Pemberangusan buku dan razia dengan alasan mencegah kebangkitan komunisme yang dilakukan oleh aparat polisi, militer, dan organisasi massa makin membabi buta. Berikut refleksi Anton Kurnia.
Iklan
Sebagai orang Indonesia yang konon tidak suka membaca sehingga peringkat literasi kita hanya lebih baik dari Botswana sebagai yang terbuncit dari 61 negara yang disurvei, apa yang paling kita ingat tentang buku? Aroma kertas tua? Kisah yang terus melekat di kepala dan hati hingga berpuluh tahun kemudian? Atau diktat kuliah yang membosankan?
Bulan Mei ini, tepatnya pada 17 Mei, kita memperingati Hari Buku Nasional. Tanggal seremonial ini ditetapkan pemerintah sejak 17 Mei 1980 bertepatan dengan peresmian gedung Perpustakaan Nasional di Jakarta. Tanggal itu juga bertepatan dengan ulang tahun Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi).
Penetapan Hari Buku Nasional yang bertepatan dengan tanggal kelahiran Ikapi ini kemudian memicu kontroversi karena pihak penerbit seakan-akan “merebut” legitimasi simbol perbukuan nasional dari pemangku kepentingan (stake holder) perbukuan lainnya, antara lain pembaca dan penulis. Hari Buku Sedunia yang lazim diperingati setiap 23 April, misalnya, diambil dari tanggal kelahiran penulis, yakni William Shakespeare. Namun, saya tak akan berpanjang-panjang membahas kontroversi itu dalam tulisan singkat ini.
Kesempatan Emas bagi Sastra Indonesia
Tahun 2015, menjadi terobosan baru dalam karya sastra Indonesia. Indonesia akan menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurter Buchmesse, ajang pameran buku bergengsi di dunia, yang diselenggarakan tiap tahun di Frankfurt.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Acara Serah Terima
Serah terima Guest of Honour dari Finlandia kepada Indonesia Minggu, 12 Oktober 2014 di Pameran Buku Frankfurt.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Tarian Memukau
Penampilan musik dan tari Ayu Laksmi, Endah Laras dan Ariani, Minggu 12 Oktober 2014.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Tongkat Guest of Honour
Inilah tongkat Tamu Kehormatan yang diserahkan kepada Indonesia untuk 2015.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Dewi Dee Lestari
Dewi Dee Lestari bertukar pengalaman dengan penulis Finlandia Kjell Westo dalam acara serah terima.
Foto: Frankfurter Buchmesse/P. Hirth
Tamu Kehormatan
Indonesia akan menjadi tamu kehormatan di Frankfurter Buchmesse atau Frankfurt Book Fair pada tahun 2015 nanti. Dalam pameran buku akbar tahun ini dimana Finlandia menjadi tamu kehormatan, Indonesia mulai unjuk diri.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
17.000 Islands of Imagination
Indonesia mengemas keikutsertaan di FBF dalam tema "17.000 Islands of Imagination". Pulau dalam hal ini adalah semacam suatu imajinasi, kreativitas yang tidak terbatas yang lahir dan berkembang di 17.000 pulau di tanah air.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Memperkenalkan Indonesia
Dalam pameran buku tahun ini pihak penyelenggara memperkenalkan peran serta Indonesia sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Hadir dalam konferensi pers, Direktur Frankfurt Book Fair Juergen Boos, Wakil Menteri Kebudayaan Indonesia, Wiendu Nuryanti, Goenawan Mohamad, penulis senior yang menjadi panitia delegasi Indonesia, dan Husni Syawie dari IKAPI.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Banyak Peminat
Konferensi pers yang memperkenalkan Indoensia sebagai tamu kehormatan diserbu pengunjung. Menjadi tamu kehormatan sangat menguntungkan, karena mendapat kesempatan dalam menonjolkan Indonesia pada dunia. Bahkan, selama setahun sebelum penyelenggaraan, negara yang menjadi tamu kehormatan akan diperkenalkan ke publik dalam berbagai liputan media di Jerman.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Ajang Penting
Pameran buku internasional di Frankfurt merupakan ajang yang sangat efektif dalam mengenalkan para penulis Indonesia yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Mencari Penerjemah
Bukan perkara mudah untuk mencari penerjemah buku Indonesia ke dalam bahasa Jerman. Direktur Frankfurter Buchmesse Jürgen Boos mengatakan: "Ini merupakan tantangan besar, untuk mencari penerjemah sastra ke bahasa Jerman.“
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Terobosan Indonesia
Pada pertengahan tahun 1970-an, fokus pameran lebih bersifat tematik. Namun sejak tahun 1980-an, tiap tahun dipilih tamu kehormatan dari berbagai negara dalam pameran akbar itu. Setelah Indonesia menjadi tamu kehormatan tahun 2015, Belanda akan menyusul sebagai tamu kehormatan 2016.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
11 foto1 | 11
Pemberangusan di Indonesia
Salah satu pelaku utama dalam dunia perbukuan tentu saja adalah penulis. Sebab, merekalah pencipta buku yang memeras pikiran dan segala rasa, cipta, karsa untuk berkeasi menulis buku. Namun, di negeri ini nasib penulis masih memprihatinkan. Penulis kerap dihambat dalam berkarya, disensor, karyanya diberangus, bukunya dibakar, dan hak ekonominya dirugikan.
Kebetulan, menjelang awal Mei lalu, tepatnya 30 April 2016, kita memperingati 10 tahun wafatnya Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), salah satu penulis terbesar Indonesia sepanjang sejarah yang amat dihormati oleh dunia. Sayangnya, hingga saat ini secara resmi pelarangan buku-buku karya Pramoedya yang dilakukan sejak 1965 tak juga dicabut oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Jaksa Agung.
Sungguh ironis, pada peringatan hari buku nasional ini kita masih dibayangi oleh pemberangusan buku yang dilakukan justru oleh aparat pemerintah. Padahal, pemerintah bertanggung jawab atas upaya pencerdasan bangsa, termasuk melalui memudahkan akses terhadap buku bermutu.
Pemberangusan buku itu masih diperburuk dengan maraknya pelarangan dan teror terhadap acara sastra—yang notabene erat kaitannya dengan dunia perbukuan—di berbagai kota di Indonesia. Kasus terbaru adalah demonstrasi oleh segelintir orang dan hambatan dari pihak kepolisian terhadap ASEAN Literary Festival yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki, 5 hingga 8 Mei 2016. Mereka beralasan festival sastra ini menyebarkan paham komunisme karena beberapa acara membahas buku dan tema tentang peristiwa 1965.
Kita berbakat jadi pecinta buku
Namun, di sisi lain, saya menyaksikan pula fenomena yang menggembirakan dalam dunia perbukuan di tanah air. Pada 30 April hingga 9 Mei, di Serpong, diselenggarakan acara bazar buku internasional bertajuk The Big Bad Wolf Book Sale Jakarta. Acara bazar buku impor semacam ini yang telah sering dilakukan di Malaysia, baru kali pertama diadakan di Indonesia.
Acara yang menjual jutaan eksemplar buku impor bermutu dengan harga rabat relatif tinggi itu setiap hari diburu ribuan pembeli dan pencinta buku. Saya yang datang pada hari kelima menyaksikan betapa antusias para pengunjung berburu buku hingga rela mengantre panjang untuk masuk ke arena acara.
Meski dibayangi kegetiran atas pemberangusan buku dan acara diskusi buku yang masih saja terjadi, saya agak terhibur dan harapan saya ternyalakan oleh fakta betapa sesungguhnya kita ini sebetulnya bangsa yang berbakat menjadi pencinta buku. Yang jadi masalah, sejauh manakah bacaan kita itu bisa membuat kita menjadi manusia yang lebih baik, berpikiran terbuka, cerdas memandang persoalan, dan toleran terhadap perbedaan pendapat serta keyakinan?
Penulis:
Anton Kurnia, penulis dan pembaca, direktur penerbit Baca.
Greget Indonesia di Pameran Buku Frankfurt
Sebagai tamu kehormatan, Indonesia menyihir publik Jerman di pameran buku terbesar sejagad, Frankfurt Book Fair 2015. Selain karya sastra, tuan rumah juga disuguhi musik, desain dan kuliner dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Rasa, Bahasa dan Telinga
Untuk pertamakalinya publik Jerman bisa mencicipi Indonesia secara intim, yakni lewat Frankfurt Book Fair. Untuk itu komite nasional menyiapkan lebih dari 300 acara dan sebuah paviliun yang menyapa panca indera pengunjung yang ada.
Foto: DW/R. Nugraha
Suasana Mistis di Pavilun
Paviliun Indonesia yang diracik Muhammad Thamrin mengusung desain beraroma mistis, dengan lampu temaram kebiruan yang membuat setiap pengunjung seakan figur yang terbuat dari bayangan dan siluet, layaknya wayang Jawa.
Foto: DW/R. Nugraha
Membau Indonesia
Thamrin berupaya menghadirkan pengalaman unik buat pengunjung Jerman. Selain memanjakan mata dan telinga, publik juga disajikan aroma bumbu dan rempah khas Indonesia. Untuk itu panitia membawa ekstra 400 kilogramm bumbu dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Pulau Budaya di Lautan Kata-kata
Ketika mendapat tanggungjawab mendesain paviliun, Muhammad Thamrin diberi tugas menghadirkan laut dan kepulauan Indonesia dalam desainnya. Setelah berpikir lama, ia akhirnya mendesain lautan lampion bertuliskan puisi dan kutipan prosa dengan tujuh pulau yang dibedakan sesuai jenisnya, seperti Island of Tales yang menyajikan dongeng anak, atau island of images yang dihias dengan gambar-gambar komik
Foto: DW/R. Nugraha
Dendang Tsunami
Salah satu yang paling mengejutkan publik Jerman adalah penampilan grup musik Aceh, Rafly Kande. Hentakan rebana, gitar akustik dan alunan serunai Kalee yang dipadu dengan suara Rafly yang dinamis dan emosional menjadi pengalaman spesial buat pengunjung. Kekaguman penonton meledak ketika Rafly menjelaskan isi lagu yang berkisah tentang hutan gunung leuser, Tsunami dan semangat hidup.
Foto: DW/R. Nugraha
Merdu Puisi Sapardi
Penampilan lain yang tidak kalah menarik adalah musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono oleh Reda Gaudiamo dan Ari Malibu. Merdu suara kedua musisi merangkai bait-bait sederhana puisi Sapardi dalam lagu yang ringan dan menyentuh. Ini pun bisa dikatakan pengalaman baru buat publik Jerman yang hadir.
Foto: DW/R. Nugraha
Indonesia Lewat Imajinasi Jompet
Seniman Indonesia Jompet Kuswidananto turut menghadirkan karyanya dengan judul "Power Unit" yang dipajang di galeri seni Kunstverein, Frankfurt. Instalasinya itu mengingatkan akan aksi demonstrasi yang ramai dan meriah jelang pemilihan umum.
Foto: DW/R. Nugraha
Eko Menggugat
Seniman lain yang turut hadir adalah Eko Nugroho. Karyanya terkesan banal dengan gaya yang mirip sebuah oret-oretan grafiti. Tapi warna-warni dan pesan pada setiap karya seniman asal Yogyakarta ini membuktikan sebaliknya.
Foto: DW/R. Nugraha
"Bukan Politik, Tapi Takdir"
Salah satu gambar Eko berjudul "Bukan Politik, tapi Takdir," yang menyoal pengungsi. Pesan yang disampaikan Eko bahwa "setiap orang bermigrasi" sangat mengena dengan problematika kekinian yang dihadapi publik Jerman.