Presiden Jerman, Frank Walter-Steinmeier dalam konferensi Majelis Agama Dunia ke-10 di Lindau, Jerman mengingatkan agar agama jangan sampai disalahgunakan sehingga memicu konflik.
Iklan
Lagu paling terkenal dari musik pop abad ke-20, yang kerap diulang-ulang ketika orang-orang memimpikan masa depan yang lebih baik, adalah "Imagine" oleh John Lennon. Sejak tahun1971, lagu ini telah menggerakkan jutaan orang; tentu saja karena melodinya yang indah, tetapi juga karena teks visionernya, yang mengajak orang membayangkan semua orang hidup dalam damai. Demikian disampaikan Presiden Jerman, Frank Walter Steinmeier yang mengajak semua pihak bersatu membawa perdamaian bagi dunia.
Di hadapan ratusan perwakilan lintas agama di Majelis Agama Dunia ke-10 yang diprakarsai inisiatif Religion for Peace, di Lindau, Jerman, ia mengatakan: ”Ini juga merupakan tantangan intelektual, politik, dan paling tidak kehidupan bagi mereka yang memiliki peran dalam agama mereka, yaitu, mereka yang bertanggung jawab atas bagaimana agama mereka memengaruhi kehidupan sehari-hari.”
Ia menambahkan, iman religius bisa menjadi kekuatan besar, sungguh luar biasa, yang dapat membentuk individu untuk seluruh hidupnya, yang dapat memberi kekuatan dan makna. "Namun iman dan agama juga bisa disalahgunakan. Sebagai motivasi pada dasarnya niat dan agama lebih dari tujuan politik.” Frank Walter-Steinmeier mengingatkan agar jangan sampai agama disalahgunakan sehingga memicu konflik.
Steinmeier juga menyebutkan bahwa hingga hari ini, di banyak tempat di dunia, kita menyaksikan bagaimana sentimen dan kepercayaan agama dapat berubah menjadi kekerasan terhadap orang-orang dari agama lain, baik di Myanmar, Nigeria, Mali, di Timur Tengah, Indonesia, atau di Pakistan: "Kita mengalami berkali-kali bagaimana agama - terutama melalui pengaruh pemimpin yang sinis dan tidak bermoral - dapat menjadi kekuatan yang mengerikan, tanpa ampun.”
Majelis Agama Dunia ke-10, kali ini mengangkat tema: "Peduli Masa Depan Kita Bersama — Meningkatkan Kesejahteraan Bersama." Ratusan pemimpin agama, tokoh pemuda dan perempuan di sektor agama dari lebih dari 100 negara akan bergabung dengan perwakilan pemerintah, organisasi antar-pemerintah, dan kelompok masyarakat sipil untuk menjalin kemitraan dalam mengatasi konflik di dunia.
Pertemuan pertama Religions for Peace berlangsung pada tahun 1970 di Kyoto, Jepang. Lewat pertemuan tersebut, majelis ini kian berkembang menjadi koalisi multi-agama terbesar dan paling representatif di dunia.
Selain digelar berbagai dialog, acara spiritual bersama juga dilakukan di sekitar instalasi Ring for Peace, simbol Majelis Dunia ke-10. Ring for Peace adalah cincin kayu setinggi 7,5 meter dalam bentuk strip Moebius yang dibangun di Taman Luitpold. Cincin raksasa ini terbuat dari kayu dari berbagai wilayah dunia.
Komunitas Indonesia Lintas Agama di Berlin Bantu Anak Terlantar
Membantu sesama tidak kenal batas, baik batas wilayah, etnis maupun agama. Di Rumah Budaya Indonesia di Berlin, komunitas Muslim dan Protestan Indonesia bahu-membahu membantu anak-anak terlantar. Itulah organisasi Arche.
Foto: Rima Agustine
Membantu Arche
Arche merupakan sebuah organisasi sosial yang bergerak dalam penanganan anak-anak terlantar. Organisasi ini bermula datang dari inisiatif rohaniwan Bernd Siggelkow atas keprihatinannya pada kehidupan anak-anak terlantar. Arche saat ini menjadi sebuah pusat kegiatan belajar dan bermain. Tidak hanya untuk anak-anak berkebutuhan sosial khusus, namun juga untuk anak-anak pada umumnya.
Foto: Rima Agustine
Berbagi rasa
Komunitas "Indonesia Für Deutschland" (IFD) atau komunitas warga Indonesia di Jerman, menggelar acara budaya di Rumah Budaya Indonesia bagi anak-anak Arche ini. Mereka memperkenalkan Indonesia dan membagikan bantuan pada mereka yang kurang beruntung seperti anak-anak Arche. Proyek ini kerjasama KBRI, komunitas masyarakat Muslim dan juga komunitas masyarakat Protestan di Berlin.
Foto: A. Simohartono
Dimanakah Indonesia?
Rasa keingintahuan tentang Indonesia dari anak-anak Arche rupanya sangat tinggi, hal itu tampak dari rentetan pertanyaan yang diajukan hampir tanpa henti. Mereka tertarik dengan cerita banyaknya gunung berapi di Indonesia, kostum adat yang tercetak di banner sambutan milik Rumah Budaya Indonesia, dan terutama tertarik pada cerita dan gambar permainan-permainan tradisional yang ditampilkan.
Foto: A. Simohartono
Mendapat hiburan
Anak-anak dihibur dengan pertunjukan musik angklung dari Gentra Pasundan. Gentra Pasundan juga mengajak para hadirin memainkan beberapa lagu Indonesia dan lagu internasional dengan diiringi angklung. Selanjutnya, penyerahan donasi, demikian dipaparkan Thomas Budiarto, salah satu pegiat acara kemanusiaan ini.
Foto: A. Simohartono
Makan-makan
Mereka yang hadir disuguhi makan malam bersama dengan menu Mie Goreng khas Indonesia dan jajanan lainnya yang merupakan sumbangan dari warga Indonesia. Anak-anak sangat menyukai hidangan Mie Goreng dan jajanan yang disajikan. Tidak ketinggalan, hidangan yang tersisa habis ludes dibungkus oleh anak-anak Arche untuk dibawa pulang.
Foto: Rima Agustine
Berbagi dengan sesama
Saat ini, Arche sudah berdiri di lebih dari 20 lokasi di Jerman, dan yang terbanyak adalah di Berlin. Lebih dari 4.000 anak-anak dan remaja terlibat dalam berbagai kegiatan yang ditawarkan Arche. (sumber: http://www.kinderprojekt-arche.eu/ueber-uns)
Foto: Rima Agustine
Membantu tanpa pandang bulu
IFD awalnya diinisiasi oleh PCINU (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama) Jerman, yang dalam kelanjutannya jadi gerakan masyarakat Indonesia karena para sukarelawan dari berbagai latar-belakang ikut bergabung di komunitas ini. Juni 2017 berhasil dikumpulkan lebih dari 40 sukarelawan untuk turun ke jalan, bagikan paket makanan kepada tunawisma di Berlin. Sumber: IFD/Thomas Budiarto (Ed.: ap/ml)