Penat dengan klaim-klaim pribumi? Klaim bahwa ada orang Indonesia yang asli, yang berhak dengan sendirinya atas tanah-air dan orang Indonesia yang tak lebih dari sekadar tamu dan tak berhak apa-apa? Opini Geger Riyanto.
Iklan
Anda penat dengan klaim-klaim pribumi? Klaim bahwa ada orang Indonesia yang asli, yang berhak dengan sendirinya atas tanah dan airnya, dan orang Indonesia yang tak lebih dari sekadar tamu dan tak berhak apa-apa?
Anda bisa menghadapi klaim ini dengan memaparkan temuan penelitian bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah pendatang. Mereka datang dari Formosa, Taiwan sekitar 5.000-6.000 tahun silam. Dan bila Anda cukup getol menelisiknya lebih ke belakang lagi, Anda akan mendapati nenek moyang dari para nenek moyang kita ini pun berasal dari tempat yang lain lagi. Anda juga bisa menyuruh mereka yang meyakini klaim ini memeriksa DNA-nya. Sebelum pengujian dilakukan, kita bisa menjamin, DNA mereka tak mungkin hanya mengandung DNA orang Indonesia. Bahkan, tak sedikit kemungkinan, sekecil-kecilnya, mereka mempunyai DNA etnis yang mereka benci termaktub dalam dirinya.
Tapi, semua cara di atas tentu saja merepotkan.
Belum lagi, ia pun belum tentu dipahami. Cara yang lebih mudah untuk meyakinkan orang lain dengan reyotnya klaim pribumi? Bandingkan klaim tersebut dengan klaim ojek pangkalan. Saya yakin, kebanyakan kita tak pernah mendengar adanya istilah ojek pangkalan sebelum adanya ojek daring. Ojek pangkalan, sebagai suatu identitas, lahir karena kehadiran ojek daring. Demikian halnya dengan identitas pribumi. Tidak ada identitas pribumi sebelum mereka yang diidentifikasi sebagai pendatang hadir. Dan sebagaimana halnya klaim ojek pangkalan menjadi cara para ojek melindungi penghidupannya, klaim pribumi merupakan reaksi melindungi diri dari serobotan-serobotan pihak asing.
Pada tahun 90-an di Maluku, idiom alifuru, yang berarti agama suku, tak lekat dengan konotasi positif. Sampai dengan hari ini di tempat lain seperti Minahasa, idiom tersebut bahkan terdengar merendahkan lantaran keidentikannya dengan keyakinan purba sebelum agama-agama yang dianggap benar masuk. Namun, bila hari ini Anda menjumpai saudara-saudari kita dari Maluku, mereka tidak akan enggan mengedepankan diri dengan satu panggilan ini. Asal-usul pergeseran dramatis ini? Konflik Ambon. Pada saat itu, ketakutan bahwa mereka akan dimusnahkan oleh para pendatang luar biasa merajalela. Dus, kala Forum Kedaulatan Maluku berdiri pada tahun 2000 dan mendeklarasikan identitasnya sebagai alifuru, khalayak luas kontan menyambutnya.
Geger Pacinan: Sejarah Kelam Batavia 1740
Tumpahnya darah etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740 menjadi bagian sejarah kelam ibukota metropolitan yang gemerlap ini.
Foto: Public Domain
Membangun Batavia
Awal abad ke-17, Belanda membutuhkan bantuan dalam pembangunan kota pesisir di Hinda Belanda. Kaum migran Tionghoa bekerja sebagai tukang bangunan, buruh pabrik gula dan berdagang. Sebagian tinggal di dalam tembok Batavia, sisanya di luar tembok. Beberapa di antara mereka menjadi kaya karena berdagang, namun tidak sedikit yang miskin dan dimanfaatkan oleh VOC.
Foto: Public Domain
Merosotnya pendapatan VOC
Awal awad ke 17, Kamar Dagang VOC kalah bersaing dengan maskapai dagang Inggris, Britisch East India Company. Alhasil VOC pusat menekan VOC Hindia Belanda untuk menaikkan pendapatan. Meningkatnya imigran Tionghoa yang masuk ke Batavia bukan lagi dianggap bantuan, melainkan ancaman. Tahun 1719, jumlah etnis Tionghoa lebih dari 7500 jiwa, sementara tahun 1739 melonjak jadi lebih dari 10 ribu.
Foto: public domain
Gula dunia merosot
Di pasar dunia, harga gula yang menjadi andalan VOC menurun, akibat banyaknya ekspor gula ke Eropa. Hal ini menyebabkan pabrik gula di Hindia Belanda terus merugi. Angka pengangguran termasuk para buruh gula Tionghoa di Batavia pun meningkat.
Foto: public domain
Aturan izin tinggal diperketat
Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu Adriaan Valckeneir memberlakukan aturan izin tinggal yang ketat. Ancamannya: penjara, denda atau di deportasi. Para etnis Tionghoa kaya merasa diperas. Semenatara itu isu berkembang, jika aturan izin tinggal tak dipenuhi, para buruh dan pengangguranTionghoa dikirim ke Zeylan (Sri Lanka). Etnis Tionghoa didera kecemasan.
Foto: Public Domain
Korupsi merajalela
Sementara kaum Tionghoa terdiskriminasi oleh pembatasan itu, oknum pejabat diduga memanfaatkan aturan untuk meraup duit ke kocek mereka sendiri. Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan terjadi tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gula, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia keesokan harinya.
Foto: Public Domain
Konflik internal di Dewan Hindia
Kebijakan pembatasan etnis Tionghoa sebenarnya ditentang keras oleh beberapa kalangan lain di Dewan Hindia, misalnya mantan gubernur Zeylan, Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang datang kembali ke Batavia tahun 1738. Namun Valckeneir tetap mengambil tindakan tegas dan mematikan dalam mengatasi kerusuhan di bawah otoritasnya.
Foto: Public Domain
Pecah pemberontakan
Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan memuncak pada tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gul, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia kesokan harinya.
Foto: Public Domain
Pembumihangusan rumah kaum Tionghoa
9 Oktober 1740, tentara VOC mengatasi pemberontakan, berbalik mengejar pemberontak. Rumah-rumah & pasar warga Tionghoa dibumihanguskan. Ratusan warga Tionghoa lari ke kali, diburu & dibantai tanpa ampun. Kali Angke & Kali Besar banjir darah. Razia etnis Tionghoa berlanjut. Bahkan Dewan Hindia menjanjikan hadiah per kepala etnis Tionghoa yang dipancung. Hal itu memancing etnis lain ikut memburu.
Foto: Public Domain
Gustaaf Willem van Imhoff gantikan van Valkeneir
Diperkirakan hanya sekitar 600 hingga 3000 etnis Tionghoa yang selamat akibat insiden itu. Valckeneir ditarik kembali ke Belanda dan tahun 1742 ia digantikan Gustaaf Willem Imhoff yang berhasil meyakinkan pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia.
Foto: Public Domain
9 foto1 | 9
Contoh klaim datang dari tetangga?
Tetapi, contoh yang lebih telanjang—serta ironis—menunjukkan watak rekaan dari klaim pribumi datang dari negara tetangga kita, Singapura. Nenek moyang dari mayoritas penduduk Singapura mendiami tempat ini belum lebih dari seratus tahun silam. Namun, ketika Perdana Menterinya, Goh Cok Tong, pada tahun 1998 mengemukakan Singapura harus menjadi rumah bagi warga Singapura sekaligus para wirausaha, investor, profesional asing, reaksi pertama warganya adalah marah. Mereka tidak terima kalau-kalau pemerintahnya mengecer kewarganegaraan kepada orang-orang yang punya kocek namun belum tentu punya loyalitas dengan bangsanya—dan pada akhirnya, menyeroboti pekerjaan mereka.
Pada momen tersebut, warga Singapura, yang acap dianggap kosmopolit itu, ternyata membutuhkan identitas pribumi.
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih
Penasehat Donald Trump menyebut kamp pengasingan Jepang selama Perang Dunia II sebagai model untuk menampung imigran Muslim di Amerika. Seperti apa bentuk kamp yang dibangun atas dasar histeria perang bermotif rasis itu?
Foto: STF/AFP/Getty Images
Relokasi Paksa
Setelah serangan Jepang ke Pearl Harbor, pemerintah AS yang dipimpin Franklin D. Roosevelt tahun 1942 memerintahkan relokasi paksa 120.000 warga negara AS berdarah Jepang ke kamp-kamp pengasingan yang dijaga ketat. Mereka, tanpa terkecuali, dikategorikan sebagai enemy alien alias musuh asing.
Foto: Public Domain
Rasisme Terbuka
Gagasan dasar kamp pengasingan buat warga keturunan Jepang adalah untuk mencegah aksi spionase atau sabotase selama masa perang. Kecurigaan yang berdasarkan pola pikir rasialis dan dipicu oleh politisi dan militer itu ikut menyebar di kalangan penduduk.
Foto: Public Domain
Kerugian Materiil
Relokasi paksa cuma mengizinkan warga keturunan Jepang membawa barang-barang seadanya. Sebagian besar penduduk yang diasingkan akhirnya kehilangan harta benda atau dipecat dari pekerjaan hanya karena latarbelakang etnis. Petani yang menggarap lahan sewaan juga kehilangan hak sewanya seketika.
Foto: Public Domain
Penghilangan Etnis
Anehnya kelompok yang terkena kebijakan tersebut cuma warga keturunan Jepang. Sementara untuk warga negara AS berlatar belakang Eropa seperti Jerman atau Italia tidak mengalami relokasi atau hanya dalam skala kecil. Sekitar 300.000 warga negara Jerman yang saat itu tinggal di Amerika misalnya cuma harus melaporkan diri secara berkala.
Foto: Public Domain
Minim Fasilitas
Bahwa keputusan tersebut diambil secara mendadak, terlihat dari ketidaksiapan pemerintah AS membangun fasilitas perumahan untuk mereka yang diasingkan. Sebagian bahkan dibiarkan tinggal di barak kayu tanpa dapur atau saluran pembuangan. Di banyak kamp, barak yang sedianya dibangun untuk empat orang disesaki hingga 25 orang.
Foto: Public Domain
Kondisi Muram
Pada 1943 Menteri Dalam Negeri AS Harold Ickles mengeluhkan kondisi di kamp yang dinilainya "buruk dan semakin parah." Pasalnya kualitas sebuah kamp bergantung pada pemerintahan negara bagian yang memfasilitasi pengasingan warga keturunan Jepang.
Foto: Public Domain
Doktrin dan Propaganda
Untuk sekitar 30.000 bocah yang ikut direlokasi paksa bersama keluarganya, kamp pengasingan serupa seperti pusat re edukasi. Mereka tidak hanya dilarang berbicara bahasa Jepang, tetapi juga dicekoki materi pelajaran berbau propaganda untuk membangun jiwa patriotisme. Minimnya tenaga pengajar dan buku pelajaran juga memperburuk kualitas pendidikan di kamp-kamp tersebut.
Foto: Public Domain
Melanggar Konstitusi
Pada Desember 1944, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan penahanan warga negara tanpa alasan jelas melanggar konstitusi. Keputusan tersebut mengakhiri praktik relokasi paksa terhadap warga keturunan Jepang. Tapi butuh waktu lebih dari satu tahun untuk membubarkan kamp-kamp pengasingan.
Foto: Public Domain
Aroma Permusuhan
Sebagian besar bekas tahanan diberikan uang sebesar 25 Dollar AS untuk melanjutkan hidup setelah masa pengasingan. Namun sejumlah lain diusir paksa kembali ke Jepang tanpa uang ganti rugi. Penduduk yang kembali ke kota asalnya juga dilaporkan mengalami presekusi dan teror, antara lain penembakan dan ledakan bom di rumah tinggal.
Foto: Public Domain
Setengah Abad Menunggu Maaf
Menyusul tekanan dari aktivis sipil, pemerintah Amerika Serikat 1980 akhirnya sepakat memberikan uang ganti rugi sebesar 20.000 Dollar AS terhadap setiap warga yang diasingkan. Namun baru 11 tahun kemudian korban relokasi mendapat permintaan maaf resmi dari Gedung Putih, yakni oleh Presiden George Bush Sr. (rzn/ap)
Foto: Public Domain
10 foto1 | 10
Di sini kita melihat satu fakta yang tegas. Memang, pribumi bukanlah identitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Anda bahkan dapat mengatakannya tak punya dasar bila Anda mau. Tetapi, ia menyusu dari kengerian hebat, dan emosi ini menjadikan klaim yang fiktif sekalipun terasa nyata. Apa yang tidak ada menjadi ada. Dan mereka yang mampu memanfaatkannya, akibatnya, mengantungi kekuatan yang luar biasa untuk mengubah dunia ini.
Jadi, adakah mereka yang bisa disebut pribumi di Indonesia? Saya akan menjawab, ada sekaligus tiada. Mereka hadir di mana-mana sekaligus tidak ada di mana pun.
Mereka adalah khayalan yang menggerakkan kenyataan kita.
Penulis: Geger Riyanto (ap/vlz)
Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
"Auch ich bin Deutschland" - Saya Juga Jerman
Menentang rasisme. Itulah tujuan aksi "Auch ich bin Deutschland" - saya juga Jerman. Blog foto ini dimulai di media sosial dan digagas penerima beasiswa dari yayasan integrasi Deutschlandstiftung Integration.
Foto: Deutschlandstiftung Integration
Ati und Markus: Kami Tidak Berkenalan Saat Berlibur
#AuchichbinDeutschland hendak menunjukkan, bahwa orang-orang yang lahir atau besar di Jerman kadang tidak dianggap sebagai "orang Jerman," karena mereka berpenampilan "berbeda" atau tidak punya nama khas Jerman.
Foto: Deutschlandstiftung Integration
Anastasia M.: Nama Saya Tidak Terkesan Jerman
Sejak pertengahan April, berlangsung aksi di media sosial di internet. Para pengguna diminta mengunggah foto mereka dengan tulisan yang mengungkap pengalaman mereka secara singkat. Dari situ tampak masalah sehari-hari yang mereka hadapi.
Foto: Deutschlandstiftung Integration
Farah A.: Kamu Juga Dikecualikan
Proyek 'online' ini diinspirasikan aksi foto #ITooAmHarvard, yang ditujukan sebagai protes terhadap diskriminasi mahasiswa berwarna kulit hitam di universitas Harvard, di AS yang terkenal di dunia.
Foto: Deutschlandstiftung Integration
Kübra Y.: Tidak, Saya Tidak Dikawinkan dengan Paksa
"Banyak orang, yang lahir atau besar di Jerman merasa tidak diterima sebagai orang Jerman oleh sebagian masyarakat karena penampilan mereka yang asing", kata Narod Cahsai, koordinator aksi itu.
Foto: Deutschlandstiftung Integration
Zuher J.: Apa Kamu Relijius?
"Kami ingin menggagas diskusi bertopik 'orang Jerman' dan rasisme sehari-hari", kata Cahsai. Tapi ini tidak boleh bersifat mengajarkan orang atau memberi peringatan.
Foto: Deutschlandstiftung Integration
Sarah A.: Ini Tanah Air Saya
Gerakan #AuchichbinDeutschland tidak membatasi diri pada mahasiswa saja. Tandas koordinatornya, Narod Cahsai. "Siapapun yang merasa menghadapi masalah itu bisa ikut serta."
Foto: Deutschlandstiftung Integration
Victoria C.: Dari Afrika? Tapi Kamu Tidak Hitam!
Sejauh ini, universitas Berlin, Friedrichshafen dan Mannheim ikut dalam aksi ini. Dalam waktu dekat, Aachen dan Köln akan ikut.