1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Presiden Jerman di Uganda

6 Februari 2008

Uganda berhasil mengurangi kemiskinan di negaranya. Meski begitu, dampak perang saudara selama dua puluh tahun meninggalkan bekas pada perkembangan negara. Baru-baru ini Jerman meningkatkan dana bantuan bagi negara ini

President Horst Koehler, tengah, tersenyum besama petinggi Uganda di Mahkamah Agung Kampala pada 4 Februari, 2008Foto: AP

Harian Uganda menyebut Presiden Jerman Köhler sebagai Pahlawan Pembangunan. Itulah kira-kira judul di halaman utama harian nasional Uganda itu. Dalam lawatannya yang ke lima, Presiden Jerman ini berkunjung ke Uganda dan Ruwanda. Di sana, ia mewakili Jerman yang mengupayakan dukungan untuk perdamaian dan rekonsiliasi.

Di Uganda, dukungan Jerman untuk pembangunan tidak kecil. Bahkan baru-baru ini dana bantuan itu ditingkatkan. Pasalnya, Uganda masih harus berkembang di berbagai bidang. Pada hari pertama lawatannya, Horst Köhler tampak ceria.


„Saya merasa diberi kepercayaan besar dalam urusan pembangunan di Uganda. Dan menurut saya, negara itu sedang menuju jalan yang baik. Sekarang, bila melihat krisis yang mencuat di sekitarnya, maka Uganda tampil sebagai jangkar yang stabil di wilayah itu“.

Uganda telah berhasil mengurangi kemiskinan di negaranya. Meskipun begitu, dampak perang saudara yang berlangsung selama dua puluh tahun antara wilayah Utara dan Selatan Uganda membekas pada perkembangan negara.

Khususnya di Uganda utara, pembangunan betul-betul terhenti oleh perang saudara yang berakhir setelah gencatan senjata pada tahun 2006. Sejak itupun, wilayah Utara tersebut kerap tak diperhatikan oleh pemerintahan pusat.

Menurut Presiden Uganda Yoweri Museveni kini hal itu akan berubah. Paling tidak itulah yang disampaikannya kepada Presiden Jerman, Horst Köhler.

„Saya senang mendengar bahwa di Uganda Utara akan berlangsung banyak sekali program pembangunan dan investasi, yang nilainya akan mencapai 600 juta dolar. Menurut saya, ini merupakan bagian penting dalam upaya rekonsiliasi dan memperbaiki kehidupan masyarakat di sana. Supaya orang bisa kembali ke tempat tinggal sebelumnya. Dan memiliki kesempatan untuk bekerja dan membangun kembali komunitasnya.“

Dari dua puluh ribu tentara anak-anak yang dipaksa aktif dalam perang saudara itu, hampir semuanya sudah kembali. Tak semua pulang ke keluarganya, ada juga yang masih menetap di kamp-kamp yang lambat laun semakin kosong. Dua juta pengungsi yang sebelumnya berada di sana sudah mulai berangkat dalam kelompok-kelompok kecil, pulang ke desanya. Meskipun tak ada infrastruktur apa pun di sana. Tak ada rumah sakit dan tak ada sekolah.

Bagi Richard Buzinge yang bekerja untuk LSM Internasional CARE, di Uganda, perdamaian di negara itu amat penting. Bukan saja bagi warganya, tapi juga bagi perkembangan Uganda selanjutnya. Menurut dia, masyarakat Uganda yang hidup serba kekurangan ini, mengidamkan kehidupan damai di desanya, tanpa perlu merasakan ketakutan akan diserang lagi.(ek)