1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Populisme Bahayakan Thailand

5 Juli 2011

Pemenang pemilu Yingluck Shinawatra harus mendahulukan politik negara dan mendorong rekonsiliasi.

Yingluck Shinawatra harus mampu redam atmosfir beracun di Thailand.Foto: AP


Hasil pemilu parlemen di Thailand yang dimenangkan Partai Puea Thai yang dipimpin Yingluck Shinawatra, adik perempuan mantan PM Thaksin Shinawatra tetap menjadi tema komentar dalam tajuk sejumlah harian Eropa. Yingluck mula-mula harus berkonsentrasi pada politik negara dan bukan pada kepentingan keluarga. Demikian tulis harian Jerman Süddeutsche Zeitung dalam tajuknya. Pemenang pemilu Yingluck kini menghadapi tugas berat. Atmosfir beracun di dalam negeri harus diubah. Tapi ia juga harus memenuhi janjinya yang populistis, jika tidak ingin memicu kemarahan massa pemilih. Bagaimana caranya menaikkan upah minimal misalnya, hingga kini tidak dijelaskan. Tapi pada intinya hanya terdapat satu pertanyaan. Apakah ia akan dapat keluar dari bayang-bayang saudara lelakinya? Seorang PM perempuan pertama di Thailand, jika memiliki kemandirian, pasti tidak akan langsung mengupayakan pemberian amnesti bagi sudara lelakinya, agar dapat kembali ke Thailand. Melainkan benar-benar berusaha memantapkan politik rekonsiliasi. Mula-mula berbakti kepada negara, baru memikirkan keluarga, demikian janjinya dalam kampanye. Kini janji itu harus dibuktikan.

Sementara harian Perancis La Presse de la Manche dalam tajuknya menyoroti bahaya meningkatnya populisme di Thailand setelah kemenangan partai oposisi. Pemerintah lama yang tidak percaya akan kalah, akhirnya mengakui kekalahannya. Sekali lagi, impian besok semua akan digratiskan, akan memicu malapetaka. Kesan ini tidak berlebihan. Populisme hadir dimana-mana. Terutama di kawasan dimana terjadi perlawanan terhadap kelompok elite. Kelihatannya rakyat berbicara seenaknya, dan dalam kasus terburuk akan memicu pembantaian kelompok intelektual, seperti dahulu di Kamboja dan di sejumlah negara lainnya. Dalam kasus terbaiknya, dengan bantuan penghasut, negara akan dihancurkan. Thailand kini berada pada fase paling berbahaya dalam perjalanan sejarahnya.

Tema lainnya yang disoroti dalam tajuk harian-harian Jerman adalah rencana penjualan 200 unit tank tempur Leopard ke Arab Saudi. Harian Frankfurter Rundschau berkomentar : Menteri luar negeri Jerman yang sama, yang memilih abstain pada voting sebuah mandat PBB, karena menentang dilengserkannya penguasa Libya, Muammar al Gaddafi dengan kekerasan, kini secara diam-diam menyetujui rencana penjualan 200 tank tempur Leopard kepada Arab Saudi. Bukannya menjelaskan alasan keputusannya secara terbuka, pemerintahan koalisi di Berlin malahan merahasiakannya. Sebuah politik semacam ini, tidak menjunjung tata nilai demokrasi, dan hanya menunjukkan kebusukan.

Harian Jerman lainnya Märkische Allgemeine Zeitung juga berkomentar kritis. Pemerintah Jerman selalu menonjolkan diri sebagai salah satu negara pengekspor paling sukses. Namun Berlin tidak terlalu suka membicarakan bisnis persenjataan. Dalam hal ini terdapat batasan tegas. Antara lain, tidak boleh memasok senjata ke kawasan krisis dan kepada rezim yang menindas rakyatnya, atau membahayakan Israel. Kini koalisi pemerintah memberikan lampu hijau bagi penjualan 200 tank tempur Leopard kepada Arab Saudi. Jika itu benar, artinya pemerintah melanggar aturan dasarnya sendiri. Memang Arab Saudi merupakan mitra strategis barat di kawasan tsb, akan tetapi juga musuh bebuyutan Israel. Sekaligus sebuah kerajaan dengan perilaku meragukan terhadap hak asasi. Juga panser-panser Arab Saudi-lah yang dikerahkan melindas aksi protes warga di Bahrain belum lama ini.

Agus Setiawan/dpa/afp

Editor : Ayu Purwaningsih