Presiden Yoon: Dialog dengan Korut Bukan Sekadar Pertunjukan
17 Agustus 2022
Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol mendesak Korea Utara mengakhiri pengembangan nuklir dan memulai denuklirisasi dengan imbalan bantuan ekonomi bertahap.
Iklan
Berdialog dengan Korea Utara seharusnya bukan untuk pertunjukan politik, tetapi berkontribusi untuk membangun perdamaian, kata Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol pada hari Rabu (17/08) dalam konferensi pers menandai 100 hari pertamanya menjabat.
Yoon mengulangi seruannya kepada Korea Utara untuk mengakhiri pengembangan senjata nuklirnya dan memulai denuklirisasi dengan imbalan bantuan ekonomi bertahap.
"Setiap dialog antara pemimpin Selatan dan Utara atau negosiasi antara pejabat tingkat kerja utama, tidak boleh menjadi pertunjukan politik, tetapi harus berkontribusi untuk membangun perdamaian substantif di semenanjung Korea dan di Asia Timur Laut," katanya.
Komentar itu merupakan kritik nyata terhadap serangkaian pertemuan puncak yang melibatkan pendahulunya Moon Jae-in, pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, dan mantan Presiden AS Donald Trump.
Korea Selatan tidak dalam posisi menjamin keamanan Korea Utara jika menyerahkan senjata nuklirnya, tetapi Seoul tidak ingin memaksa perubahan rezim di Pyongyang, katanya.
Menghadapi penurunan jumlah jajak pendapat dan kontroversi, Yoon ditekan oleh media tentang berbagai masalah termasuk reformasi tenaga kerja, kekurangan perumahan, dan pemulihan dari banjir baru-baru ini.
Dia meyakini bahwa perselisihan historis dengan Jepang sejak pendudukan kolonial di semenanjung Korea dari tahun 1910 hingga 1945 dapat diatasi dan kedua negara perlu bekerja sama lebih erat dalam rantai pasokan dan keamanan ekonomi.
Sejarah Perang Korea 1950-1953
Ambisi Kim Il Sung menguasai Semenanjung Korea tidak hanya merenggut jutaan nyawa, tetapi juga berakhir pahit untuk aliansi komunis di utara. Perang Korea gagal mengubah garis demarkasi yang masih bertahan hingga kini.
Foto: Public Domain
Korea Terbagi Dua
Selepas Perang Dunia II, Korea yang dijajah Jepang mendapat nasib serupa layaknya Jerman yang dibagi dua antara sekutu Barat dan Uni Soviet. Ketika AS membentuk pemerintahan boneka di bawah Presiden Syngman Rhee untuk kawasan di selatan garis lintang 38°, Uni Soviet membangun rezim komunis di bawah kepemimpinan Kim Il Sung.
Foto: Getty Images/AFP
Siasat Kim Lahirkan Perang Saudara
Awal 1949 Kim Il Sung berusaha meyakinkan Josef Stalin untuk memulai invasi ke selatan. Namun permintaan itu ditolak Stalin karena mengkhawatirkan intervensi AS. Terlebih serdadu Korut saat itu belum terlatih dan tidak mempunyai perlengkapan perang yang memadai. Atas desakan Kim, Soviet akhirnya membantu pelatihan militer Korut. Pada 1950 pasukan Korut sudah lebih mumpuni ketimbang serdadu Korsel
Foto: Bundesarchiv, Bild 183-R80329 / CC-BY-SA
Peluang Emas di Awal 1950
Keraguan Stalin bukan tanpa alasan. Sebelum 1950 Cina masih tenggelam dalam perang saudara antara kaum nasionalis dan komunis, pasukan AS masih bercokol di Korsel dan ilmuwan Soviet belum berhasil mengembangkan bom nuklir layaknya Amerika Serikat. Ketika situasi tersebut mulai berubah, Stalin memberikan lampu hijau bagi invasi pada April 1950.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Kekuatan Militer Korut
Berkat Soviet, pada pertengahan 1950-an Korut memiliki 200.000 serdadu yang terbagi dalam 10 divisi infanteri, satu divisi kendaraan lapis baja berkekuatan 280 tank dan satu divisi angkatan udara dengan 210 pesawat tempur. Militer Korut juga dipersenjatai 200 senjata artileri, 110 pesawat pembom dan satu divisi pasukan cadangan berkekuatan 30.000 serdadu dengan 114 pesawat tempur dan 105 tank
Foto: AFP/Getty Images
Kekuatan Militer Korsel
Sebaliknya kekuatan militer Korea selatan masih berada jauh di bawah saudaranya di utara. Secara umum Korsel hanya berkekuatan 98.000 pasukan, di antaranya cuma 65.000 yang memiliki kemampuan tempur, dan belasan pesawat, tapi tanpa tank tempur atau artileri berat. Saat itu pasukan AS banyak terkonsentrasi di Jepang dan hanya menempatkan 300 serdadu di Korsel.
Foto: picture-alliance/dpa
Badai Komunis Mengamuk di Selatan
Pada 25 Juni 1950 sekitar 75.000 pasukan Korut menyebrang garis lintang 38° untuk menginvasi Korea Selatan. Hanya dalam tiga hari Korut yang meniru strategi Blitzkrieg ala NAZI Jerman merebut ibu kota Seoul dengan mengandalkan divisi lapis baja dan serangan udara. Pada hari kelima kekuatan Korsel menyusut menjadi hanya 22.000 pasukan
Foto: picture-alliance/dpa
Arus Balik dari Busan
Kendati AS mulai memindahkan pasukan dari Jepang ke Korsel, hingga awal September 1950 pasukan Korut berhasil menguasai 90% wilayah selatan, kecuali secuil garis pertahanan di sekitar kota Busan. Dari kota inilah Amerika Serikat dan pasukan PBB melancarkan serangan balik yang kelak mengubur impian Kim Il Sung menguasai semenanjung Korea.
Foto: Public Domain
September Berdarah
Di bawah komando Jendral Douglas MacArthur, pasukan gabungan antara AS, PBB dan Korea Selatan yang kini berjumlah 180.000 serdadu mulai mematahkan kepungan Korut terhadap Busan. Berbeda dengan pasukan Sekutu, Korut yang tidak diperkuat bantuan laut dan udara mulai kewalahan dan dipaksa mundur semakin ke utara.
Foto: Public Domain
Nasib Buruk Berputar ke Utara
Pada 25 September pasukan sekutu berhasil merebut kembali Seoul. Serangan udara dan artileri militer AS berhasil menghancurkan sebagian besar tank dan senjata artileri milik Korut. Atas saran Cina, Kim menarik mundur pasukannya dari selatan. Jelang Oktober hanya sekitar 30.000 pasukan Korut yang berhasil kembali ke utara.
Foto: Public Domain
Intervensi Mao
Ketika pasukan AS melewati batas demarkasi pada 1 Oktober, Stalin dan Kim mendesak Mao Zedong dan Zhou Enlai agar mengirimkan enam divisi invanteri Cina ke Korea. Soviet sendiri sudah menegaskan tidak akan menurunkan langsung pasukannya. Permintaan tersebut baru dijawab pada 25 Oktober, setelah serangkaian perjalanan diplomasi antara Beijing dan Moskow.
Foto: gemeinfrei
Mundur Teratur
Hingga November 1950 pasukan AS tidak hanya merebut Pyongyang, tetapi juga berhasil merangsek hingga ke dekat perbatasan Cina. Kemenangan AS terhenti setelah pasukan Cina yang berkekuatan 200.000 tentara mulai melakukan serangan balik. Intervensi tersebut menyebabkan kekalahan besar pada pasukan AS yang terpaksa mengundurkan diri dari Korea Utara pada pertengahan Desember.
Foto: Public Domain
Berakhir dengan Kebuntuan
Hingga Juli 1951 pasukan Cina dan AS masih bertempur sengit di sekitar perbatasan garis lintang 38°. Baru pada pertengahan tahun kedua pihak mulai mengendurkan serangan yang menyebabkan situasi buntu. Setelah kematian Josef Stalin, sikap Uni Soviet mulai melunak dan pada 27. Juli 1953 kedua pihak menyepakati gencatan senjata yang masih berlaku hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Hilang Nyawa Terbuang
Pada akhir Perang Korea, sebanyak 33.000 pasukan AS dilaporkan tewas dalam pertempuran. Sementara Korsel melaporkan sebanyak 373.000 warga sipil dan 137.000 pasukan tewas. Sebaliknya Cina kehilangan 400.000 serdadu dan Korut 215.000 pasukan, serta 600.000 warga sipil. Secara umum angka kematian yang diderita kedua pihak mencapai 1,2 juta jiwa.
Foto: Public Domain
13 foto1 | 13
AS dan Korea Selatan akan mulai latihan militer gabungan
Amerika Serikat dan Korea Selatan akan memulai pelatihan militer gabungan terbesar mereka dalam beberapa tahun pada pekan depan untuk menghadapi Korea Utara yang semakin agresif, yang telah meningkatkan uji coba senjata dan ancaman konflik nuklir terhadap Seoul dan Washington, kata militer Korea Selatan, Selasa (16/08).
Iklan
Latihan musim panas bersama tersebut dinamai Ulchi Freedom Shield dan akan berlangsung dari 22 Agustus hingga 1 September 2022 di Korea Selatan. Latihan gabungan ini melibatkan pesawat, kapal perang, tank, dan kemungkinan puluhan ribu tentara.
Latihan tersebut menggarisbawahi komitmen Washington dan Seoul untuk memulihkan pelatihan skala besar, setelah mereka membatalkan beberapa latihan reguler menjadi simulasi komputer dalam beberapa tahun terakhir, untuk menciptakan ruang bagi diplomasi dengan Korea Utara dan karena kekhawatiran COVID-19.
Departemen Pertahanan AS juga mengatakan angkatan laut AS, Korea Selatan, dan Jepang mengambil bagian dalam peringatan rudal meliputi latihan pencarian dan pelacakan rudal balistik di lepas pantai Hawaii dari 8 hingga 14 Agustus 2022, tujuannya untuk melanjutkan kerja sama tiga arah dalam menghadapi tantangan Korea Utara.
Sementara Amerika Serikat dan Korea Selatan menggambarkan latihan mereka sebagai pertahanan, Ulchi Freedom Shield hampir pasti akan menarik reaksi marah dari Korea Utara, yang menggambarkan semua pelatihan sekutu sebagai latihan invasi.
Cina, sekutu utama Korea Utara, menyatakan keprihatinan atas perluasan latihan militer AS dengan sekutu Asianya, dengan mengatakan hal itu dapat memperburuk ketegangan dengan Korea Utara.
"Korea Utara telah berulang kali menyatakan keprihatinannya atas latihan bersama," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Wang Wenbin pada hari Selasa (16/08).
"Dampak negatif dari latihan militer terhadap situasi di Semenanjung Korea patut diperhatikan. Semua pihak harus bertindak hati-hati dan menghentikan tindakan apa pun yang dapat meningkatkan ketegangan dan konfrontasi serta merusak rasa saling percaya," katanya.
Namun, Korea Selatan mengungkap hal lain. "Arti terbesar dari (Ulchi Freedom Shield) adalah menormalkan latihan gabungan Korea Selatan-AS dan pelatihan lapangan, (berkontribusi) dan membangun kembali aliansi Korea Selatan-AS, dan postur pertahanan gabungan," kata Moon Hong-sik, seorang juru bicara Kementerian Pertahanan Korea Selatan.
Beberapa ahli mengatakan Korea Utara mungkin menggunakan latihan itu sebagai alasan untuk meningkatkan ketegangan.