Posisi AS dan Iran dalam Krisis Libanon
9 Agustus 2006Mengenai peran Amerika Serikat dalam konflik di Libanon, harian Italia La Repubblicca menulis:
"Tahun 1973, ketika pasukan di bawah komando Ariel Sharon menyeberangi terusan Suez dan pasukan Sadat hampir mengalami kekalahan, Nixon dan Kissinger berhasil menghentikan terobosan Israel dengan ultimatum PBB dan tekanan diam-diam ke Tel Aviv. Lima tahun setelah itu, Israel dan Mesir menandatangani perjanjian perdamaian, yang dalam tahun-tahun berikutnya menjamin perdamaian antara Israel dan salah satu negara Arab terpenting. Amerika Serikat sekarang tidak mampu lagi merintis perdamaian semacam ini, karena negara itu sudah melepas peranan sebagai penengah yang jujur. Sebenarnya hanya Amerika Serikat yang bisa mendamaikan Timur Tengah. Tapi Amerika sebagai perintis perdamaian sudah tidak ada lagi. Ia sudah mati pada 11 September 2001.“
Sementara pembahasan resolusi Libanon masih berlangsung alot, Harian Inggris Times mengimbau Eropa agar mendukung resolusi Iran di DK PBB.
"Libanon sedang disandera oleh satu kelompok ekstrimis. Adalah penting bagi kawasan ini agar Libanon dibebaskan sedemikian rupa, sehingga Suriah tidak bisa lagi memperluas pengaruhnya. Selain itu, ambisi hegemoni Iran sangat kelihatan dan mengkhawatirkan. Gencatan senjata, yang membiarkan Hisbullah tetap berfungsi sebagai pasukan bersenjata, akan mengubur upaya pimpinan Palestina Mahmud Abbas, demikian juga pimpinan Israel Ehud Olmert. Perundingan tentang pembentukan negara Palestina jadi tidak mungkin. Washington sekarang menerima usul Paris di DK PBB. Tapi, selain dari Inggris, Perancis hanya mendapat sedikit dukungan dari anggota Uni Eropa. Mereka seharusnya mendukung Perancis lebih tegas lagi.“
Harian Rusia Kommersant berpendapat, Israel sedang menuju kekalahan di Libanon.
"Semua pihak menuntut pimpinan Israel agar mengakhiri perang ini. Tapi tidak ada yang tahu, bagaimana ini bisa dicapai. Dalam perang ini memang banyak yang tidak jelas, kecuali satu hal: Israel tidak bisa menang, tidak di pegunungan Libanon, dan juga tidak di mata publik. Untuk pertama kalinya, pimpinan Israel harus menerima kekalahan mereka.“
Harian Jerman Tageszeitung menilai, konflik ini memperkuat posisi Iran.
"Iran menolak resolusi Dewan Keamanan terhadap program atomnya, bukan sebagai pihak yang keras kepala, melainkan sebagai pihak yang punya posisi kuat. Politik agresif Amerika Serikat dan Israel tanpa diinginkan mengangkat Iran menjadi kekuatan adidaya regional. Di mata jutaan orang di dunia Arab, Iran sekarang dianggap satu-satunya pelindung yang membantu mereka yang terusir dan terhina. Perkembangan ini memperlihatkan dengan sangat baik, bagaimana absurdnya politik yang hanya mengandalkan kekuatan dan kekerasan.“