1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Pride Month: Potret Kebebasan LGBT di Indonesia

Rahka Susanto | Lee Hsien Tsung
8 Juni 2022

Di berbagai belahan dunia, kelompok LGBT merayakan Pride Month sebagai momen kebebasan berekspresi. Namun, di Indonesia kebebasan bereskpresi LGBT masih menjadi tantangan, bahkan hingga ancaman.

Perayaan Pride Month di Bangkok, Thailand
Pride Month yang diperingati setiap bulan Juni menjadi momen untuk melawan diskriminasi dan stigma bagi LGBTFoto: Andre Malerba/ZUMA/dpa/picture alliance

Setiap bulan Juni, kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) merayakan momen Pride Month atau bulan kebanggaan. Momen ini dirayakan untuk mengingkatkan kesadaran masyarakat global mengenai kebebasan berekspresi dan hak-hak asasi kelompok LGBT. Di tengah ramainya perayaan Pride Month di sejumlah negara, tekanan bagi kebebasan berekspresi bagi LGBT di Indonesia masih menghadapi tantangannya.

Pengekangan pada hak individu

Senin (06/06), Pengadilan Militer kembali memenjarakan dan memecat Prajurit TNI karena terbukti melakukan tindakan LGBT. Putusan hukum ini merupakan pemecatan dan pemenjaraan pada prajurit LGBT untuk kesekian kalinya. Hal itu tertuang dalam putusan Pengadilan Militer yang dilansir website Mahkamah Agung. Kedua kasus ini terjadi di Jakarta dan Aceh.

Majelis hakim menilai perbuatan terdakwa bertentangan dengan norma-norma agama dan kepatutan di masyarakat serta melanggar hukum. Terdakwa terbutki melakukan hubungan sesama jenis. Di sisi lain, terdakwa sudah mengetahui dan memahami tentang adanya perintah dari pimpinan TNI tentang larangan bagi prajurit untuk melakukan perbuatan hubungan sesama jenis dengan ancaman ditindak tegas serta dipecat dari dinas.

Annisa Yudha, peneliti dari Imparsial, lembaga yang fokus pada isu-isu pelanggaran HAM, menilai pemecatan oleh pengadilan militer adalah tindakan diskriminatif terhadap orientasi seksual seseorang. Hal ini ia dinilai sebagai "over-kriminalisasi”.

"Sudah seharusnya evaluasi terhadap seseorang prajurit itu terhadap kinerja dan profesionalitas dia sebagai prajurit dan bukan pribadinya. Tidak ada kaitannya, orientasi seksual seseorang dengan kinerja sebagai prajurit,” ungkap Annisa kepada DW Indonesia. Putusan ini dinilai mengekang hak individu.

Pengekangan kebebasan berekspresi bagi LGBT di Indonesia bukan kali pertama terjadi. Pada 2016, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan aturan yang melarang tayangan televisi yang menampilkan pria yang berperilaku dan berpakaian, hingga berekspresi seperti perempuan.

Kebebasan LGBT di Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, pelindungan negara terhadap kelompok LGBT dinilai semakin memudar. Dede Oetomo, yang selama puluhan tahun menjadi aktivis bagi kelompok LGBT, menilai kehidupan LGBT di Indonesia semakin terancam.

"Dari segi wacana yang digulirkan, insiden-insiden yang terjadi, kehidupan LGBT semakin terancam. Jadi ada perasaan tertekan dengan sikap-sikap yang dimunculkan pemerintah, hingga tokoh masyarakat,” papar Dede kepada DW Indonesia.

Menurut Dede, di masyarakat saat ini juga berkembang narasi yang menyamakan LGBT sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia. Narasi-narasi ini yang semakin "memperdalam kebencian masyarakat pada LGBT.”

Sikap diskriminatif pada kelompok LGBT juga dirasakan Ragil Mahardika, pria gay yang saat ini telah menetap di Jerman. "Aku sadar bahwa Indonesia bukan tempat yang ramah untuk seorang LGBT. Jadi memang niat untuk berkarier di Eropa,” ungkap Ragil kepada DW Indonesia.

Sebelumnya pada 2018, Lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei terkait penerimaan masyarakat Indonesia pada LGBT. Hasilnya, lebih dari 40% responden menilai LGBT sangat mengancam. Sementara hanya 9,4% responden yang menyebut LGBT tidak mengancam.

Sikap terbuka dan anti-diskriminasi terhadap komunitas LGBT justru muncul di Indonesia bagian timur. Menurut Dede, fenomena keterbukaan pada LGBT justru kontras dengan isu yang berkembang secara nasional.

"Ada Bunda Mayora di Maumere, waria yang menjadi pejabat publik. Sebentar lagi di Manado akan disahkan Perda anti diskriminasi berdasarkan SOGIE (Sex, Orientation, Gender Identity, and Expression Gender),” ungkap Dede.

Bayang-bayang kriminalisasi pada RUU KUHP

Meski tidak mendapatkan ruang untuk berekspresi, sejauh ini sistem hukum di Indonesia tidak mengatur hukuman pidana terkait LGBT secara spesifik. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini, seseorang yang mengidentifikasikan diri sebagai LGBT tidak dapat dijerat oleh aturan hukum. KUHP hanya mengatur pidana bagi pelaku kekerasan seksual.

Namun, pada 18 Mei 2022, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyatakan pasal pidana bagi LGBT di Indonesia tengah digodok dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

"Iya (LGBT bisa dipidana). Di RUU KUHP dipidana. Di RUU KUHP sudah masuk, bahwa dalam cara-cara tertentu dilarang dan ada ancaman pidananya. Kan gitu. Tetapi waktu itu kan ribut. Karena ribut, ya ditunda," ungkap Mahfud MD.

Taiwan Akui Pernikahan Sesama Jenis

01:03

This browser does not support the video element.

Hal ini menjadi preseden buruk bagi kelompok LGBT di Indonesia. Pernyataan Menko Polhukam ini mendapatkan sorotan dari pengiat HAM. "Negara tidak sepatutnya memidanakan seseorang hanya berdasar pada orientasi seksual,” tegas Ma'ruf Bajammal dari LBH Masyarakat kepada DW Indonesia.

Namun, pernyataan Mahfud MD mengenai pidana bagi LGBT dijelaskan lebih lanjut oleh Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani. "Jangan disebut pasal pidana LGBT. Keliru. Yang benar adalah pasal perbuatan cabul LGBT, itu baru benar," ungkap Asrul Sani.

Isu mengenai kriminalisasi LGBT juga pernah bergulir pada 2018. Ketua MPR saat itu, Zulkifli Hasan menggulirkan isu mengenai lima fraksi di DPR yang mendorong kriminalisasi bagi LGBT dalam RUU KUHP.

Kilas balik 'Pride Month'

Kebebasan dalam berekspresi dan hak asasi menjadi isu paling meninjol dalam perayaan Pride Month. Perayaan yang diperingati sepanjang bulan Juni ini umumnya diramaikan dengan ragam acara yang digelar oleh kelompok LGBT dan pendukungnya yakni parade, pawai, pesta, konser, lokakarya, hingga simposium.

Perayaan Pride Month tidak lepas dari sejarah kerusuhan di New York, pada 28 Juni 1969 antara polisi dengan para aktivis LGBT di sebuah gay bar bernama the Stonewall Inn. Saat itu 9 orang polisi menangkap karyawan di sebuah bar yang menjual minuman beralkohol tanpa izin. Selain itu polisi juga melakukan kekerasan pada para pekerja di bar itu.

Polisi menyegel bar itu, menangkap siapa pun yang tidak mengenakan pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Akibat kekerasan yang dilakukan polisi itu, orang-orang menjadi tidak tahan dan akhirnya melawan. Perlawanan ini bukan hanya kaum LGBT, tetapi juga masyarakat lain yang geram dengan sikap polisi. Kerusuhan pun tak terhindarkan. Kerusuhan baru dapat mereda di luar bar setelah lima hari. Peristiwa ini pun menjadi titik balik lahirnya gerakan Pride Month yang dirayakan tiap bulan Juni. (rs/hp) (Detik)