1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pro-Kontra Perppu No. 2 Tahun 2017

25 Juli 2017

Pemerintah RI telah membubarkan enam ormas yang dipandang telah melanggar spirit dan nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi UUD 1945. Bagaimana pandangan pakar antropologi budaya, Sumanto al Qurtuby?

Indonesien | Proteste in Jakarta
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry

Sejak dikeluarkannya Peratuan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Republik Indonesia No. 2 Tahun 2017 tentang perubahan Undang-Undang No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan telah memantik pro-kontra di kalangan masyarakat, baik masyarakat elit (termasuk anggota parlemen, pemimpin ormas, tokoh agama, akademisi, dlsb.) maupun masyarakat bawah atau akar rumput.

Kelompok yang kontra berpandangan atau berargumen bahwa Perppu tersebut (1) menunjukkan watak otoriter pemerintah Joko Widodo yang bisa membahayakan bagi otonomi masyarakat dan masa depan bangsa dan negara, (2) telah memberangus kebebasan berekspresi dan berserikat masyarakat yang juga digaransi oleh Konstitusi UUD 1945, (3) bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang menjadi "ruh” Bangsa dan Negara Indonesia, dan (4) berpotensi untuk disalahgunakan oleh rezim penguasa baik sekarang maupun di masa datang guna melarang ormas-ormas yang dipandang oleh pemerintah telah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Penulis: Sumanto al Qurtuby Foto: privat

Sementara itu kelompok yang pro (baik elite maupun masyarakat bawah) berpendapat bahwa Perppu tersebut dibuat karena dilatari oleh spirit untuk, antara lain, merawat kebhinekaan dan kebangsaan serta menjaga toleransi dan hak-hak sipil masyarakat yang selama ini dirusak oleh sejumlah kelompok radikal-intoleran.

Mereka juga berargumen bahwa kebebasan dan demokrasi itu ada batasnya, tidak bisa dibiarkan berkembang liar yang justru akan menodai dan merusak spirit kebebasan dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.  

Yang menarik adalah para pentolan sejumlah ormas Islam yang selama ini getol menentang demokrasi dan segala produknya (termasuk berbagai lembaga atau institusi, ideologi, konstitusi, dan peraturan kenegaraan) karena dianggap sebagai "buah peradaban Barat yang kafir dan sekuler-liberal” seraya menyuarakan tentang pentingnya "kedaulatan dan hukum Tuhan” dalam mengatur kehidupan bangsa dan negara, tiba-tiba, setelah ormas-ormas mereka dibekukan oleh pemerintah, bersuara lantang membela demokrasi dan hak-hak kemanusiaan serta menuduh pemerintah tidak demokratis dan tidak menghargai spirit konstitusi.UUD 1945 yang mereka haramkan itu.Seperti kita tahu, belum lama ini. Pemerintah RI telah membubarkan ormas yang dipandang telah melanggar spirit dan nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi UUD 1945. Ormas yang dimaksud adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Pemerintah, melalui Kementerian Hukum dan HAM, bahkan telah mencabut badan hukum HTI sehingga ormas yang sebetulnya orpol (organisasi politik) ini dilarang melakukan aktivitas dalam bentuk apapun dengan menggunakan nama dan atribut HTI.

Tentu saja pembubaran ormas ini bukan tanpa pertimbangan masak. Pemerintah, seperti diakui sendiri oleh Presiden Joko Widodo, telah mendengar nasihat dan menyerap aspirasi berbagai lapisan masyarakat dan kalangan tokoh agama yang selama ini dikenal reputasi mereka dalam menjaga toleransi, kebangsaan dan keberagaman.

Saya sendiri berpendapat bahwa Perppu No. 2 Tahun 2017 itu sudah berada di jalur yang benar. Itu artinya, saya sepenuhnya mendukung Perppu ini dan pembekuan  ormas tersebut yang memang selama ini telah menodai dan merusak sendi-sendi kenegaraan serta nilai-nilai persaudaraan, keagamaan, pluralisme, dan kebangsaan. 

Menggerogoti sendi-sendi kebangsaan

Seperti yang sudah sering saya tulis dan suarakan, beberapa ormas selama ini memang telah melakukan berbagai tindakan radikalisme (termasuk terorisme), intoleransi, dan anti-kebhinekaan yang bukan hanya bertentangan dengan semangat Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 tetapi juga telah membahayakan bagi kelangsungan kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia tercinta.

Ternasuk di antaranya Aliansi Nasional Anti-Syiah (ANNAS), Jamaah Ansarut Tauhid (JAT), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Forum Umat Islam (FUI), dan Fron Pembela Islam (FPI) yang juga terang-terangan mendiskreditkan  ideologi negara Pancasila. Beberapa di antara mereka seperti HTI, JAT dan MMI bahkan menyerukan penggantian ideologi dan konstitusi negara serta sistem politik-pemerintahan dan fondasi kenegaraan.

JAT dan MMI bahkan terlibat dalam gerakan dan jaringan terorisme global dan nasional. ANNAS telah melakukan tindakan provokatif dan intoleran atas komunias Syiah. Setali tiga uang, FUI telah menjadi aktor berbagai tindakan provokasi kebencian dan intoleransi atas berbagai kelompok sosial-agama di Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan secara istiqamah oleh FPI. Sudah banyak karya akademik dan hasil riset yang membahas dan mendokumentasikan tentang aksi-aksi mereka selama ini.

Tentu saja tindakan makar, intoleran dan radikal seperti yang dilakukan oleh ormas-ormas di atas tidak bisa dibiarkan begitu saja menggerogoti sendi-sendi kebangsaan dan bangunan kenegaraan. Negara adalah ibarat tubuh manusia. Begitu tubuh itu terindikasi penyakit kanker misalnya, harus segera diantisipasi sebelum sel-sel kanker itu menjalar kemana-mana dan membahayakan kelangsungan hidup tubuh kita.

SBY cenderung membiarkan

Saat ini sebetulnya sudah cukup terlambat mengantisipasi masalah ini karena sel-sel kanker yang ditularkan, antara lain, oleh ormas-ormas itu disinyalir telah menjalar kemana-mana: ke berbagai instansi pemerintah, lembaga pendidikan, parlemen, bahkan korp keamanan. Hal ini terjadi karena mereka dibiarkan tumbuh-berkembang sejak kran demokrasi ini kembali menyapa Indonesia pasca Reformasi 1998 setelah sekian lama mati suri dikubur selama 32 tahun oleh rezim Orde Baru.

Rezim pemerintah dan elite negeri pasca Orde Baru tidak cekatan mengantisipasi "sisi gelap” demokrasi, termasuk tumbuhnya berbagai kelompok ektrimis dan intoleran. Saya melihat pada masa rezim SBY, berbagai ormas Islam radikal, intoleran, dan anti-Pancasila itu mengalami pertumbuhan signifikan karena SBY selama 10 tahun pemerintahannya cenderung membiarkan, lembek, dan takut menangani kelompok-kelompok ekstrim ini sehingga membuat mereka menjadi semakin liar, membabi-buta dan seenaknya menjalankan aksi-aksi konyolnya yang dilakukan atas nama kemurnian agama dan supremasi Islam.

Sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, pemerintah seharusnya selalu waspada dan trengginas mengantisipasi potensi-potensi buruk dan kurang sehat yang menimpa masyarakat, bangsa dan negara seperti yang disemaikan oleh ormas-ormas di atas, bukan malah membiarkan mereka berkeliaran dimana-mana. Para elite politik dan penguasa harus cekatan menangani ulah berbagai ormas radikal, intoleran, dan kontra-Pancasila yang membahayakan keamanan nasional dan kenyamanan sosial bukan malah membiarkan mereka melakukan berbagai aksi konyolnya.

Karena itu, sekali lagi, saya menyambut positif atas dikeluarkannya Perppu ini demi "menertibkan” kehidupan sosial-kemasyarakat dan keberlangsungan bangsa dan negara.

Berpotensi disalahgunakan

Bagi saya, keamanan, kenyamanan, toleransi, dan kebangsaan harus diutamakan. Demokrasi ada batasnya. Dan demokrasi di Indonesia bukan demokrasi sekuler-liberal ala Barat melainkan demokrasi yang bertumpu pada nilai-nilai local wisdom, sendi-sendi kebangsaan dan norma-norma Pancasila, bukan demokrasi yang liar bebas nilai dan tanpa batas yang berpotensi memicu konflik, ketegangan, perpecahan dan perseteruan. Perlu juga diingat, negara Indonesia bukanlah negara sekuler-liberal, bukan pula negara Islam, melainkan "Negara Pancasila” sehingga semua ormas dan kelompok masyarakat harus tunduk pada Idologi dan Konstitusi Negara.

Bahwa Perppu itu berpotensi untuk disalahgunakan di kemudian hari, memang benar. Jangankan Perppu, konstitusi dan kitab suci juga berpotensi untuk disalahgunakan. Alasan bahwa Perppu itu bisa digunakan untuk menganulir ormas-ormas lain di Indonesia sama sekali tidak berdasar karena spirit dari Perppu ini untuk melawan ormas-ormas yang melakukan tindakan makar, intoleransi, dan radikalisme di masyarakat bukan ormas-ormas yang selama ini menjadi pejuang toleransi, pluralisme, dan perdamaian. 

Dalam Hukum Islam (fiqih), ada ketentuan bahwa "mencegah yang buruk lebih baik dan harus didahulukan daripada mewujudkan kemaslahatan”. Dalam konteks ini maka Perppu itu dimaksudkan untuk mencegah penyebaran masif keburukan yang, antara lain, ditularkan oleh ormas-ormas tadi sebelum negara ini berubah menjadi betul-betul buruk seperti di berbagai kawasan konflik di Arab dan Timur Tengah atau Asia Tengan dan Selatan lantaran banyaknya kelompok, ormas, dan faksi politik-agama yang berhaluan radikal, intoleran, dan tidak manusiawi. Wallahu a'lam

Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/as)

Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait