Presiden Tajikistan Desak Petani Tunda Puasa Ramadan
23 April 2020
Presiden Tajikistan Emomali Rakhmon mendesak petani setempat untuk menunda puasa Ramadan sehingga mereka dapat tetap sehat dan produktif selama pandemi corona.
Iklan
Pemimpin pemerintahan Tajikistan menyarankan para petani agar menunda berpuasa selama pandemi corona masih berlangsung. Mereka yang tidak bisa berpuasa karena sakit juga diperbolehkan mengejar ketinggalannya di akhir tahun.
Tajikistan tidak melaporkan adanya kasus virus corona, tetapi telah menutup perbatasannya dan mengambil langkah lain untuk mencegah penyebaran virus. Termasuk di antaranya dengan menutup masjid.
Dalam pidatonya kepada umat Islam, yang merupakan mayoritas penduduk Tajikistan, Presiden Emomali Rakhmon mengatakan bahwa memastikan kesehatan masyarakat dan keamanan pangan adalah alasan yang sah untuk menunda puasa.
“Saya mendesak semua orang yang bekerja di ladang ... demi kesehatan mereka dan keluarganya, memastikan kesejahteraan rumah tangga mereka, untuk menggunakan keringanan ini dan menunda puasa sampai waktu yang lebih baik,” ujar Rakhmon.
Bekas negara republik Soviet yang berpenduduk sembilan juta jiwa itu telah meminta Dana Moneter Internasional (IMF) dan donor lain untuk memberi bantuan darurat guna mengimbangi dampak resesi global terhadap perekonomiannya.
Tajikistan mengimpor beberapa makanan utama, seperti gandum. Salah satu pemasoknya, Kazakhstan, telah mengumumkan pemberlakuan kuota untuk membatasi ekspor.
Tajikistan juga cenderung mempunyai lebih sedikit uang tunai untuk membayar impor, karena orang-orang Tajikistan yang bekerja di Rusia mengirimkan lebih sedikit uang ke rumah.
ap/hp (Reuters)
Hidup di Jerman: Ramadan Tiba, Galau Melanda
Perasaan galau yang muncul saat menjalani bulan puasa di negeri orang, dengan jujur dikisahkan Nana yang berasal dari Lombok, NTB. Apa saja kegalauan yang ia rasakan di Jerman saat Ramadan dan bagaimana menyiasatinya?
Foto: DW/A.Purwaningsih
Tak sekedar keimanan
Tantangan ibadah puasa di negeri orang, bagi Nana, bukan sekedar masalah keimanan, namun juga menyangkut persoalan budaya, penyesuaian diri, kejujuran dan keikhlasan dalam menjalankan hidup. Bulan Ramadan selalu menjadi masa penting baginya untuk berefleksi mengenai semua hal menyangkut kehidupan dan keimanananya.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Hidup baru
Sejak 2011, Nana tinggal di Jerman. Berbekal pendidikan & pengalaman di Mataram, NTB serta dukungan suaminya yang orang Jerman, Nana membuka usaha spa. Usaha itu sementara terhenti tahun 2014, karena ia dikaruniai seorang bayi. Dari pernikahan sebelumnya, Nana juga sudah memiliki anak remaja berusia 13 tahun yang kini tinggal bersamanya dan suami di Jerman. Kini usaha spanya berlanjut lagi.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Menyesuaikan ibadah
Tidak mudah baginya menyesuaikan budaya Lombok darimana ia berasal dengan budaya baru di Jerman. Begitu pula dalam menyesuaikan kebiasaan beribadah. Biasanya di bulan Ramadan, ia memilih pulang kampung & berpuasa di sana. “Tahun-tahun lalu sudah mencoba puasa di Jerman, tengah bulan puasa biasanya pulang kampung karena tak bisa puasa di Jerman, tak ada euforia Ramadan di sini, sepi dan galau.“
Foto: DW/L. Sanders
Tahun 2016 mulai puasa di Jerman
Jika biasanya pulang kampung saat Ramadan, sejak 2016 Nana bertekad Ramadan di Jerman. Jadi baru tahun 2016 Nana menjalankan puasa di Jerman. 2017, puasa di musim panas di Jerman bisa 19 jam. “Masih bolong-bolong,“ akunya jujur. “Kadang tak kuat puasa 19 jam. Kangen suasana Ramadan yang tak terasa di sini. Beberapa hari ini saya sudah berhasil puasa di sini, rasanya nikmat sekali,“ ujar Nana.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Anaknya belajar menyesuaikan diri
Anak pertama Nana dari pernikahan sebelumnya bernama Putri. Ia tinggal bersama ibu dan keluarga barunya di Jerman sejak 2014. Di sekolah, ditambah bimbingan ayah barunya, ia belajar bahasa Jerman dengan cepat. Karena terbiasa dari kecil beribadah bersama nenek di Lombok, kebiasaan beribadah dari kampung halaman itu, tidak dilupakannya di Jerman.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Berbagi cerita dan perasaan
Seperti ibunya, sejak kecil di Mataram, Lombok, Putri sudah terbiasa mengaji. Di sekolah ia juga punya teman-teman dekat dari berbagai negara lain, seperti Turki, Marokko, Tunisia dan Palestina yang juga beragama Islam. Jika kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru, mereka saling berbagi tips dan pengalaman.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Mengaji bersama
“Meski belum mampu menjalankan ibadah sepenuhnya, saya selalu berusaha.. Saya ajak anak saya mengaji. Putri dari dulu pandai mengaji,“ papar Nana tentang putri sulungnya. Karena ia dan keluarga barunya pulang kampung pada saat Lebaran, mereka punya waktu banyak di Jerman selama Ramadan untuk melakukan berbagai kegiatan rohani bersama, di antaranya mengaji dan mencoba berpuasa.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Beda puasa di Lombok dan di Jerman
“Di Lombok dulu, Putri sudah puasa sejak usia tujuh tahun. Karena pada musim panas di Jerman puasanya bisa 19 jam, saya tak terlalu memaksakan diri atau putri saya.” tambahnya. Tahun 2016 ini, mereka beberapa kali berpuasa. “Di kampung, ada ngabuburit, tarawih bersama, buka puasa bersama, suasana yang sangat kami rindukan," papar Nana.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Tak pernah dipaksa
Suami Nana, Marcel, kini beragama Islam. Istrinya ikut mengajarkannya salat. “Tapi saya tidak pernah memaksanya dalam beribadah. Yang paling baik adalah kesadaran itu tumbuh dari dirinya sendiri. Dia banyak bertanya dan sebisa mungkin saya mencari tahu jawaban-jawabannya mengenai agama Islam. Agama bukan untuk dipaksakan,” papar Nana.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Dukungan suami
“Dulu waktu kami masih pacaran di Lombok, Marcel selalu ikut berpuasa, padahal belum mualaf. Tapi selalu ingin ikut-ikutan kita berpuasa,” tutur Nana menceritakan kisah suaminya. Dengan mengenal budaya dan kebiasaan ibadah tersebut, sang suami tak heran lagi jika istri dan anak perempuannya berpuasa belasan jam.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Sholat bersama
Jika Marcel melihat istri dan putrinya salat, ia pun tak ragu untuk ikut beribadah bersama keluarga kecilnya. Menurutnya, menjadi imam dalam beribadah, adalah bagian dari tanggung jawabnya kini sebagai kepala keluarga. Sejauh ini ia masih belum bisa mengaji dan masih kesulitan dalam menjalankan ibadah puasa. Namun ia bangga, istrinya mulai menyesuaikan diri untuk berpuasa di Jerman.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Masak untuk berbuka
Selain beribadah bersama, berbuka bersama membangun rasa kebersamaan dalam keluarga yang sangat membahagiakan. Ia selalu berusaha menyajikan masakan Indonesia untuk berbuka sekaligus bisa dihangatkan untuk sahur.
Foto: DW/A.Purwaningsih
berbuka bersama
“Ketika sukses berpuasa, rasanya senang sekali, saya berhasil menang lawan hawa nafsu,” tambahnya. “19 jam tak boleh ngomel, berkeluh kesah, atau suntuk.”Meski tak puasa, sang suami tak segan menunggu makan bersama pada waktu berbuka sekitar pukul sekitar 22.00 waktu Jerman. Saat melayani suaminya makan, Nana berseloroh: “Suami lebih suka masakan Indonesia, meski pedas.” ujarnyal tertawa.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Menu spesial
Salah satu menu yang pasti dibuatnya di bulan puasa adalah ikan belado tongkol yang pedas, dan sate ayam. Untuk hidangan penutup, tak lupa Nana menyiapkan kolak singkong pisang, kurma dan es jeruk.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Asyiknya makan pakai tangan
“Kurang seru rasanya jika makan pakai sendok garpu,“ ujar Putri kepada ibunya sambil menyuap makanan ke mulut dengan genggaman tangannya. “Masakan mama saya selalu enak. Mengingatkan saya pada kampung halaman,” tambahnya.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Bulan berkah
Baginya, bulan Ramadan adalah bulan penuh berkah dan pengampunan. "Berpuasa bagiku tak hanya menahan lapar dan haus, tapi juga kesabaran. Sebagai umat Muslim, saya harus menjalankannya,“ tandas Nana. “Tak terasanya suasana Ramadan membuat saya sedih dan secara psikologis mengganggu,“ katanya. “Saya akan membayar zakat pada anak yatim di kampung saat Lebaran.”
Foto: DW/A.Purwaningsih
Yang penting berimbang
Nana selalu berusaha mengimbangi antara kehidupan modernitas di dunia barat, perbedaan budaya dan ketaaan beragama. “Akhir pekan saya meluangkan waktu berkegiatan latihan menyanyi musik Melayu untuk berbagai pementasan budaya. Ini penting untuk mempromosikan budaya Indonesia di masyarakat Jerman, dimana kini saya tinggal,“ ungkapnya.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Masa depan
“Membiasakan diri melakukan kegiatan agama terutama di bulan Ramadan itu penting, karena suatu saat nanti saya dan suami sama-sama ingin tinggal di Lombok. Bukan hanya materi, mental dan hati harus siap,” tandasnya. “Di negara ini saya digembleng menghalau galau dan gamang dalam banyak hal, termasuk keimanan. Yang paling penting dari semua itu,selalu berbuat baik,” demikian Nana menutup kisahnya.