Pendidikan di Indonesia dan Perkembangan Teknologi
Rizki Akbar Putra
2 Mei 2019
Sistem pendidikan Indonesia tercatat masih tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Memperingati Hari Pendidikan Nasional, sudah meratakah mutu pelayanan pendidikan di nusantara?
Iklan
Berdasarkan laporan PISA (Programme for International Student Assessment) peringkat pendidikan Indonesia di dunia bertengger di urutan 62 dunia di bidang sains, 63 dunia di bidang matematika, dan 64 dunia di membaca. Masih di bawah Singapura, Vietnam, dan Thailand. PISA sendiri merupakan survei yang menguji kemampuan siswa berusia 15 tahun untuk tiga bidang, yakni membaca, matematika, dan sains. Survei ini diinisiasi Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).
Dalam sambutannya di peringatan Hari Pendidikan Nasional yang dirilis di situs resmi Kemendikbud, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,Muhadjir Effendi, mengklaim mutu pelayanan pendidikan di Indonesia sudah semakin baik dalam beberapa tahun terakhir ini. Dalam sambutannya ia menyoroti pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dilakukan pemerintah merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pelayanan pendidikan.
Mahasiswa asal Buton Berkuliah di Tiga Negara Sekaligus
Kecintaannya terhadap sains dan kekagumannya kepada Albert Einstein dan B.J. Habibie, membawa La Ode Marzujriban berkuliah di kampus tokoh-tokoh tersebut. Siapa yang menyangka bahwa impiannya tersebut menjadi kenyataan.
Foto: DW/R. A. Putra
Kuliah di Tiga Negara Eropa
La Ode Marzujriban, mahasiswa Indonesia asal Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, saat ini tengah menyelesaikan studi joint master's degree program. Kini ia berkuliah di tiga negara yaitu di TU Delft Belanda, ETH Zurich Swiss, dan RWTH Aachen Jerman. Pemuda berusia 25 tahun ini mengambil jurusan Geofisika Terapan.
Foto: Privat
Terinspirasi Tokoh Idola Masa Kecil
Selain ingin melanjutkan jenjang pendidikan, pemuda yang akrab disapa Iban ini mempunyai alasan tersendiri mengikuti joint master's degree program, yakni ingin mengikuti jejak tokoh-tokoh idolanya. Seperti Albert Einstein yang berkuliah di ETH Zurich dan presiden Indonesia ke-3 B.J. Habibie yang berkuliah di RWTH Aachen. Nantinya Iban akan mendapat masing-masing gelar dari tiap-tiap kampus.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Kuliah Lapangan
Banyak ilmu dan pengalaman berharga ketika ia mengikuti joint master's degree program. Salah satunya saat ia melaksanakan kuliah lapangan di Swiss. Iban diharuskan mencari objek purbakala dengan peralatan berbasis metode-metode geofisika. Pemuda yang hobi membaca ini diketahui pernah ikut program magang di pusat riset ETH Zurich bekerja sama dengan berbagai badan antariksa internasional.
Foto: Privat
Tantangan Joint Master's Degree Program
Kuliah di tiga negara dan bertemu banyak mahasiswa dari seluruh penjuru dunia diakuinya mempunyai tantangan tersendiri. Selain perbedaan gaya belajar mengajar di setiap universitas, perbedaan kultur dan budaya setiap mahasiswa menjadi tantangan lainnya.
Foto: DW/R. A. Putra
Coda Wave Interferometry (CWI)
Di tahun terakhirnya, kini Iban sibuk mengikuti ujian akhir dan tengah mempersiapkan tesis. Topik yang ia angkat adalah Coda Wave Interferometry (CWI). Ia mencari metode baru untuk melokalisasi rekahan di dalam suatu medium. Medium tersebut bisa dari sampel batuan atau dengan skala yang lebih besar seperti patahan dalam bumi. Tesisnya nanti akan diimplementasikan di wave lab yang berada di Swiss.
Foto: DW/R. A. Putra
Ingin Berkarir Sebagai Ilmuwan
La Ode Marzujriban sedari kecil sudah jatuh cinta terhadap geofisika. Ia berniat melanjutkan studi doktoral pasca menyelesaikan kuliah S2-nya. Iban juga berkeinginan untuk membuat riset-riset ilmiah dan berharap bisa bekarir di suatu lembaga ilmu pengetahuan ternama kelak. (rap/na)
Foto: DW/R. A. Putra
6 foto1 | 6
"Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah memberi perhatian khusus untuk pendidikan di wilayah terluar, terdepan, dan tertinggal. Bahkan, Kemendikbud memberi perhatian khusus pada pendidikan anak-anak Indonesia yang berada di luar batas negara,seperti anak-aak keturunan Indonesia yang ada di Sabah dan Serawak, Negara bagian Malaysia," ujarnya.
Pemerataan infrastruktur dan SDM
Senada dengan Muhadjir, Rosdewi Malau, salah satu guru di SMPN 20 Jakarta, juga merasakan hal yang sama. Ia berpendapat untuk ketersediaan infrastruktur dan fasilitas belajar mengajar di kota-kota besar sudah memadai. Ia berharap pemerintah lebih memperhatikan infrastruktur dan ketersedian SDM di daerah-daerah terpecil demi meratanya mutu pendidikan di Indonesia.
"Kalau di kota sendiri sih sudah bagus,katakanlah daerah-daerah yang sudah terjamah teknologi dan fasilitas yang ada saya rasa sudah bagus. Ya itu dia SDM-nya juga harus diperbaiki, terutama di daerah dengan cara ya itu tadi, gajinya mungkin, fasilitasnya, semua aspek diperhatikan harus,” ujar Rosdewi saat diwawancarai DW Indonesia.
Mahasiswi asal Papua, Calon Pakar Laser
Dolfina Mansnembra adalah mahasiswi Indonesia yang kini sedang mengenyam pendidikan S1 di Jerman. Di jurusan ini, ia menjadi satu-satunya mahasiswi asing. Seperti apa kesehariannya? DW menyajikannya untuk Anda.
Foto: DW/N. Ahmad
Dari Biak ke Münster
Berasal dari Biak, Papua, Dolfina telah berada lima tahun di Jerman untuk menuntut ilmu. Ia terdaftar sebagai mahasiswi di jurusan Teknik Laser, Fachhochschule (FH) Münster.
Foto: DW/N. Ahmad
Satu-satunya mahasiswi asing
Jurusan Teknik Laser FH Münster didominasi oleh mahasiswa pria. Di antara teman-teman satu angkatannya yang berjumlah sekitar 30 orang, Dolfina adalah satu dari tiga mahasiswa perempuan dan satu-satunya mahasiswi non-Jerman.
Foto: DW/N. Ahmad
Dari benci menjadi cinta
Kecintaan awal Dolfina terhadap teknik berawal dari kebenciannya terhadap fisika. Namun rasa bencinya justru berubah menjadi rasa penasaran untuk mendalami bidang ini sampai akhirnya ia memutuskan untuk kuliah di jurusan teknik.
Foto: DW/N. Ahmad
Demi masa depan
Kuliah teknik di Jerman tentu tidak mudah. Namun prospek kerja setelah lulus cukup menjanjikan. Oleh karena itu, meskipun kuliahnya sangat sulit, Dolfina tetap bertahan di jurusan ini dan berjuang untuk bisa segera menyelesaikan skripsinya.
Foto: DW/N. Ahmad
Dari ruang kelas ke "Selbstlernbereich"
Kuliah yang tidak mudah tentu harus diimbangi dengan belajar dengan giat. Setelah selesai kuliah, biasanya Dolfina mengulang pelajaran di area Selbstlernbereich (ruangan dimana mahasiswa bisa belajar sendiri atau berkelompok). Di foto, Dolfina sedang menjelaskan suatu topik ke Muhamad Yunus, mahasiswa asal Subang, yang juga kuliah di jurusan Teknik Laser, FH Münster.
Foto: DW/N. Ahmad
Tulisan di lempeng besi
Gambar di foto adalah salah satu contoh penerapan teknik laser. Dolfina mencetak tulisan dan pola di atas lempengan besi. Ini adalah hasil dari kegiatan praktik di kampus.
Foto: DW/N. Ahmad
Penerapan teknik laser
Selain di lempengan besi, tulisan juga bisa dicetak di pulpen dengan teknologi laser. Masih banyak lagi bidang dalam kehidupan sehari-hari yang menggunakan teknologi laser, seperti misalnya penggunaan pointer presentasi, operasi mata (lasik) atau perawatan kecantikan.
Foto: DW/N. Ahmad
Aktif di PPI
Dolfina aktif di organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Münster. Bersama dengan pengurus PPI Münster (ki-ka: Redo, Wira, Ayas) ia seringkali bertemu usai jam kuliah untuk membahas kegiatan yang diselenggarakan organisasi pelajar ini.
Foto: DW/N. Ahmad
8 foto1 | 8
Dengan tuntutan perkembangan zaman yang cepat, guru yang sudah mengajar dari tahun 1984 ini, sadar betul para pendidik harus bisa beradaptasi dengan perkembangan tersebut. Apalagi dari sisi teknologi, jika dibandingkan dulu dimana guru harus mengajar dengan metode konservatif, sebut saja papan tulis, kapur, buku-buku pelajaran yang tebal, namun kini dengan kehadiran teknologi seperti komputer, proyektor, dan internet dirasanya sangat efektif dalam kegiatan belajar mengajar. Namun Rosdewi menekankan faktor pengawasan orang tua di rumah juga menjadi hal mutlak, apalagi di usia-usia tersebut siswa sangat rentan terhadap pengaruh luar. Sehingga pengaruh teknologi ataupun internet tidak memberikan dampak yang buruk terhadap perkembangan belajar siswa.
"Kita sering bicara dengan orang tua (siswa), kita tidak mungkin menghambat teknologi itu. Tapi bagaimana cara pengawasannya, jadi mestinya orang tua dari rumah harus tahu apa yang dibaca anaknya, apa yang dilihat, karena kalau kita mau menutup teknologi ini juga malah menghambat, anak-anak ini kan akan berkembang, ga kita saja mereka kan perlu juga, perlu tahu. Cuma ya menurut saya pengawasan dari rumah harus lebih ketat,” jelasnya.
Seperti diketahui, demi menyongsong Revolusi Industri 4.0 pemerintah mulai menggeser fokusnya dari pembangunan infrastruktur ke pembangunan sumber daya manusia. Muhadjir pun berpendapat perkembangan teknologi yang semakin canggih dapat mempengaruhi cara berpikir, berperilaku, dan karakter siswa. "Peserta didik harus memiliki karakter dan jati diri bangsa di tengah perubahan global yang bergerak cepat,” ujar mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini.
Mahasiswa Bali Peneliti Teknologi Nano di Jerman
I Putu Eka Widya Pratama menjadi bagian dari tim penelitian teknologi nano di pusat riset terkemuka Jerman, Forschungszentrum (FZ) Jülich. Pengalamannya kami sajikan lewat galeri gambar berikut ini.
Foto: DW/N. Ahmad
Menjadi bagian dari pusat riset ternama
I Putu Eka Widya Pratama, mahasiswa Indonesia asal Desa Kedonganan, Bali, melakukan penelitian untuk menyelesaikan tesisnya di Forschungszentrum (FZ) Jülich. Lembaga riset FZ Jülich merupakan pusat penelitian yang telah melahirkan banyak ilmuwan yang berjasa bagi perkembangan sains dan teknologi dunia. Salah satunya adalah Peter Grünberg.
Foto: DW/N. Ahmad
Ilmuwan Jerman peraih Nobel Fisika
Di FZ Jülich, Eka melakukan penelitian di Peter Grünberg Institut (PGI). Institut ini mendedikasikan namanya untuk ilmuwan Jerman yang meneliti di FZ Jülich, Peter Grünberg, yang menerima Nobel Fisika di tahun 2007. Atas jasanya, kini kita bisa memiliki hard disk drive yang memiliki kapasitas penyimpanan hingga ukuran terabita (TB).
Foto: Forschungszentrum Jülich
Mikroskop alat bantu riset yang sangat penting
Dalam penelitiannya, Eka bertugas membuat instrumen riset berbentuk jarum yang berukuran nanometer. Jarum ini akan digunakan sebagai semikonduktor nano chip untuk ponsel maupun komputer. Oleh karena itu, Eka sangat mengandalkan mikroskop untuk dapat melihat jarum berukuran nano yang ia buat.
Foto: DW/N. Ahmad
Instrumen riset yang tak kasatmata
Ini adalah foto hasil tangkapan kamera mikroskop dari instrumen riset Eka yang sebenarnya berukuran sangat kecil. Jarum dalam gambar sebenarnya berukuran 7,5 mikrometer. Bisa Anda bayangkan betapa kecilnya jarum tersebut, mengingat 1 mikrometer sama dengan 0,0001 centimeter!
Foto: DW/N. Ahmad
Ingin bekerja di perusahaan pembuatan chip nano
Mahasiswa Teknik Fisika RWTH Aachen ini berniat untuk melanjutkan studi doktoral setelah ia selesai dengan kuliah S2-nya. Ia juga berharap untuk bisa bekerja di perusahaan pembuat nano chip. (na/ts)
Foto: DW/N. Ahmad
5 foto1 | 5
Dituntut berpikir komputasi
Kurie Suditomo, pendiri codingcamp.id sebuah perusahaan yang mengajar pelatihan digital bagi anak usia 9 sampai 17 tahun, menilai di tengah majunya teknologi, Indonesia masih sangat kekurangan sumber daya manusia di bidang sains teknologi maupun engineering art. Maka dari itu codingcamp.id hadir untuk menjawab kegelisahan tersebut. Menurut Kurie, sangat penting bagi anak-anak Indonesia unutk memilah informasi berbasis digital yang datang,
"Itu sangat berhubungan dengan kemampuan logika seseorang untuk memahami sebuah masalah, memecahkan masalah dan lain-lain. Nah sebenarnya (berlatih) coding bisa jadi jalan keluarnya, kenapa? Karena pelajaran ini sangat nyambung dengan generasi sekarang, bebasis visual dan anak-anak suka karena lagi in banget kan main games, anak-anak kita kan sudah digital native,” jelas Kurie saat diwawancarai DW Indonesia.
Pesatnya kemajuan teknologi dewasa ini, ia berharap dapat memeberikan pelayanan pendidikan bagi mereka yang masih tertinggal. Menurut Kurie materi konten pembelajaran secara digital sangat banyak namun masih banyak yang belum membiasakan itu, tidak hanya di Indonesia namun juga di luar negeri. Berlatih coding bisa menjadi alternative pendidikan di masa globalisasi ini.
Ranking Pendidikan Negara-negara ASEAN
Kualitas pendidikan Indonesia tertinggal bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara yang lebih miskin. Tapi bagaimana sistem pendidikan kita ketimbang jiran lain di ASEAN?
Foto: picture alliance/AA/A. Rudianto
1. Singapura
Dengan skor 0,768, Singapura tidak hanya memiliki salah satu sistem pendidikan berkualitas terbaik di ASEAN, tapi juga dunia. Saat ini negeri kepulauan tersebut menempati posisi sembilan dalam Indeks Pendidikan UNESCO. Tahun 2013 silam tercatat hanya 1,3% murid sekolah yang gagal menuntaskan pendidikan.
Foto: picture-alliance/dpa
2. Brunei Darussalam
Dengan nilai Indeks Pendidikan alias EDI sebesar 0,692, Brunei Darussalam menempati posisi 30 di dunia dan nomer dua di Asia Tenggara. Tidak mengherankan, pasalnya pemerintah Brunei menanggung semua biaya pendidikan, termasuk ongkos penginapan, makanan, buku dan transportasi.
Foto: REUTERS/Ahim Rani
3. Malaysia
Dengan tingkat literasi penduduk dewasa yang mencapai 94%, tidak heran jika Malaysia mampu membukukan skor 0,671 di Indeks Pendidikan UNDP. Negeri jiran itu menempati posisi 62 dalam daftar pendidikan terbaik di dunia dan ketiga di ASEAN.
Foto: Roslan Rahman/AFP/Getty Images
4. Thailand
Thailand adalah salah satu negara ASEAN yang memiliki anggaran pendidikan tertinggi, yakni 7,6% dari Produk Domestik Brutto. Saat ini negeri gajah putih itu menempati posisi 89 di dunia dengan skor EDI sebesar 0.608.
Foto: Taylor Weidman/Getty Images
5. Indonesia
Saat ini Indonesia berada di posisi 108 di dunia dengan skor 0,603. Secara umum kualitas pendidikan di tanah air berada di bawah Palestina, Samoa dan Mongolia. Hanya sebanyak 44% penduduk menuntaskan pendidikan menengah. Sementara 11% murid gagal menuntaskan pendidikan alias keluar dari sekolah.
Foto: picture alliance/AA/A. Rudianto
6. Filipina
Tingkat kegagalan murid menuntaskan sekolah di FIlipina termasuk yang tertinggi di dunia, yakni 24,2%. Tidak heran jika Filipina saat ini menempati posisi 117 di dunia dengan skor 0,610. Namun begitu sebanyak 64% penduduk setidaknya menuntaskan pendidikan menengah.
Foto: picture-alliance/dpa/D. M. Sabagan
7. Vietnam
Vietnam yang berada di posisi 121 memiliki kualitas pendidikan yang lebih rendah ketimbang Irak dan Suriah. Saat ini Vietnam mencatat skor EDI 0,513 dan tingkat literasi penduduk dewasa sebesar 93,5%.
Foto: Hoang Dinh Nam/AFP/Getty Images
8. Kamboja
Meski banyak mencatat perbaikan dalam satu dekade terakhir, Kamboja tetap bertengger di peringkat 136 di dunia dengan skor 0,495. Wajah pendidikan negeri jrian itu termasuk yang paling muram, dengan tingkat kegagalan murid sebesar 35,8% dan hanya 15,5% penduduk yang mengenyam pendidikan tingkat menengah.
Foto: picture alliance/Robert Harding World Imagery
9. Laos
Tingkat literasi penduduk dewasa di Laos tergolong yang paling rendah, yakni 72,7%. Setidaknya 40% penduduk belum pernah mengecap pendidikan formal dan 139.
Foto: DW/E. Felden
10. Myanmar
Berpuluh tahun terkekang dalam cengkraman kekuasaan junta Militer, Myanmar sedang membangun kembali pendidikannya yang tertinggal. Saat ini Myanmar berada di urutan 150 di dunia dengan skor EDI 0.371. Tercatat hanya 19% penduduk Myanmar yang pernah mengecap pendidikan tingkat menengah.
Foto: DW/S. Hofmann
10 foto1 | 10
"Imagine aja kalau anak-anak sekolah misalnya middle-upper mungkin sih gampang, dia sudah full keyboard dari kecil, tapi bagaimana anak-anak di kampung yang pakai smartphone sekali-sekali itu juga cuma bisa main, terus lihat laptop keyboard ga pernah, terus tiba-tiba pada saat mereka sudah kerja mereka diharapkan sudah mampu mengetik kan mustahil,” tambah Kurie.
Menurutnya sistem pendidikan di Indonesia mempunyai beban yang cukup besar, maka itu harus diimbangi dengan penyaluran minat peserta didik agar mereka tetap senang dalam kegiatan belajar mengajar.
Pada tahun 2019 sendiri, pemerintah telah mencanangkan anggaran pendidikan sebesar 492,5 Triliun Rupiah, dengan rincian 163,1 T untuk pusat, 308, 4 T untuk daerah, dan 21 T untuk pembiayaan. Angka ini tumbuh sebesar 11,4 persen dibanding anggaran tahun 2018. Maka dari itu, pemerintah diharap biajak dalam mengunakan anggaran tersebut, selain untuk keperluan bersifat administrative melainkan untuk kualitas materi pembelajaran.
Sama seperti Rosdewi, Kurie juga berharap upaya pemerintah untuk meratakan mutu pendidikan di Indonesia baik dari infrastrutktur dan SDM dapat terwujud demi menjawab tantangan global di masa yang akan datang, agar tujuan negeri ini seperti yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dapat tercapai. (Ed.: vlz)
Perjalanan Sekolah yang Mempertaruhkan Nyawa
Semangat anak-anak kecil ini sungguh luar biasa. Demi merengkuh ilmu, mereka mengambil risiko berbahaya ke sekolah. Menentang arus sungai, memanjat tebing, Bahkan ada yang lima jam berjalan kaki sampai sekolah.
Foto: picture-alliance/dpa/Imaginechina Tao ge
Tangga darurat
Dengan berhati.-hati, murid Desa Atule’er, Liangshan Yi , Sichuan, Cina memanjat kembali ke desa setelah lelah menuntut ilmu di sekolah. Mereka mencengkram tangga bambu/kayu dan tanaman rambat di tebing terjal agar tidak terjatuh. Penduduk desa menggunakan tangga yang sama untuk pergi ke pasar terdekat sekitar seminggu sekali, guna menjual paprika dan kenari atau membeli kebutuhan sehari-hari.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Jie/VCG
Dua jam perjalanan
Murid dari Desa Atule’er terbiasa merambat sambil memanjat tebing saat pulang ke rumah selepas sekolah. Lebih dari 70 keluarga tinggal di desa Atule’er, yang berketinggian sekitar 800 meter di atas Sungai Meigu, Liangshan Yi, ini. Demi bisa bersekolah, belasan murid, yang berusia 6 sampai 15, disertai dengan 3 orang dewasa secara teratur menghabiskan 2 jam mendaki tebing.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Jie/VCG
Memanjat hampir 1 km
Memanggul ransel, anak-anak sekolah ini mendaki tebing terjal sepanjang 800 meter di Zhaojue, daerah otonomi Liangshan Yi, Provinsi Sichuan, Cina. Mereka pulang sekolah dan dalam perjalanan ke rumah. Setelah nasib anak–anak ini mendapat perhatian masyarakat internasional, mereka dijanjikan akan mendapat tangga baja untuk menggantikan tangga bambu yang rapuh ini.
Foto: picture alliance/AP Images/Chinatopix
Lima jam ke sekolah
Menuju sekolah, murid-murid SD ini menyusuri kaki gunung di tebing gunung yang berbatasan dengan sungai Dadu di Desa Gulu, Wusihe, Hanyuan. Sekolah dasar yang dituju melekat ke tebing curam. Untuk sampai ke sekolah, siswa harus berjalan kaki di jalur-jalur curam selama lima jam. Bahaya mengintai, jika ada angin menerpa saat dalam perjalanan.
Foto: picture-alliance/dpa/Imaginechina Tao ge
Bawa perlengkapan di tengah intaian bahaya
Siswa mengangkut barang mereka untuk kembali ke sekolah di jalur lembah pegunungan terjal di Desa Nongyong, Dahua Yao, Guangxi Zhuang, Cina. Rumah anak-anak tersebar di antara pegunungan & jauh dari sekolah. Sebagian besar dari mereka mendapat akomodasi di sekolah selama semester berlangsung. Namun, ketika musim panas, mereka harus melakukan perjalanan berbahaya ini, antara rumah dan sekolah.
Foto: picture alliance/Photoshot/H. Xiaobang
Andalkan ban karet
Para pelajar SD di provinsi Rizal, Filipina ini menggunakan ban karet sebagai sarana melayari sungai untuk pulang pergi sekolah. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 2 km. Jika arus sungai meluap, ancaman bahaya semakin besar. Di Filipina, akses terhadap pendidikan, terutama di daerah pedesaan, masih menjadi masalah, tetapi tingkat pendaftaran tetap relatif tinggi, yakni mencapai 85 persen.
Foto: picture-alliance/dpa/D. M. Sabagan
Dengan rakit bambu darurat
Siswa SD Filipina menyeberangi sungai dengan rakit bambu darurat di hari pertama tahun ajaran baru di sebuah desa terpencil di provinsi Rizal, timur Manila, Filipina. meskipun hanya 62 persen menyelesaikan sekolah tinggi. Di Filipina, meski minat mendaftar sekolah tergolong tinggi, hanya 62 % yang lulus pendidikan tinggi
Foto: picture-alliance/dpa/D. M. Sabagan
Murid Indonesia juga pernah mengalami
Beberapa anak Indonesia di pelosokl juga pernah mengalami nasib serupa. Tampak anak-anak SD menyeberangi sungai menggunakan jembatan rusak parah di Lebak, Provinsi Banten. Sekian lamanya pemerintah meremehkan risiko bahaya bagi anak-anak yang setiap hari pergi ke sekolah. Mengerikan melihat anak-.anak kecil melalui bahaya di atas jembatan miring yang rusak itu.
Foto: Getty Images/AFP/Str
Sebenarnya bukan jembatan
Siswa SD pergi ke sekolah melalui jembatan gantung yang menghubungkan desa Suro dan desa Plempungan di Boyolali, Jawa Tengah. Rangkaian batang besi sepanjang 30 meter dan lebar 1,5 meter yang terletak 10 meter di atas sungai ini sebenarnya bukan jembatan, tetapi saluran irigasi yang mengalirkan air dari waduk Cengklik ke sawah sekitarnya.