Jokowi Berhadapan Dengan Oposisi Kuat
20 Oktober 2014Joko Widodo sering disebut sebagai figur pilihan rakyat, yang bekerja untuk memenuhi harapan warganya. Dia tidak mau membuat kompromi-kompromi yang merugikan rakyat, dia mengandalkan popularitasnya untuk menghadapi oposisi yang kuat.
Widodo dilihat sebagai wakil dari generasi muda baru pasca era diktato, yang menolak praktik korupsi di tingkat elit dan ingin mengembangkan pemerintahan demokratis di negara Muslim terbesar dunia. Inilah wacana yang membawa Joko Widodo menang tipis atas rivalnya Prabowo Subianto, mantan anak mantu penguasa otoriter Indonesia, Suharto. Subianto percaya, politik di Indonesia bisa dibeli oleh mereka yang menawarkan pembayaran tertinggi. Ketika Widodo dinyatakan menang, Subianto dan para pendukungnya sempat menyatakan tidak mau menerima kekalahan mereka, dan mundur dari proses pemilihan.
Mereka lalu mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi tentang manipulasi pemilu presiden. Mereka tetap menolak menerima hasil penghitungan suara, sekalipun mahkamah tertinggi di negara itu menolak gugatan mereka. Sekarang, mereka ingin menggalang oposisi politik untuk membendung pemerintahan presiden yang baru. Beberapa waktu lalu, parlemen lama, yang akan mengakhiri masa jabatan, mengeluarkan undang-undang untuk membatalkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Padahal mekanisme inilah yang memunculkan pimpinan-pimpinan politik lokal seperti Widodo, yang kemudian berhasil naik ke kursi Gubernur Jakarta. Terlebih lagi, pemilihan langsung adalah salah satu hasil perjuangan demokrasi Indonesia sejak tumbangnya era dikatur Suharto.
Ini semua adalah perkembangan yang mengkhawatirkan, yang bisa jadi pukulan besar bagi Widodo dan aliansinya. Subianto sendiri, selama kampanye pemilu presiden, mempertanyakan sistem demokrasi sebagai masa depan Indonesia.
Koalisi Prabowo lalu menggunakan mayoritas 63 persen di parlemen untuk menguasai pemilihan Ketua DPR. Mereka sekaligus merebut semua kursi wakil ketua DPR. Artinya, pihak oposisi, bukan presiden, yang nantinya akan menetapkan agenda legislatif di parlemen hasil pemilu bulan April lalu.
Joko Widodo, yang lebih populer dengan panggilan Jokowi, tetap menolak sistem bagi-bagi kursi untuk menarik hati para elit politik dari era Suharto. Ia lebih mengandalkan dukungan jutaan pemilihnya, tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip yang dijunjungnya.
Ini adalah sikap yang terhormat. Tapi, Jokowi harus mampu merebut opini publik agar bisa menekan oposisi yang menguasai mayoritas di parlemen untuk mendukung program-program politiknya.
Ini adalah agenda politik yang penuh resiko, sama seperti yang dijalankan Presiden AS Barack Obama. Tidak ada yang bisa memprediksi, siapa yang akan muncul sebagai pemenang dalam pertarungan politik ini.
Ekonomi Indonesia akan mengalami hambatan besar, jika terjadi konfrontasi politik berkepanjangan antara presiden dan parlemen. Para pelaku ekonomi, yang menyambut kemenangan Jokowi dengan positif, mulai khawatir dengan perkembangan politik selanjutnya. Perekonomian masih tertekan dengan lemahnya nilai tukar Rupiah dan besarnya defisit anggaran. Harapan Jokowi untuk memberi gebrakan pada investasi, kelihatannya sulit terlaksana.
Jokowi kelihatannya akan mengandalkan strategi yang ia jalankan sebagai Gubernur Jakarta. Yaitu dengan pendekatan pragmatis untuk mencari solusi masalah. Ia tetap menolak untuk berkompromi dengan para elit politik lama yang korup.
Namun sebagaimana dikatakan salah satu Kanselir Jerman, Otto von Bismarck, "politik adalah seni menemukan kemungkinan. Seni mencari kemungkinan terbaik."
Jokowi perlu menjalani pengalaman ini, sekalipun kompromi dengan para elit tua mungkin terasa tidak enak. Tapi itulah mungkin satu-satunya cara untuk meloloskan paling tidak beberapa agenda reformasinya. Karena itulah yang saat ini sangat dibutuhkan Indonesia, dan bukan pertengkaran panjang di antara para politisi.