1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Prabowo Tidak Terlibat Dalam Peristiwa 27 Juli?

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
25 Juli 2025

Prabowo tidak terlibat dalam Peristiwa 27 Juli 1996, meski peristiwa itu membentuk peta politik hingga hari ini. Hubungannya dengan Megawati justru semakin menguat sejak saat itu.

Presiden Prabowo SubiantoFoto: Willy Kurniawan/REUTERS

Peristiwa 27 Juli (1996) sudah hampir tiga dasawarsa berlalu, namun jejaknya masih terasa sampai hari ini, mengingat masih eksisnya Megawati. Peristiwa 27 Juli sendiri terbilang kompleks, dalam arti terlalu banyak faksi (baik militer maupun politisi) yang terlibat, yang tidak mungkin  untuk dibahas secara detail dalam sebuah tulisan pendek.

Dan lagi aktualitas peristiwa tersebut, dari waktu ke waktu semakin menurun, terlebih bila dihubungkan dengan peta politik hari ini. Ibarat pasang surut kehidupan, ketika pihak-pihak yang dulu dijauhkan dari kekuasaan, seperti PDIP (baca Megawati) dan elemen Partai Rakyat Demokratik (PRD),  kini justru masuk lingkaran inti kekuasaan. PDIP memang di luar pemerintahan, setidaknya untuk sementara, namun harus diakui Megawati tetaplah seorang "king maker” .

Satu hal yang penting disampaikan adalah, serumit-rumitnya peristiwa tersebut, agak sulit mencari keterkaitan  Prabowo dengan Peristiwa 27 Juli.  Anggap saja Prabowo tidak terlibat,  ketimbang mencari-cari dalih yang tidak pasti. 

Posisi Prabowo yang relatif netral, memudahkan Prabowo dalam  menjaga keberlanjutan hubungan yang saling menguntungkan dengan Megawati, bintang Peristiwa 27 Juli, sekaligus orang  yang paling banyak memperoleh dampak positif dari peristiwa tersebut.

Skema 2009

Dari pengamatan visual dan pemberitaan selama ini, kedekatan yang sangat kuat antara Prabowo dan Megawati adalah  keniscayaan.  Prabowo sendiri memang pribadi  unik, karena sejak tampil di panggung politik, Prabowo acapkali mengadopsi gaya Soekarno, khususnya dalam model berpakaian (termasuk peci).

Bisa dipahami, gaya Bung Karno memang tipikal, itu karena Bung Karno sadar bahwa dirinya selalu menjadi pusat perhatian publik, tentu berbeda dengan Bung Hatta atau Pak Cum (ayah Prabowo), yang gayanya di depan publik biasa-biasa saja. 

Ada dua tokoh yang sangat dikagumi Prabowo, yakni Pak Cum (ayahnya) dan Bung Karno.  Dua tokoh ini pula yang sangat menginspirasi Prabowo, sejak terjun sebagai politisi hingga berkuasa saat ini.

Program populis seperti MBG (makan bergizi kritis) dan program Koperasi Merah Putih, bisa disebut terinspirasi ideologi sosialisme, yang dianut Pak Cum. Kemudian dukungan Prabowo untuk memperkuat fondasi ekonomi domestik, dan bersikap kritis terhadap ekonomi pasar, bisalah diklaim terinspirasi Bung Karno.

Berdasar asumsi kekaguman Prabowo terhadap Pak Cum dan Bung Karno, kita bisa membayangkan bila skema Pilpres 2009 berpotensi terulang kembali, yaitu koalisi antara PDIP dan Gerindra. Bila koalisi PDIP dan Gerindra benar-benar terjadi pada Pilpres 2029, tentu akan menjadi kekuatan luar biasa. Selain berpeluang menang dalam kontestasi, namun yang lebih penting adalah, bagaimana koalisi itu adalah jalan untuk menepikan "dinasti Jokowi”.

 Begitu kuatnya hubungan antara Prabowo dan Megawati, yang sanggup menjadikan  Jokowi anomali dan seolah  bukan siapa-siapa. Kini masalahnya adalah usia dan kebugaran, apakah Prabowo dan Megawati masih cukup kuat sampai 2029, saat pemilihan presiden (pilpres) diadakan.

Bila Prabowo maju lagi sebagai capres, kemungkinan cawapres adalah dari PDIP atau proxy Megawati.  Rasanya Megawati tidak mungkin maju lagi dalam kontestasi, salah satu skenario yang akan dijalankan adalah, Megawati akan meng-endorse Puan Maharani atau Prananda Prabowo (anak Megawati dengan suami terdahulu,  penerbang AURI).

Bagi kelompok atau elemen politik yang menentang Jokowi, terulangnya skema 2009 tentu memberikan harapan. Bila Prabowo dan Megawati benar-benar bergabung,  nasib karier politik Gibran praktis dalam bahaya. Naiknya Gibran sebagai Wapres tempo hari, terlalu banyak unsur manipulatifnya, dan itu adalah bencana politik yang tiada terpermanai.

Dalam konteks ini, kita bisa menjadi paham, ketika Jokowi ingin menjadi Ketua Umum partai, meski partai itu masuk kategori semenjana (partai-partai non-parlemen). Jokowi sejatinya sedang limbung, karena secara kelembagaan, dia dalam posisi paria. Itu sebabnya Jokowi  wajib mencari "kendaraan” baru, yang mungkin agak reyot (dibandingkan dengan PDIP).

Bila benar dugaan saya,  bahwa skema 2009 akan terulang,  Prabowo tentu dengan besar hati akan mengajak Puan Maharani sebagai cawapres. Begitulah, politik adalah bagaimana mencari penyesuaian. Rivalitas personal antara Megawati dan Prabowo pada Pilpres 2014 dan 2019, anggap saja sebagai "bonus” atau "gimnastik revolusioner” dalam istilah Bung Karno.

Bila pada kampanye Pilpres 2014 dan 2019, sempat muncul narasi keberatan Megawati atas penampakan Prabowo, yang sempat mengadopsi simbolisasi Soekarno.  Untuk hari-hari yang akan datang, Megawati akan memberi keleluasaan, citra apa pun yang dikehendaki Prabowo.

Antara Letjen Soeyono dan Letkol Teddy

Sebagaimana telah disebut sekilas di atas, ada banyak kepentingan yang bermain dalam Peristiwa 27 Juli, salah satunya adalah ketika peristiwa tersebut dijadikan dalih  untuk menghentikan laju karier Letjen Soeyono (Akmil 1965), Kasum ABRI (kini TNI) saat itu. Para pengamat politik saat itu memperkirakan,  adalah  Soeyono yang disebut-sebut sebagai calon KSAD berikutnya, untuk menggantikan Jenderal Hartono (Akmil 1962).

Bila ditelusuri lebih jauh, Soeyono hanyalah "tumbal” dari konflik internal dalam tubuh elite TNI AD. Posisi Soeyono yang tidak bisa diidentikkan dengan salah satu kubu menyebabkan kedudukannya rentan. Soeyono hanya bermodal kesetiaan (tanpa batas) pada figur Soeharto, dan Soeharto sendiri memang terkesan sedang mempersiapkan Soeyono untuk menjadi KSAD. Bila akhirnya gagal, mungkin itu sudah takdir yang harus diterima Soeyono

Dalam kasus Soeyono, polarisasi itu bisa ditelusuri hingga di tingkat mikro, dalam hal ini lulusan Akmil 1965, yang tak lain adalah angkatan Soeyono. Lulusan Akmil 1965 terbilang besar (sekitar 400 perwira) sehingga banyak yang masuk jajaran perwira tinggi. Dari sekian jenderal, beberapa muncul sebagai figur kuat seperti Yunus Yosfiah, Theo Sjafei, Tarub, dan Syamsir Siregar. Dengan kata lain, pada generasi ini telah muncul faksi, semacam satelit polarisasi di luar.

Pada faksi "ABRI merah”, terdapat nama Theo Sjafei yang sejak lama dikenal sebagai perwira yang sangat dekat dengan Benny Moerdani. Sehingga pada level rekan setara, laju karier Soeyono sudah "ditorpedo” Theo Sjafei. Dan, uniknya lagi, yang menggantikan Soeyono sebagai Kasum adalah Tarub, yang sama-sama tak bisa dikategorikan masuk dalam faksi tertentu. Kelompok "merah” (faksi Benny) memang seolah tidak memperoleh apa-apa terkait distribusi jabatan strategis TNI, tapi mereka memiliki agenda lain.

Theo Sjafei sendiri berperan penting dalam menggerakkan operasi intelijen tingkat tinggi di belakang Peristiwa 27 Juli. Operasi ini punya agenda utama melambungkan nama Megawati sebagai simbol perlawanan mereka terhadap Soeharto. Bila kemudian Theo Sjafei begitu dipercaya oleh Megawati (ketika Megawati mulai berkekuasa), hal itu karena hubungan keduanya sudah lama dibina, bahkan dari jauh hari sebelum Peristiwa 27 Juli.

Sejarah seperti berulang. Kedekatan personal antara  Soeharto dan Soeyono (saat itu), mengingatkan kita pada kedekatan yang hampir serupa antara Prabowo dan Letkol Inf Teddy Indra Wijaya (Sekretaris Kabinet, Akmil 2011). Satu hal yang harus dihindari adalah, jangan sampai karier militer dan birokrasi Letkol Teddy akan berakhir tragis seperti Letjen Soeyono dulu. Tentu Prabowo sudah paham soal ini.

Melihat kedekatan pribadi dan kedinasan antara Prabowo dan Letkol Teddy, salah satu skenario yang disiapkan adalah mengkondisikan Letkol Teddy sebagai Cawapres pada 2029. Sehingga Prabowo memiliki alternatif cawapres, bila kubu PDIP tidak menyiapkan figur yang memiliki "nilai jual” tinggi. Menilik rekam jejak Prabowo selama menjadi komandan pasukan, bila Prabowo sudah berkehendak, tidak akan ada pihak yang berani menghalanginya. Dengan kata lain, bila Prabowo menghendaki Letkol Teddy sebagai cawapres kelak, Ketua Umum parpol koalisi tinggal mengamini saja.

Bila Gibran diposisikan sebagai benchmark, dari segi kompetensi, tentu Teddy lebih pantas. Latar belakang pendidikan Gibran tidak terlalu jelas, entah diploma atau sarjana (S-1), sementara Teddy adalah lulusan Akmil, sekolah kedinasan yang menjadi impian sebagian besar anak negeri. Bila di sela-sela penugasannya sebagai Sekretaris Kabinet, Letkol Teddy menyempatkan diri untuk mengikuti pendidikan Seskoad di Bandung, kompetensinya lebih meyakinkan lagi. 

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.