kantong gerakan di berbagai daerah seperti Kupang, Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Semarang, Bengkulu. Tak main-main, relawan yang bergabung di dalamnya pun berprofesi sebagai aktivits NGO, dosen, psikolog, dan terapis.

"Penting sekali untuk menyasar laki-laki untuk mengubah semua hal ini, karena kami yakin kekerasan gender itu terjadi dalam hubungannya dengan laki-laki dan perempuan. Untuk mengakhirinya tidak cukup hanya bekerja, memberdayakan atau mendampingi perempuan, sementara meninggalkan laki-laki dengan keyakinan tradisional, bahwa laki-laki posisinya lebih tinggi dari perempuan," kata Nur Hasyim, co-founder Aliansi Laki-laki Baru kepada DW Indonesia. 

Nur Hasyim dari Aliansi Laki-laki BaruFoto: Privat

Catatan Tahunan 2023 Komnas Perempuan melaporkan bahwa pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat menjadi 4.371 dari 4.322 kasus. Catatan tersebut juga mengungkap fakta sebanyak 339.782 dari total pengaduan tersebut adalah kekerasan berbasis gender (KBG), dan 3.442 di antaranya diadukan ke Komnas Perempuan.

Hasyim mengatakan dalam kasus kekerasan berbasis gender, sosok laki-laki justru tak terlihat dan tak diperbincangkan.

"Laki-laki itu invisible dalam isu kesetaraan gender. Saking invisible-nya itu jadi kalau lagi omongin gender itu pasti dirujuk ke perempuan, kalau KBG yang diekspos itu korban. Padahal kalau bicara kekerasan (terhadap) perempuan itu sebenernya bicara soal kekerasan laki-laki ke perempuan. Kelaki-lakiannya ini jadi tersembunyi dan tak diperbincangkan. Lewat ALB kami menciptakan ruang untuk membuat ruang memperbincangkan maskulinitas pria dan dikritisi."

Edukasi tentang maskulinitas toksik

Berkaca dari berbagai kondisi dan kasus kekerasan berbasis gender dan anak, ALB meyakini bahwa kekerasan dan ketidakadilan gender ini berkaitan dengan keyakinan laki-laki akan konsep maskulinitas, atau konsep yang dianggap bercitra maskulin.

"Selama ini, budaya patriarki mengajarkan cara menjadi laki-laki dengan ajaran yang mengidentikkan maskulin dengan kekerasan, dominitas. Bahkan ketika mereka memakai kekerasan untuk menyelesaikan masalah, mereka dapat 'nilai' lebih. Pria-pria yang seperti itu yang dianggap maskulin, macho," katanya.

Istilah toxic masculinity atau maskulinitas toksik pun mulai banyak jadi perbincangan. Hasyim menilai, ini sama artinya dengan maskulinitas partriarki atau maskulinitas hegemonik. Artinya, maskulinitas yang didasarkan pada bentuk-bentuk ideal seorang laki-laki yang dikonstruksi oleh masyarakat.

"Ini semua tumbuh karena laki-laki lahir dan berkembang di dalam kultur partriarkal jadi mereka meyakini kalau dia superior, dominan. Jika melakukan kekerasan, itu diberi nilai (dianggap maskulin)," kata Hasyim yang juga dosen sosiologi di UIN Walisongo, Semarang.

"Konsep maskulin yang seperti ini bisa lestari kalau perempuan masih punya prinsip konsep feminitas yang toksik, submisif, tunduk, taat, dan lainnya."

Hal ini pula yang membuat berbagai kasus kekerasan berbasis gender masih banyak terjadi. "Saya melihat data kasus perempuan KDRT, 90% memilih tetap tinggal bersama pasangan, hanya sedikit yang memutuskan membawa perkaranya ke pengadilan."

Saat ini, istilah toxic masculinity sendiri sudah mulai dikenal luas masyarakat dan definisi tentang maskulinitas patriarki ini sudah harus diubah ke arah yang lebih fleksibel dan manusiawi lantaran menjadi banyak perhatian seluruh lapisan dan generasi, ujarnya.

Maskulinitas yang lebih manusiawi

Tak cuma mendefinisikan ulang tentang maskulinitas dalam hal menghindarkan kekerasan gender, ALB juga ingin membuat kemaskulinitasan laki-laki jadi lebih manusiawi bagi kaum adam sendiri.

"Di ALB, kami membuat maskulinitas laki-laki diperbincangkan, dipertanyakan, dikritisi, dan mencari alternatif menjadi maskulinitas baru atau alternatif jika ditengarai konsep maskulin selama ini membawa konsekuensi negatif bagi kehidupan perempuan dan laki-laki itu sendiri. Kami membawa laki-laki dan maskulinitas tidak di bawah mikroskop, biar lebih manusiawi," ucapnya. 

Apa itu maskulinitas yang manusiawi? Hasyim menyebut bahwa konsep patriarki yang dianut membuat para lelaki dibentuk dengan norma masyarakat yang menginginkan lelaki itu harus kuat, tidak cengeng, superior, dan lainnya. Jika tak memiliki semua itu, dia tak dianggap maskulin.

"Justru yang terjadi adalah laki-laki dan perempuan secara bersama. mengidealkan laki-laki harus begini-begitu, tak hanya laki-laki tapi juga perempuan. Istilahnya: Internalisasi seksisme."

Ketika tabir dan ruang refleksi maskulinitas ini dibuka, muncul fakta bahwa maskulinitas tidak hanya berdampak pada perempuan, tapi juga laki-laki. Hal inilah yang disebutnya membuat laki-laki jadi tidak 'manusiawi'.

"Sejak awal laki-laki dipaksa merepresi emosi tertentu yang dipandang tidak maskulin dan dipandang sebagai kelemahan. Misalnya laki-laki tidak boleh takut, tidak boleh menangis. Nah ini kan dihalangi untuk bisa mengekspresikan dirinya, bikin jadi tidak manusiawi."

"Sebaliknya mereka ditoleransi untuk marah, menggunakan kekerasan untuk mengekspresikan kemarahan mereka, dianggap wajar. Pria tidak punya ekspresi emosi dan memvalidasinya."

Tugas domestik tidak turunkan 'derajat' laki-laki

Lebih lanjut ia bercerita bahwa abel-label negatif seperti 'suami takut istri' yang kerap disematkan tentang sosok ideal laki-laki di dalam sistem masyarakat menjadi beban tersendiri. Norma masyarakat patriarki mensyaratkan laki-laki untuk jadi pemimpin keluarga, pencari nafkah. Namun dalam kehidupan modern, ALB melihat bahwa semuanya harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi pasangan.

"Oleh karena itu, kami juga menggaungkan untuk menormalisasi laki-laki yang ingin melakukan berbagai tugas domestik rumah tangga, melakukan tugas perawatan atau bahkan stay at home dad (bapak rumah tangga).

"Ada situasi yang mempengaruhi mereka memilih jadi stay at home dad, situasi sekarang menuntut pasangan untuk lebih fleksibel, jadi maskulin alternatif jadi tidak lagi membatasi sehingga tidak dianggap tidak maskulin. Ini yang ingin diubah, bahwa nggak apa-apa lho kalau jadi bapak rumah tangga, nggak apa-apa lho melakukan tugas domestik, itu tidak akan menurunkan derajat sebagai laki-laki."

Kurangi dampak fatherless pada anak

Beberapa waktu lalu, sebuah penelitian menyebut bahwa Indonesia termasuk dalam negara fatherless di dunia. Buatnya, bukan hal yang aneh ketika Indonesia dianggap sebagai negara dengan minim sosok ayah. Menurutnya ini adalah satu konsekuensi logis dari kuatnya kultur patriarkal yang memandang peran dan tanggung jawab pengasuhan anak hanya terletak di pundak ibu. Sedangkan sosok ayah, ditempatkan semata sebagai pencari nafkah keluarga.

Kekerasan di ranah personal masih mendominasi pelaporan kasus kekerasan berbasis gender, yaitu 99%. Pada pengaduan di Komnas Perempuan, kasus di ranah personal mencapai 61% atau 2.098 kasus. Foto: ALB

"Karena pandangan itu status ayah direduksi sebagai sosok pemenuhan kebutuhan material anak atau sebagai polisi dan satpam di rumah. Jadi laki-laki merasa cukup kalau sudah beri uang saku, bayar uang sekolah, uang kursus, dan memenuhi kebutuhan anak secara material," ucapnya. 

"Jadi fatherless itu bukan personal pada sosok ayah tapi struktural dan norma sosial tentang ayah. Struktur itu membuat ayah jadi tak punya pengetahuan soal pengetahuan anak, tak punya kecakapan soal itu, struktur dan norma sosial berperan membuat laki-laki punya pandangan sempit status mereka."

ALB pun menyebarkan pemahaman baru tentang maskulinitas yang tak selalu mengukur kekuatan, superioritas, dominasi, tapi lebih menekankan pada kebutuhan emosional. Ini disebarkan ALB melalui beragam kampanye dan kelas edukasi dan berbagai platform media sosial.

"Saat ini sudah banyak juga hasil yang terlihat, termasuk penambahan kantong relawan, isu paternity leave yang jadi pembahasan, sampai keterlibatan ALB dalam pembuatan roadmap dari KemenPPA tentang pelibatan laki-laki dalam 6 isu: kesehatan ibu dan anak, KB, HIV AIDS, kekerasan terhadap perempuan, kesehatan reproduksi, dan kekerasan perempuan saat bencana." (ae)

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait