1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Potensi Konflik Bersenjata Laut Cina Selatan

Dyan Andriana Kostermans25 Juli 2012

Ketegangan pengklaiman teritorial di Laut Cina Selatan dapat bereskalasi, dengan meningkatnya persiapan militer di kalangan negara-negara yang bertikai.

Foto: Reuters

Prospek untuk menyelesaikan pertikaian “tampaknya menurun” setelah kegagalan baru-baru ini dalam kelompok 10 negara ASEAN untuk mengolah “kode etik” yang mengatur aksi tindakan di lautan, demikian disampaikan International Crisis Group (ICG).

Tanpa konsensus dalam mekanisme resolusi, ketegangan di Laut Cina Selatan dapat mudah berkembang menjadi konflik militer. Diperingatkan Paul Quinn-Judge, program direktur ICG untuk Asia. Selama kelompok ASEAN gagal menciptakan kebijakan Laut Cina Selatan yang kohesif, peraturan yang mengikat guna mengatasi klaim-klaim tidak dapat diterapkan.

Cina mengklaim kedaulatan terhadap hampir seluruh kawasan Laut Cina Selatan, yang diduga kaya akan cadangan minyak dan gas bumi dalam jumlah besar, yang merupakan salah satu kawasan penangkapan ikan terpenting di kawasan itu dan jalur utama kapal-kapal menuju perdagangan global. Filipina dan anggota Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara ASEAN yakni Brunei, Malaysia dan Vietnam serta Taiwan juga mengklaim andil kepemilikan kawasan Laut Cina Selatan.

Pertikaian masalah kepemilikan itu beberapa dekade lalu telah membuat kawasan itu menjadi kawasan potensi konflik militer, seperti perang laut antara Vietnam dan Cina tahun 1974 dan 1988 yang menyebabkan puluhan tentara tewas. Ketegangan itu kembali mulai meruncing tahun lalu dimana Vietnam dan Filipina menuduh Cina semakin agresif dalam mengklaim kepemilikannya terhadap Laut Cina Selatan.

Bulan April sengketa antara Filipina dan Cina bertambah intensitasnya, akibat konflik Karang Scarborouhg. Pekan ini Cina menambah kegusaran di kawasan tersebut ketika mengumumkan akan membangun markas militer di Kepulauan Paracel.

dk/vlz (afp, rtr)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait