1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Prakarsa Jalan Sutra Baru Cina Timbulkan Bencana di Kamboja

17 Agustus 2021

Bendungan besar yang dibiayai Cina di Kamboja telah "menghancurkan" sumber mata pencaharian "puluhan ribu penduduk desa." Sementara produksi energi yang dijanjikan menurun, demikian disampaikan Human Rights Watch.

Waduk Lower Sesan 2
Bendungan Lower Sesan 2 di KambojaFoto: Chen Gang/Xinhua/imago images

Organisasi internasional hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW), menyebutkan bendungan Lower Sesan 2 di timur laut Kamboja selama ini telah memicu kontroversi, bahkan sebelum diluncurkan pada bulan Desember 2018 lalu.

Para pakar sebelumnya telah memperingatkan bahwa membendung pertemuan Sungai Sesan dan Srepok - dua anak sungai utama dari Sungai Mekong yang kaya sumber daya - bisa mengancam stok ikan di wilayah itu, yang sangat penting bagi makhluk hidup yang tinggal di sepanjang sungai.

Kerugian besar di hulu dan hilir

Puluhan ribu penduduk desa yang hidup di hulu dan hilir telah menderita kerugian besar atas pendapatan mereka, kata HRW - mengutip wawancara yang dilakukan selama dua tahun dengan beberapa orang dari 60 komunitas.

"Bendungan Lower Sesan 2 menghilangkan mata pencaharian masyarakat adat dan etnis minoritas yang  kebanyakan hidup dari memancing, mengumpulkan hasil hutan, dan pertanian, ujar John Sifton, Direktur Advokasi HRW untuk kawasan Asia yang juga menulis laporan HRW ini. "Pihak berwenang Kamboja perlu segera mempertimbangkan kembali metode kompensasi, pemukiman kembali, dan pemulihan mata pencaharian," tuturnya.

Masyarakat adat dan etnis minoritas yang terkena dampak proyek bendungan ini termasuk di antaranya  anggota komunitas Bunong, Brao, Kuoy, Lao, Jarai, Kreung, Kavet, Tampuan, dan Kachok.

"Tidak ada keraguan sama sekali bahwa (bendungan) berkontribusi secara signifikan terhadap masalah yang lebih besar, yang dihadapi Mekong saat ini," kata ahli energi dan air, Brian Eyler.  

Produksi energi lebih rendah

Pemerintah telah mendorong proyek pemukiman kembali sekitar 5.000 orang--dengan harapan bisa memproduksi sekitar seperenam dari kebutuhan listrik tahunan Kamboja seperti yang dijanjikan oleh grup Cina, Huaneng.

Namun, tingkat produksinya "kemungkinan jauh lebih rendah, hanya sepertiga dari yang disebutkan itu”, tulis laporan HRW.

Di lain pihak, juru bicara pemerintah, Pha Siphan mengatakan, proyek itu memberikan "dampak yang paling positif" dan bahwa penduduk desa yang dimukimkan kembali mendapat rumah baru, lahan pertanian, dan listrik.

"Tuduhan-tuduhan itu tidak masuk akal... dan lokasi baru itu lebih baik daripada tempat lama," kata Phay Siphan, seray menambahkan bahwa pemerintah akan terus memantau dampaknya.

Penduduk desa yang dimukimkan kembali mengatakan hasil pertanian mereka juga menurun karena tanah yang kurang subur, lebih banyak berbatu di lokasi pemukiman kembali, dan kehilangan pendapatan dari pohon buah dan kacang di desa lama mereka.

Pemerintah tidak memberikan kompensasi atas kerugian pendapatan dari tanaman jamur, tanaman obat, dan produk lain yang dikumpulkan dari hutan komunal. Kompensasi tidak cukup untuk mengatasi hilangnya budaya dan mata pencaharian penduduk. Warga mengeluh,  air sumur di sebagian besar lokasi pemukiman kembali terkontaminasi dan tidak dapat diminum.

Dalam laporannya, HRW menulis beberapa ratus penduduk desa tidak menerima kompensasi atau pemukiman kembali pada tahun 2017, tetapi malah pindah ke lahan kosong terdekat di sepanjang waduk baru yang dibuat oleh bendungan. Pemerintah setempat mengintimidasi penduduk desa ini.

Bendungan, yang pembangunannya memakan biaya sebesar 780 juta dolar AS ini adalah bagian dari inisiatif Prakarsa Jalan Sutra Baru, sebuah proyek super raksasa Cina bernilai 1 triliun dolar AS yang memiliki visi untuk pembangunan proyek maritim, kereta, dan jalan di seluruh Asia dan Eropa.

Skema Prakarsa Jalan Sutra Baru - yang dianggap simbol dari upaya Beijing untuk memperluas pengaruh ekonomi di seluruh dunia - telah dikritik secara luas karena membebani negara-negara kecil dengan utang yang tidak dapat dikelola.

ap/hp (AFP/HRW)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait