Presiden Recep Tayyip Erdogan dinyatakan menang pemilihan presiden. Partainya AKP juga memenangkan pemilihan parlemen yang dilaksanakan bersamaan. Erdogan memperingatkan oposisi agar "tidak mempertanyakan" hasil pemilu.
Iklan
Recep Tayyip Erdogan, 64 tahun, memenangkan "suara mayoritas absolut", kata Ketua Dewan Pemilihan Tertinggi Turki, Sadi Guven, Senin pagi (25/6). Namun pihak oposisi meragukan hasil perhitungan suara. Erdogan dinyatakan memenangkan 52,5 persen suara dengan lebih dari 99 persen suara dihitung.
Sementara dalam pemilihan parlemen yang dilangsungkan bersamaan, partai AKP merebut 42,5 persen suara dan aliansinya MHP 11,1 persen. Dengan demikian, koalisi pemerintahan tetap menguasai mayoritas absolut.
Partai oposisi CHP dan aliansinya memenangkan sekitar 34 persen suara. Partai pro-Kurdi HDP diperkirakan mendapat 11 persen suara dan bisa masuk parlemen, setelah berhasil melampaui ambang batas 10 persen.
Sistem pemerintahan baru
Pemilu di Turki yang dilaksanakan hari Minggu (24/6) adalah yang pertama di bawah konstitusi baru yang diputuskan setelah referendum bulan April 2017. Perubahan terpenting adalah dihapusnya jabatan Perdana Menteri. Presiden Turki kini sekaligus merangkap jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.
Dengan hasil pemilu, Recep Tayyip Erdogan mengukuhkan kekuasaan di Turki sampai tahun 2023. Sistem yang baru memberi presiden kekuasaan yang luas, yang oleh para kritikusnya dikatakan sebagai "lonceng kematian bagi demokrasi" Turki. Namun dalam pidato di hadapan para pendukungnya, Erdogan justru memuji "perkembangan demokrasi" di Turki dan menyebutnya sebagai "contoh bagi dunia".
"Rakyat telah memberi kami mandat melaksanakan jabatan presiden dan jabatan eksekutif", kata Erdogan di Istanbul hari Minggu sebelum berangkat ke Ankara untuk merayakan kemenangannya.
Peringatan kepada oposisi
Erdogan juga langsung memperingatkan para penentangnya: "Saya harap tidak ada seorangpun yang mempertanyakan hasil ini dan mengganggu demokrasi hanya untuk menutupi kegagalannya".
Pesaing Erdogan dari partai oposisi terbesar CHP Muharrem Ince hanya mampu merebut sekitar 31 persen suara, sehingga pemilihan presiden dinyatakan selesai dalam satu putaran. Kandidat pro Kurdi Selahattin Demirtas yang saat ini berada dalam tahanan mengumpulkan sekitar 8 persen suara.
Recep Tayyip Erdogan selama bertahun-tahun berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi Turki dan membangun inftrastruktur. Namun dia juga menindas lawan-lawan politiknya dan membungkam media yang kritis. Sekitar 160.000 orang ditahan dalam beberapa tahun terakhir dengan alsan menentang pemerintah Turki.
Pemilu Turki diikuti sekitar 59 juta pemilih, termasuk 3 juta pemilih di luar negeri. Tingkat partisipasi dilaporkan mencapai 87 persen.
Siapakah Recep Tayyip Erdogan?
Dari aktivis menjadi presiden, karir politik Recep Tayyip Erdogan menanjak pesat. Namun ia juga menjadi sosok yang kontroversial. DW melihat lebih dekat jalan Erdogan menuju tampuk kekuasaan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Morenatti
Bangkitnya Turki di bawah Erdogan
Di Turki dan di luar negeri, sosok Recep Tayyip Erdogan menimbulkan efek berlawanan. Ada yang menggambarkannya sebagai "sultan" Ottoman baru dan ada juga yang menganggapnya pemimpin yang otoriter. DW mengeksplorasi bangkitnya pemimpin Turki ini dari masa awal berkampanye untuk urusan Islamis hingga menjadi presiden di negara yang memiliki kekuatan militer terbesar kedua di NATO.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Morenatti
Walikota Istanbul yang pernah dipenjara
Setelah bertahun-tahun bergerak di jajaran Partai Kesejahteraan yang berakar Islamis, Erdogan terpilih sebagai walikota Istanbul pada 1994. Namun empat tahun kemudian, partai itu dinyatakan inkonstitusional karena mengancam sistem pemerintahan sekuler Turki dan dibubarkan. Ia kemudian dipenjara empat bulan karena pembacaan puisi kontroversial di depan umum dan akibatnya ia kehilangan jabatannya.
Erdogan mendirikan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), yang memenangkan mayoritas kursi pada tahun 2002. Dia diangkat menjadi perdana menteri pada tahun 2003. Di tahun-tahun pertamanya, Erdogan bekerja untuk menyediakan layanan sosial, meningkatkan ekonomi dan menerapkan reformasi demokratis. Beberapa orang berpendapat bahwa Erdogan mengubah haluan pemerintahan Turki menjadi lebih religius.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Ozbilici
Ingin generasi yang saleh
Meskipun konstitusi Turki menjamin sistem sekluarisme, pengamat yakin bahwa Erdogan telah berhasil membersihkan sistem sekuler di sana. Pemimpin Turki ini mengatakan bahwa salah satu tujuannya adalah untuk membangkitkan "generasi yang saleh." Pendukung Erdogan memuji inisiatifnya dengan alasan bahwa tahun-tahun diskriminasi terhadap Muslim yang religius akhirnya bisa berakhir.
Foto: picture-alliance/AA/C. Ozdel
Berhasil lolos dari usaha kudeta
Pada Juli 2016, kudeta militer gagal yang menargetkan Erdogan dan pemerintahannya menyebabkan lebih dari 200 orang tewas, termasuk warga sipil dan tentara. Setelah upaya kudeta, Erdogan mengumumkan keadaan darurat dan bersumpah untuk "membersihkan" militer. "Di Turki, angkatan bersenjata tidak mengatur negara atau memimpin negara. Mereka tidak bisa," katanya.
Foto: picture-alliance/AA/K. Ozer
Penumpasan oposisi
Sejak kudeta gagal, pihak berwenang menangkap lebih dari 50.000 orang di angkatan bersenjata, kepolisian, pengadilan, sekolah dan media. Erdogan menuduh Fethullah Gulen (seorang ulama yang diasingkan di AS dan mantan sekutu Erdogan) dan para pendukungnya telah mencoba merusak pemerintahan. Namun organisasi HAM meyakini tuduhan itu merupakan sarana untuk memperkuat kekuasaan dan pengaruhnya.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Gurel
Didukung dan dikritik
Meskipun Erdogan menikmati dukungan signifikan di Turki dan komunitas diaspora Turki, dia dikritik karena kebijakannya yang keras dan aksi-aksi terhadap militan Kurdi setelah runtuhnya proses perdamaian pada 2015. Januari 2018, Erdogan meluncurkan serangan mematikan ke utara Suriah (Afrin), sebuah operasi yang secara luas dikecam oleh organisasi HAM.
Foto: picture- alliance/ZUMAPRESS/Brais G. Rouco
Era baru?
Menjabat sebagai presiden Turki sejak 2014, Erdogan ingin memperpanjang jabatannya. Pemilu bulan Juni akan menandai transisi Turki menjadi negara presidensial bergaya eksekutif. Namun disinyalir, lanskap media Turki didominasi oleh kelompok yang punya hubungan dengan Partai AKP yang berkuasa. Para pengamat percaya, pemilu ini menandai era baru bagi Turki - belum jelas, era baik atau buruk.(na/hp)