1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

Pro-Kontra Naik Pesawat Tes PCR, Tak Cukupkah Pakai Antigen?

25 Oktober 2021

Aturan wajib PCR sebagai syarat naik pesawat menuai kontroversi. Sebagian menilai ini cara ampuh berantas corona, tapi lainnya menganggap memberatkan sekaligus tak konsisten karena tak berlaku untuk transportasi darat.

Ilustrasi tes COVID-19
Sejumlah pihak menilai syarat RT-PCR untuk naik pesawat memberatkanFoto: Hasan Bratic/picture alliance

Peraturan wajib PCR sebagai syarat naik pesawat tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3, 2, dan 1 COVID-19 di Jawa-Bali.

Dalam peraturan disebutkan bahwa calon penumpang pesawat wajib menyertakan tes reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) yang akan resmi berlaku pada 24 Oktober 2021.

Prof dr Iris Rengganis, SpPD-KAI, Konsulen Alergi Imunologi dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) menjelaskan penting untuk diingat bahwa vaksin tidak bisa 100 persen melindungi seseorang dari virus COVID-19.

"Masalahnya adalah vaksin sekali lagi tidak ada yang perlindungannya 100 persen," jelasnya dalam webinar Biotek Farmasi Indonesia, Sabtu (23/10).

Di samping itu, tes PCR memiliki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi dalam mendeteksi dibanding swab antigen. Spesialis Paru dr Handoko Gunawan, SpP FCCP, menjelaskan dalam banyak kasus hasil antigen dengan tes PCR bisa berbeda.

"Hasil antigen negatif belum tentu hasil PCR-nya juga negatif," ujar dr Handoko.

Namun, tak semua mendukung aturan kontroversial tersebut.

Dr Masdalina Pane dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) menilai, aturan wajib tes PCR saat naik pesawat tidak konsisten karena tidak berlaku untuk transportasi darat. Ia mempertanyakan efektivitasnya, jika tujuannya untuk membatasi mobilitas.

"Jika tujuannya untuk menekan mobilitas menjelang Natal dan Tahun Baru, tentu hal ini tidak tepat. Karena kepentingan mobilisasi tidak terkait jenis tes," terang ahli epidemiologi dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Dr Masdalina Pane, pada detikcom, Minggu (24/10).

Sebaliknya, ia menilai risiko penularan justru lebih tinggi pada transportasi darat seperti bus dan kereta api karena durasi perjalanannya lebih lama. Sementara dalam aturan yang berlaku, transportasi darat cukup mewajibkan tes antigen.

"Bahkan pelaku usaha seperti supir bus, truk, bisa berlaku selama 14 hari. Pertanyaannya, apa makna tes pada pelaku perjalanan pada teknik pengendalian?" pungkasnya. 

Penularan corona di pesawat paling rendah?

Sementara, dr Tirta melalui akun Twitter-nya, @tirta_cipeng, mendorong agar swab PCR menjadi alat diagnosis dan screening hanya menggunakan swab antigen. Sebab, kata dia, penularan corona di pesawat itu rendah.

"Kembalikan fungsi swab PCR menjadi alat diagnosa. Cukup screening antigen saja. Karena agak aneh aja, kenapa hanya naik pesawat yang diwajibkan swab PCR. Padahal sudah beberapa sumber ilmiah yang menekankan justru penularan di pesawat itu paling rendah," tulis dr Tirta seperti dilihat detikcom, Sabtu (23/10).

Untuk diketahui, memang benar ada penelitian yang mengungkap soal penularan di pesawat. Menurut penelitian dari International Air Transport Association (IATA), kemungkinan tertular corona di pesawat malah lebih kecil ketimbang tersambar petir. Dengan hanya 44 kasus di antara 1,2 miliar penumpang, itu berarti 1 dari setiap 27 juta penumpang.

Kembali ke penjelasan dr Tirta. Dia juga membandingkannya dengan bioskop, yang hanya perlu vaksin dua kali. Padahal risiko penularan di bioskop tinggi.

"Bahkan bioskop, yang risiko penularannya lebih tinggi sudah dibuka, cukup vaksin 2x dan Pedulilindungi. Sementara pesawat kudu PCR. Saya yakin netizen juga udah paham ini. Harusnya pemangku kebijakan enggak ACC kebijakan terbang harus swab PCR dulu, cukup swab antigen," tuturnya.

Dia juga membandingkan kebijakan PCR ini dengan transportasi darat. Dia mendorong agar kebijakan ini segera direvisi.

Jubir Satgas: PCR metode testing paling sensitif

Juru bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito menjelaskan tes PCR digunakan karena merupakan metode testing yang paling sensitif.

"PCR sebagai metode testing yang lebih sensitif dapat mendeteksi orang terinfeksi lebih baik daripada rapid antigen, sehingga potensi orang terdeteksi untuk lolos dan menulari orang lain dalam setting kapasitas yang padat dapat diminimalisir," ujar Wiku kepada wartawan, Jumat (22/10).

Wiku mengatakan syarat tes PCR diberlakukan mengingat tidak lagi diterapkannya seat distancing di dalam pesawat, sehingga diperlukan adanya screening test yang lebih akurat.

"Kapasitasnya dinaikkan dari 70 persen menjadi 100 persen. Maka, untuk memastikan mereka yang bepergian dalam keadaan sehat, dipastikan dengan screening test yang lebih akurat," kata Wiku.

(pkp/ha) 

 

Baca selengkapnya di:detiknews

Pro-Kontra Naik Pesawat Wajib Tes PCR, Tak Cukupkah Pakai Tes Antigen?

Kian Kencang Desakan Hapus Tes PCR dari Syarat Penerbangan

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait