Kebijakan Australia terkait pengungsi sering dicap tidak berperikemanusiaan. Namun politisasi isu pengungsi untuk kepentingan politik praktis menyudutkan posisi pemerintah Canberra, klaim sejumlah pakar.
Iklan
Setelah sukses menghentikan gelombang pengungsi dengan kebijakan yang agresif, Australia kini dikritik lantaran membiarkan pengungsi yang ditampung di Papua Nugini dan Nauru dalam ketidakpastian. "Cara paling mudah menggambarkan ini adalah neraka," kata Aziz Badul, 25, seorang pengungsi Sudan yang ditahan di kamp pengungsi Australia.
Ia berharap termasuk ke dalam 1.250 pengungsi yang ditolak Australia, namun akan ditampung oleh Amerika Serikat, melalui perjanjian antara pemerintah di Canberra dan pemerintahan bekas Presiden Barack Obama.
Australia mulai menerapkan kebijakan agresif pada 2013, ketika gelombang pengungsi yang bertolak dari Indonesia mencapai puncaknya. Para pengungsi yang berhasil memasuki wilayah perairan Australia ditampung di kamp-kamp di Papua Nugini dan Nauru. Namun buruknya kondisi di sana mendulang kecaman pegiat HAM.
Tahun lalu Australia membayar uang ganti rugi sebesar US 68 juta kepada lebih dari 1.905 pengungsi yang menguggat buruknya kondisi hidup di Papua Nugini. Pengalaman serupa dialami oleh Aziz yang ditahan sejak 2013. "Anda mengirimkan orang ke sebuah tempat dan anda ingin agar orang ini mati atau pulang ke negara asalnya, meski sangat berbahaya," ujarnya.
Aziz mengklaim suasana muram membekap kamp pengungsi menyusul ketidakpastian dan kekhawatiran terhadap meningkatnya sikap permusuhan warga pribumi terhadap keberadaan mereka.
Australia sebaliknya menyalahkan para pengungsi atas situasi yang mereka hadapi. Pemerintah di Canberra mengatakan para pengungsi bertahan di kamp karena memiliki harapan palsu bahwa Australia suatu saat akan menerima mereka.
Daniel Webb, Direktur Human Rights Law Centre di Australia, mengecam praktik kejam pemerintah terhadap pengungsi. Ia melaporkan populasi pengungsi di Nauru mencakup 134 anak-anak, 40 di antaranya dilahirkan di sana. Angka populasi anak di kamp pengungsi Nauru berkurang menjadi 124 pekan ini, karena sebagian dikirimkan ke Australia untuk perawatan medis, sementara yang lain disiapkan untuk dipindahkan ke Amerika Serikat.
"Dengan setiap ulang tahun, setiap peringatan dan setiap kematian, rasa putus asa dan rasa lelah di penjara pulau ini meningkat," kata Webb. "Pemerintah Australia tidak bisa memenjarakan mereka selamanya."
Sejumlah pakar lain menilai politisasi isu pengungsi di Australia berdampak negatif pada nasib para pencari suaka. Meski gelombang pengungsi kapal sudah berhenti ada 2014 silam, dukungan masyarakat terhadap kebijakan ketat pemerintah terkait pengungsi masih tergolong tinggi.
Andrew Markus, pakar pengungsi dari Monash University, mengatakan dirinya tidak yakin pemindahan pengungsi dari Papua Nugini atau Nauru ke Australia akan bisa terwujud secara politis. "Mereka benar-benar menyudutkan posisi sendiri," ujarnya mengenai janji pemerintah bahwa pemgungsi yang datang dengan kapal tidak akan pernah diterima di Australia.
Polisi PNG Sapu Bersih Pusat Penampungan di Pulau Manus
Ratusan pencari suaka menolak meninggalkan fasilitas penahanan milik Australia di Pulau Manus karena khawatir akan keamanan mereka. Polisi PNG kini memasuki kamp untuk 'mengusir' mereka.
Foto: Reuters/D. Gray
Kosongkan pulau
Mulai 31 Oktober 2017 seharusnya sudah tidak ada lagi penghuni di Pulau Manus Papua Nugini (PNG), sesuai keputusan pengadilan. Namun ratusan orang masih tetap bertahan hingga Kamis (23/11) pagi, Kepala Inspektur Polisi Dominic Kakas menyebutkan 50 polisi dan petugas imigrasi memasuki pusat penahanan untuk mengevakuasi para pengungsi yang tersisa.
Foto: Reuters/AAP
Polisi: bukan penggerebekan
"Tidak ada razia atau penggerebekan. Yang sedang berlangsung adalah negosiasi dengan para pengungsi," ujar Kakas kepada AP. "Ini bukanlah proses penggusuran. Kami memberitahukan mereka untuk pindah karena tersedia air, makanan dan penampungan yang layak di seberang sana."
Foto: Reuters/AAP//Refugee Action
Pencari Suaka: makanan dan air kami dirampas
Penghuni kamp di Pulau Manus mengklaim bahwa aparat kembali menggasak persediaan darurat milik pengungsi. "Mereka memorak-porandakan makanan kami dan merusak tempat tinggal kami. Mereka juga merusak tangki air kami," ungkap salah seorang pencari suaka kepada Reuters.
Foto: Reuters/AAP
Jatuh tempo
Batas waktu untuk mengosongkan kamp tersebut telah berlalu, namun aparat tidak mengambil tindakan apapun hingga November. Persediaan makanan, air dan listrik telah dihentikan sejak Pulau Manus resmi ditutup pada 31 Oktober lalu. Untuk mendesak para pengungsi meninggalkan kamp, kini polisi mengosongkan tangki air dan memindahkan tempat penampungan.
Foto: Reuters/AAP
PBB: krisis kemanusiaan
Kelompok Advokasi Pusat Pencari Suaka (ASRC) mencatat lebih dari 150 pria yang berada di pusat penahanan tersebut sedang sakit dan tidak memiliki akses terhadap obar-obatan maupun P3K. Sebelumnya PBB menggambarkan kondisi di Manus sebagai "krisis kemanusiaan tanpa kejelasan", dan mendesak pemerintah Australia untuk segera mengambil tindakan demi mencegah bencana kemanusiaan.
Foto: Reuters/AAP
Sejarah kelam
Pusat penahanan pengungsi diselimuti sejarah kelam yang sarat kekerasaan. Pencari suaka asal Iran, Reza Berati terbunuh — dan sekitar 69 pencari suaka turut terluka — ketika razia berlangsung tahun 2014. Dua warga lokal, seorang penjaga keamanan dan pengawai lembaga kemanusian 'Salvation army' dihukum akibat insiden ini.
Foto: Reuters/Thanus
Para pencari suaka
Pencari suaka ke Austaralia umumnya warga Afganistan, Sri Lanka, Iran dan Irak yang kerap datang menggunakan kapal nelayan dari Indonesia menuju Pulau Christmas di Australia. Mereka yang datang akan ditahan untuk diproses. Jika diakui sebagai penggungsi maka mereka akan di tempatkan di kamp-kamp yang terletak di PNG seperti di Pulau Manus dan Nauru, bukan Australia.
Pusat penahanan ditutup karena pengadilan PNG memutuskan bahwa fasilitas penahanan tersebut tidak sesuai konstitusi dan rencananya akan dikembalikan kepada PNG. Sebagai alternatif, tiga lokasi akomodasi yang baru disiapkan di kota Lorengau, PNG, seperti terlihat pada gambar di atas.
Foto: Reuters/AAP
Para demonstran: keadilan untuk pengungsi
Kebijakan imigrasi Australia yang keras menuai protes dari dalam & luar negeri. PM Australia Malcolm Turnbull mengkritik agar pengungsi di Manus tidak mengambil kesempatan mencari suaka. "Mereka pikir... dengan cara ini mereka bisa menekan pemerintah untuk menerima mereka di Australia. Kami tidak akan ditekan. Kami tidak akan melonggarkan imigrasi kepada penyelundup." (Ajit Niranjan/Ed:ts/hp)