Prabowo Tarik Utang Baru di 2026, Tertinggi Sejak Pandemi
19 Agustus 2025
Prabowo Subianto berencana menarik utang baru Rp 781,9 triliun dalam RAPBN 2026—tertinggi sejak pandemi. Pemerintah pastikan strategi utang tetap hati-hati, efisien, dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
Utang di era Prabowo disebut sebagai instrumen penting untuk menjaga laju pembangunan, namun tetap menuntut pengelolaan yang hati-hati agar tidak membebani keberlanjutan fiskal di masa depanFoto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
Iklan
Presiden Prabowo Subianto berencana menarik utang baru senilai Rp 781,87 triliun pada 2026. Pengelolaan utang dipastikan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, mengutamakan pembiayaan inovatif dan berkelanjutan.
"Dalam RAPBN tahun anggaran 2026, pembiayaan utang direncanakan sebesar Rp 781,868 miliar yang akan dipenuhi melalui penerbitan SBN dan penarikan pinjaman," tulis dokumen Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN 2026, dikutip Senin (18/8/2025).
Dalam dokumen tersebut dijelaskan, APBN dirancang untuk mengemban dua agenda utama yaitu meredam gejolak sekaligus mendukung agenda pembangunan. APBN dirancang dapat melaksanakan program-program pembangunan prioritas di tengah risiko perekonomian yang meningkat akibat ketidakpastian global.
"Pemerintah memastikan rancangan strategi pengelolaan utang tahun 2026 dapat mendukung agenda tersebut. Kebijakan anggaran yang ekspansif merupakan upaya peningkatan kapasitas fiskal yang dibutuhkan sehingga APBN dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan pencapaian tujuan pembangunan," tulis dokumen tersebut.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Utang tertinggi sejak COVID-19
Dalam dokumen tersebut, dipaparkan pembiayaan utang dalam lima tahun terakhir yaitu Rp 870,5 triliun pada 2021; Rp 696 triliun pada 2022; Rp 404 triliun pada 2023; Rp 558,1 triliun pada 2024; serta Rp 715,5 triliun pada 2025 (outlook). Kemudian diungkapkan rencana pembiayaan utang sebesar Rp 781,9 triliun pada 2026.
Iklan
Artinya, angka itu menjadi yang tertinggi setelah 2021 atau era pandemi COVID-19 yang memang memerlukan pembiayaan besar. "Pemerintah memastikan pengelolaan utang berjalan secara prudent, akuntabel dan terkendali, sehingga dapat dijaga keberlanjutan fiskal," jelas dokumen tersebut.
Disampaikan ada tiga prinsip pemerintah dalam pengelolaan utang. Pertama, akseleratif dengan memanfaatkan utang sebagai katalis percepatan pembangunan dan menjaga momentum pertumbuhan.
Program Rp71 Triliun: Makan Bergizi Gratis untuk Semua
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu janji kampanye Presiden Prabowo. Dengan anggaran sebesar Rp71 triliun, bagaimana pelaksanaannya?
Foto: DW
Mengenal program MBG
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu janji kampanye Prabowo Subianto yang mulai dilaksanakan pada 6 Januari 2025. Terdapat 190 titik distribusi tersebar di 26 provinsi. Setiap titik distribusi dikelola oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG, yang bekerja sama dengan ahli gizi dan akuntan.
Foto: Agung Kuncahya B./Xinhua/IMAGO Images
Anggaran MBG
Program makan bersama yang didanai negara ini memiliki anggaran sebesar Rp71 triliun untuk tahun 2025, dengan Rp63,3 triliun dialokasikan untuk pemenuhan gizi nasional dan Rp7,4 triliun untuk program dukungan manajemen. Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, menyatakan bahwa jika program ini berjalan sepenuhnya, akan menghabiskan Rp400 triliun per tahun untuk 82,9 juta penerima.
Foto: Algadri Muhammad 2025
Prioritas dan sasaran
Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi, menyebutkan bahwa pada hari pertama, program MBG menjangkau 500 ribu penerima. Angka ini diharapkan meningkat hingga 3 juta penerima per hari pada Maret 2025 dan 15-17 juta orang pada Agustus-September 2025. Pada akhir 2025, Prabowo menargetkan MBG dapat dinikmati 82,9 juta orang, termasuk pelajar PAUD hingga SMA, ibu hamil dan menyusui, serta bayi dan balita.
Foto: Algadri Muhammad 2025
Pengelola dapur MBG
Badan Gizi Nasional (BGN), sebagai penanggung jawab utama program MBG, telah menunjuk 190 dapur utama yang disebut Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di 26 provinsi. Setiap dapur utama bertanggung jawab menyalurkan makanan untuk sekitar 3.000-3.500 penerima di wilayahnya. Pemerintah berencana meningkatkan jumlah dapur ini hingga 937 unit pada akhir 2025.
Foto: DW
MBG untuk anak berkebutuhan khusus
Berbeda dengan sekolah umum, implementasi MBG di sekolah luar biasa menghadapi kesulitan penyesuaian menu yang mencakup kebutuhan gizi anak berkebutuhan khusus (ABK). Kendala utama meliputi logistik distribusi bahan makanan segar ke daerah terpencil dan biaya pengadaan bahan khusus. Setiap sekolah harus memiliki dapur memadai dan berkoordinasi dengan ahli gizi untuk menyusun menu yang sesuai.
Foto: DW
Butuh tambahan anggaran
Sejak perencanaan, program ini menuai banyak pertanyaan, mulai dari mekanisme pelaksanaan hingga sumber anggaran. Meski diyakini bermanfaat, ada potensi penyalahgunaan anggaran. Namun, program ini akan dipercepat dengan anggaran tambahan. "Menurut hitungan Badan Gizi, tambahan Rp100 triliun pada September cukup untuk memberi makan 82,9 juta orang," sebut Kepala BGN, Dadan Hindayana.
Foto: Janusz Pieńkowski/PantherMedia/IMAGO
MBG dan prioritas lain
Kepada DW Indonesia, akademisi bidang ekonomi dari Universitas Diponegoro, Esther Sri Astuti, mengingatkan agar pemangkasan anggaran demi MBG tidak mengabaikan program prioritas lainnya. "Program MBG tidak perlu dipaksakan secara masif dan harus didukung oleh swasembada pangan. Jangan sampai program ini mendorong impor pangan secara drastis," ujarnya.
Foto: Press Office Indonesia
7 foto1 | 7
Kedua, efisien dengan memperhatikan penerbitan utang dengan biaya yang minimal melalui pengembangan dan pendalaman pasar keuangan dan diversifikasi instrumen utang. Ketiga, seimbang dengan menjaga portofolio utang pemerintah yang optimal pada keseimbangan antara biaya minimal dengan tingkat risiko yang dapat ditoleransi dalam rangka mendukung keberlanjutan fiskal.
Adapun RAPBN 2026 memproyeksikan defisit sebesar Rp 638,8 triliun atau 2,48% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit itu karena belanja negara dirancang mencapai Rp 3.786,5 triliun, lebih besar dari pendapatan negara yang ditargetkan senilai Rp 3.147,7 triliun.