Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyesal telah menghina Presiden AS Barack Obama dengan sebutan "anak pelacur." Ironisnya permintaan maaf tersebut tidak disampaikan langsung, melainkan melalui jurubicara kepresidenan.
Iklan
Bertutur kata kasar sudah menjadi keseharian buat Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Dia pernah mengejek duta besar AS di Manila dengan sebutan "anak pelacur yang homo" dan menyebut PBB "bodoh" karena melayangkan kritik terhadap perang narkoba di Filipina.
Tapi untuk ukuran Duterte sekalipun celotehannya baru-baru ini sudah berlebihan. Ia menyebut Presiden AS, Barack Obama sebagai "anak pelacur." Sontak Gedung Putih membatalkan pertemuan empat mata kedua kepala negara.
Kini sang presiden melalui jurubicaranya meminta maaf atas kata-kata tersebut. "Kami menyesal bahwa komentar yang saya layangkan diterima sebagai serangan personal terhadap presiden AS," tutur Ernesto Abella mengutip Duterte.
Bahwa Duterte tidak berpikir dua kali sebelum berucap terlihat pada komentarnya di sela-sela KTT ASEAN di Vientiane, Laos, Senin (5/9). "Saya tidak ingin berkelahi dengannya. Dia adalah presiden paling berkuasa di dunia," ujarnya.
Pria berusia 71 tahun itu sedang terpojok oleh kritik perihal pembunuhan di luar pengadilan dalam perang narkoba yang kini telah menelan 2400 korban jiwa di Filipina. Sebelum berkomentar pedas terhadap Obama, ia sempat mewanti-wanti dirinya tidak ingin dikuliahi soal Hak Azasi Manusia.
Duterte gets up close and personal
00:31
"Anda harus menunjukkan rasa hormat. Jangan cuma melemparkan pertanyaan dan pernyataan," tuturnya.
Hubungan Amerika Serikat dan Filipina yang selama ini berlangsung mulus, mulai merenggang sejak Duterte berkuasa. Tidak heran jika Kementerian Luar Negeri di Manila buru-buru meralat ucapan sang presiden dengan mengeluarkan pernyataan bahwa Duterte "memiliki afinitas dan rasa hormat yang besar terhadap Presiden Obama dan hubungan erat kedua negara."
Namun Duterte tidak lantas mengubah kebijakannya. Senin di Kamboja ia kembali menegaskan akan tetap mengobarkan pertumpahan darah dalam perang Narkoba. "Akan ada banyak orang yang terbunuh hingga bandar terakhir lenyap dari jalanan, hingga produsen narkoba terakhir tewas" tegasnya.
Sisi Gelap Perang Narkoba di Filipina
Presiden Filipina Rodrigo Duterte bersumpah akan memberantas bisnis narkoba. Untuk itu ia menggunakan cara-cara brutal. Hasilnya ratusan mati ditembak dan penjara membludak.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Sumpah Digong
Presiden baru Filipina, Rodrigo "Digong" Duterte, melancarkan perang besar terhadap kelompok kriminal, terutama pengedar narkotik dan obat terlarang. Sumpahnya itu bukan sekedar omong kosong. Sejak Duterte naik jabatan ribuan pelaku kriminal telah dijebloskan ke penjara, meski dalam kondisi yang tidak manusiawi.
Foto: Reuters/E. De Castro/Detail
Sempit dan Sesak
Potret paling muram perang narkoba di Filipina bisa disimak di Lembaga Pemasyarakatan Quezon City, di dekat Manila. Penjara yang dibangun enam dekade silam itu sedianya cuma dibuat untuk menampung 800 narapidana. Tapi sejak Duterte berkuasa jumlah penghuni rumah tahanan itu berlipat ganda menjadi 3.800 narapidana
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Beratapkan Langit
Ketiadaan ruang memaksa narapidana tidur di atas lapangan basket di tengah penjara. Hujan yang kerap mengguyur Filipina membuat situasi di dalam penjara menjadi lebih parah. Saat ini tercatat cuma terdapat satu toilet untuk 130 tahanan.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Cara Cepat "menjadi gila"
Tahanan dibiarkan tidur berdesakan di atas lapangan. "Kebanyakan menjadi gila," kata Mario Dimaculangan, seorang narapidana bangkotan kepada kantor berita AFP. "Mereka tidak lagi bisa berpikir jernih. Penjara ini sudah membludak. Bergerak sedikit saja kamu menyenggol orang lain," tuturnya. Dimaculangan sudah mendekam di penjara Quezon City sejak tahun 2001.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Minim Anggaran
Sebuah ruang sel di penjara Quezon City sebenarnya cuma mampu menampung 20 narapidana. Tapi lantaran situasi saat ini, sipir memaksa hingga 120 tahanan berjejalan di dalam satu sel. Pemerintah menyediakan anggaran makanan senilai 50 Peso atau 14.000 Rupiah dan dana obat-obatan sebesar 1.400 Rupiah per hari untuk setiap tahanan.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Sarang Penyakit
Buruknya situasi sanitasi di penjara Quezon City sering berujung pada munculnya wabah penyakit. Selain itu kesaksian narapidana menyebut tawuran antara tahanan menjadi hal lumrah lantaran kondisi yang sempit dan berdesakan.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Sang Penghukum
Dalam perang melawan narkoba Duterte tidak jengah menggunakan cara brutal. Sejak Juli silam aparat keamanan Filipina telah menembak mati sekitar 420 pengedar narkoba tanpan alasan jelas. Cara-cara yang dipakai pun serupa seperti penembak misterius pada era kediktaturan Soeharto di dekade 80an. Sebab itu Duterte kini mendapat julukan "the punisher."
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Membludak
Menurut studi Institute for Criminal Policy Research di London, lembaga pemasyarakatan di Filipina adalah yang ketiga paling membludak di dunia. Data pemerintah juga menyebutkan setiap penjara di dalam negeri menampung jumlah tahanan lima kali lipat lebih banyak ketimbang kapasitas aslinya.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Pecandu Mati Kutu
Presiden Duterte tidak cuma membidik pengedar saja, ia bahkan memerintahkan kepolisian untuk menembak mati pengguna narkoba. Hasilnya 114.833 pecandu melaporkan diri ke kepolisian untuk menjalani proses rehabilitasi. Namun lantaran kekuarangan fasilitas, sebagian diinapkan di berbagai penjara di dalam negeri.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Duterte Bergeming
Kelompok HAM dan gereja Katholik sempat mengecam sang presiden karena ikut membidik warga miskin yang tidak berurusan dengan narkoba. Beberapa bahkan ditembak mati di tengah jalan tanpa alasan yang jelas dari kepolisian. Seakan tidak peduli, Duterte malah bersumpah akan menggandakan upaya memberantas narkoba.