Presiden Jokowi, Saatnya Bela Hak Warga dan Kebebasan Papua
Hendra Pasuhuk28 Desember 2015
Papua, kaya sumber daya alam namun paling terbelakang. Kapan pemerintah di Jakarta mau membela kesejahteraan dan hak-hak warga Papua?
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Iklan
Anda tahu mana dua provinsi termiskin dari seluruh kawasan Indonesia? Saya kira banyak yang bisa menerkanya: Provinsi Papua dan Papua Barat. Di kedua daerah itu, angka kemiskinan berada di atas 35 persen. Artinya, 35 persen warganya punya pendapatan rata-rata di bawah 200.000 Rupiah per bulan. Itu data statistik tahun 2010.
Saya tidak perlu bertanya mana daerah yang punya sumber daya alam terkaya di Indonesia. Sebagian besar dari kita tahu apa jawabannya: Papua. Pikirkanlah… Bukankah ini fakta-fakta yang sangat tragis bagi warga Papua?
Saya ingat tahun 2014, warga Skotlandia di Inggris menggelar referendum untuk menjadi merdeka dan memisahkan diri dari Inggris. Mereka yang pro kemerdekaan mengatakan, sudah bosan melihat tingkah pemerintahan di London yang melupakan Skotlandia, padahal kawasan itu kaya sumber alam.
Ketika itu, para pemimpin di London berlomba-lomba datang ke Skotlandia dan membujuk-bujuk warganya agar menolak opsi kemerdekaan. Bukan pasukan bersenjata yang dikirim. Perdana Menteri David Cameron hampir menangis di Edinburgh, ibukota Skotlandia, memohon pemilih Skotlandia: "Please…, jangan tinggalkan kami!"
Akhirnya, referendum kemerdekaan memang ditolak mayoritas pemilih Skotlandia. Tapi bukan itu esensi yang penting dalam konteks kali ini.
Penindasan puluhan tahun
Selama puluhan tahun, rakyat Papua menjadi korban adu kepentingan kelompok-kelompok elit di Jakarta dan perpanjangan tangannya di tanah Papua.
Tentara Indonesia di Papua, lebih berkuasa daripada Presiden Jokowi?Foto: picture-alliance/dpa
Mereka, dengan sedikit terselubung atau mencolok mata terbuka, merampok kekayaan Papua dan memperkaya dirinya sendiri.
Ada yang malu-malu sebab merasa tidak etis, ada yang mendemonstrasikan kerakusan dan kekuasaan karena merasa superior. Akses wartawan ke Papua dibatasi, kebebasan berpendapat ditindas.
Selama puluhan tahun, Papua menjadi daerah operasi dan latihan militer dan aparat keamanan, sekaligus tempat meraup kekayaan. Polisi dan tentara saling tembak berebut lahan basah.
Pada siapa rakyat Papua bisa berharap? Di mana solidaritas dan suara nurani saudara-saudara sebangsa dan setanah airnya yang lebih sering bungkam? Dimana semangat untuk membela hak-hak kemerdekaan bangsa-bangsa yang dikumandangkan saat-saat pendirian Republik Indonesia?
Menagih Janji Jokowi
Saya teringat konflik Aceh, yang punya nasib serupa. Perdamaian bisa tercapai di Aceh, setelah para tokoh GAM yang ada di luar negeri diajak berunding, antara lain berkat usaha Wapres Jusuf Kalla (di masa pemerintahan SBY) dan melalui penengahan pihak asing. Apa pola ini bisa dan perlu diterapkan untuk Papua? Siapa yang bisa dijadikan mediator?
Pertambangan Grasberg milik Freeport di Papua, tambang emas terbesar duniaFoto: Getty Images/AFP
Joko Widodo adalah satu-satunya kandidat yang berkunjung ke Papua selama masa kampanye pemilu presiden tahun lalu. Presiden Jokowi tahun lalu berkunjung ke Papua dan menjanjikan bahwa kawasan itu akan terbuka bagi jurnalis asing.
Sayangnya, seperti kita tahu, langkah itu langsung ditentang militer dan Presiden Joko Widodo harus tunduk pada kenyataan itu dan mengurungkan niat "membuka Papua untuk media".
Kasus "Papa Jual Saham" kini makin membuka mata publik, betapa kerakusan para pengusaha dan petinggi politik telah merusak tatanan politik dan menggerus otoritas pemerintahan di kawasan itu. Papua bagi mereka adalah lumbung nyaman menumpuk kekayaan sendiri.
Kinilah saatnya, pemerintah di Jakarta menunjukkan keseriusan dan pembelaan kepada hak-hak warga Papua. Karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa! Jangan biarkan Papua dikuasai tentara dan geng-geng bersenjata.
Presiden Jokowi pada pergantian tahun akan berkunjung lagi ke Papua. Apa agendanya? Warga Papua sudah kenyang dengan janji-janji muluk dan kosong! Berikan kebebasan agar warga Papua bisa berkiprah di bawah langit Indonesia untuk menyejahterakan warganya. Bebaskan media meliput, agar fungsi pengawasan bisa berjalan.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.