1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Pro-Kontra Pelajaran Agama di Sekolah

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
14 Mei 2022

Sejak beberapa tahun terakhir masyarakat Indonesia ramai membicarakan tentang wacana perlu-tidaknya pelajaran agama di sekolah, khususnya sekolah negeri yang berada di bawah otoritas pemerintah.

Gambar ilustrasi: Anak sekolah di IndonesiaFoto: Suryanto/AA/picture alliance

Sejak beberapa tahun terakhir masyarakat Indonesia ramai membicarakan tentang wacana perlu-tidaknya pelajaran agama di sekolah, khususnya sekolah negeri yang berada di bawah otoritas pemerintah. Sebagian masyarakat menganggap pelajaran agama itu bukan hanya perlu tetapi juga sangat penting untuk anak didik. Sementara sebagian yang lain menganggap pelajaran agama di sekolah itu tidak perlu dan tidak penting. Yang perlu dan penting, menurut mereka, adalah tentang pendidikan moral dan budi pekerti.

Pro-kontra itu disebabkan karena alasan dan argumen yang berbeda. Kelompok yang setuju pelajaran agama beralasan kalau agama adalah ajaran fundamental yang akan membawa keselamatan manusia di dunia dan akhirat karenanya harus diperkenalkan pada peserta didik sejak sedini mungkin. Bagi kelompok ini, agama penting diajarkan di sekolah karena ia merupakan "pedoman hidup” yang bisa membimbing manusia ke "jalan yang benar”. Lebih penting lagi, mengajarkan agama di sekolah merupakan kewajiban yang dimandatkan oleh Tuhan dan Kitab Suci mereka.

Sementara itu, kelompok yang kontra pelajaran agama di sekolah berargumen kalau ia berpotensi untuk disalahgunakan dan diselewengkan oleh para guru/dosen untuk tujuan dan kepentingan tertentu. Bukan hanya itu, mereka berpendapat, agama juga dijadikan sebagai instrumen untuk memupuk eksklusivisme dan fanatisme serta menyebarkan kebencian terhadap orang/umat agama lain yang membahayakan fondasi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.

Penulis kolom: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Bagai Pedang Bermata Dua

Memang tidak mudah untuk menyelesaikan dan mengkompromikan pro-kontra pendapat masyarakat tentang pelajaran agama di sekolah karena mereka berangkat dari alasan, tujuan, dan basis argumen yang berbeda. Misalnya, kelompok yang pro mengandaikan agama sebagai sesuatu yang baik, positif, serta membawa kemaslahatan umat manusia. Sedangkan kelompok yang kontra menganggap agama memiliki "sisi gelap” yang bisa membawa dampak negatif di masyarakat dan mengancam relasi antarumat manusia.

Agama memang bak pedang bermata dua. Satu sisi agama berisi ajaran kemanusiaan universal seperti cinta, kasih sayang, rahmat (kerahiman), tolong-menolong, dlsb yang tentu saja sangat baik dan positif bagi masyarakat dari latar belakang etnis dan agama manapun. Tetapi di pihak lain, agama juga berisi teks, ajaran, norma, aturan, atau wacana yang–jika tidak diantisipasi dengan baik–bisa membawa keburukan di masyarakat seperti diktum tentang klaim kebenaran dogma, klaim keselamatan pascakematian, purifikasi keimanan, kesesatan kepercayaan lain, dlsb. Itulah sebabnya kenapa sejarawan University of Notre Dame, Scott Appleby, menyebut agama sebagai "The Ambivalence of the Sacred”.

Agama adalah ibarat kontainer, pasar, atau supermall yang bisa berisi atau diisi dengan barang apapun oleh si empunya atau si pelaku. Watak atau karakter agama yang ambigu atau ambivalen inilah yang menyebabkan agama bisa menjadi sumber kebaikan tetapi juga keburukan sekaligus, kemaslahatan dan kemudaratan, kecintaan dan kebencian, perdamaian dan kekisruhan, toleransi dan intoleransi, keberadaban dan kebiadaban, kepicikan dan pluralisme, kemunduran dan kemajuan, dan seterusnya.

Jika agama jatuh ke tangan "si baik”, maka ia akan dijadikan sebagai ilham atau sumber inspirasi untuk membangun peradaban manusia dan hubungan antarumat yang penuh dengan spirit kebersamaan, persaudaraan, rahmat, dan kasih-sayang.

Sebaliknya, jika agama jatuh ke tangan "si jahat dan buruk rupa”, maka ia akan dijadikan sebagai alat untuk menipu umat, menumpuk kekayaan, menggapai syahwat kekuasaan, memupuk kebencian, menciptakan keangkaramurkaan, memprovokasi kerusuhan, memusnahkan kebudayaan, merusak lingkungan dan alam semesta, dan bahkan membunuh sesama umat manusia.

Indonesia (dan belahan dunia manapun) sudah membuktikan semua itu. Ada kelompok agama yang baik hati, toleran-pluralis, dan manusiawi tetapi juga ada sekelompok agama yang bejat, tak bermoral, fanatik ekstrim, dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Termasuk dari kelompok agama ini adalah para guru agama itu sendiri, baik guru agama di sekolah maupun institusi lainnya. Ada guru-guru agama yang baik dan memahami pentingnya hidup dalam damai di masyarakat yang majemuk. Tetapi ada pula guru-guru agama yang tidak mau mengerti dan tidak peduli dengan keberadaan umat agama lain.

Masing-masing kelompok agama ini, termasuk para guru agama, mendasarkan sikap, pikiran, tindakan, dan aksi mereka pada diktum-diktum dan tafsir agama yang mereka yakini dan pedomani.

Pentingkah Pelajaran Agama di Sekolah?

Jika ambivalensi atau ambiguitas itu adalah watak/karakter inheren sebuah agama, masih perlukah pelajaran agama di sekolah?

Jawaban atas pertanyaan ini tergantung pada dua hal mendasar berikut ini. Pertama, kurikulum/pelajaran agama macam apa yang akan diajarkan di sekolah dan kedua, guru agama model apa yang akan mengajarkan agama di sekolah.

Jika kurikulum/pelajaran agama yang diajarkan itu berisi nilai-nilai kemanusiaan yang baik dan positif untuk membangun harmoni sosial di masyarakat yang multiagama serta demi kemajuan bangsa dan negara, maka tidak ada masalah agama diajarkan di sekolah-sekolah. Sudah sejak zaman dahulu kala pelajaran agama diajarkan di sekolah-sekolah formal maupun lembaga pendidikan informal di Indonesia tetapi tidak menimbulkan masalah berarti dan problem sosial yang signifikan di masyarakat. 

Tetapi jika kurikulum/pelajaran agama yang diajarkan itu berisi ajaran, norma, aturan, dan wacana yang bernuansa negatif dan berpotensi menciptakan keburukan, disharmoni, dan kemunduran di masyarakat, maka pelajaran agama itu tidak perlu dan tidak penting sama sekali untuk diajarkan pada peserta didik.

Pula, jika para guru yang mengajarkan pelajaran agama itu adalah para guru yang baik, berpikiran terbuka, berpandangan luas, dan berwatak toleran-pluralis, maka pelajaran agama di sekolah itu bukan hanya perlu tetapi sangat penting untuk diajarkan pada anak didik. Sebaliknya, jika para guru agama itu adalah sekumpulan orang yang berpikiran cupet dan fanatik buta, berpandangan sempit, serta berwatak rigid dan eksklusif yang anti kemajemukan dan kemanusiaan, maka pelajaran agama di sekolah itu sama sekali tidak perlu dan tidak penting.  

Disinilah peran penting pemerintah dan elemen masyarakat untuk mengawasi dan memastikan kualitas pelajaran agama macam apa yang diajarkan di sekolah serta guru agama model apa yang mengajarkan pelajaran agama di sekolah.

Pemerintah dan masyarakat harus pro-aktif mengawal jalannya pendidikan serta proses belajar-mengajar di sekolah agar lembaga pendidikan tidak dijadikan sebagai (1) sarang kelompok fanatik, radikal, ekstrimis, dan intoleran, (2) alat untuk memproduksi ajaran dan wacana intoleransi, ultrafanatisisme, antikemajemukan, dan kontrakebangsaan, dan (3) medium untuk mencetak manusia-manusia bebal, intoleran, ultrafanatik, radikal-ekstrimis, close-minded, serta anti terhadap fondasi kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia.

Pemerintah khususnya tidak perlu ragu untuk "menertibkan” kurikulum/pelajaran agama di sekolah serta menindak tegas para guru agama yang berhaluan radikal-militan karena mereka hanya akan menjadi duri dan penyakit bagi masyarakat, bangsa, dan negara.       

  

Sumanto Al Qurtuby

Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Anggota Dewan Penasehat Asosiasi Antropologi Indonesia Jawa Tengah.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait