1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Nasib Peneliti Asing di Indonesia

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
1 Januari 2022

Di tengah tantangan pandemi dan kebutuhan kemajuan sains, ada problem yang mengganjal. Mengapa peneliti-peneliti asing mulai merasa segan, atau bahkan muak, untuk meneliti di Indonesia? Simak opini Rahadian Rundjan.

Gambar ilustrasi: Peneliti di Cape Town, Afrika SelatanFoto: Jerome Delay/AP/picture alliance

Semestinya, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) yang disahkan pemerintah pada 16 Juli 2019 lalu dapat menjadi angin segar untuk mendorong pembangunan ekosistem riset ilmu pengetahuan di Indonesia secara menyeluruh, baik secara pendanaan maupun kebebasannya. Dari segi isu pendanaan, undang-undang itu cukup progresif karena menyebutkan kepastian pembentukan dana abadi untuk riset dan teknologi serta pemberian insentif bagi badan-badan usaha yang melakukan penelitian dan pengembangan di Indonesia.

Namun kegembiraan mengenai dukungan negara terhadap masalah pendanaan ini (yang merupakan polemik klasik riset di Indonesia) nampaknya hanyalah distraksi terhadap aturan lebih pelik lain yang ada di dalam undang-undang tersebut; jika Anda seorang peneliti asing, maka bersiap-siaplah untuk membekali diri dengan "ancaman-ancaman” penjara dan denda yang jika dibaca, cukup menyurutkan minat orang dari manapun yang ingin meneliti di Indonesia. Pasal-pasal pidana tersebut lantas menjadi kontroversi, tidak hanya di kalangan peneliti asing namun juga peneliti dalam negeri.

Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Beberapa aturan yang mengekang keleluasaan peneliti-peneliti asing tersebut merangkup masalah perizinan, pengalihan material-material biologis ke luar negeri, sampai hal-hal terkait masalah kerusakan benda dan korban manusia terkait penelitian yang tengah dilakukan. Para pelanggar diancam denda 2-4 miliar rupiah dan kurungan sekitar satu sampai 7 tahun. Melalui undang-undang ini pemerintah seakan menyiratkan bahwa riset di Indonesia harus berjalan sesuai dengan ketentuan negara, dan bila perlu, tanpa melibatkan orang-orang asing terlalu dalam.

Tentu ini adalah sebuah bencana pemasaran yang fatal bagi Indonesia yang tengah mencoba-coba mencitrakan dirinya sebagai negara demokratis yang terbuka akan kemajuan perkembangan riset dan teknologi. Publik internasional pada umumnya senada menyatakan bahwa UU Sisnas Iptek milik Indonesia adalah hal yang cukup konyol, karena mengingat sebelum ada undang-undang itu saja, mengurus izin penelitian dan administrasinya sudah cukup rumit dan melelahkan. Ditambah dengan ancaman pidana tersebut, rasanya kita bisa memaklumi apabila peneliti-peneliti mulai merasa segan, atau bahkan muak, untuk meneliti di Indonesia.

Sains Kontra Status Quo

Setidaknya ada dua alasan mengapa pemerintah mengeluarkan aturan tersebut. Pertama, berhubungan dengan nasionalisme. Agaknya pemerintah menganggap perlu untuk memberikan hambatan terstruktur agar peneliti-peneliti asing tidak mendominasi wajah riset di Indonesia. Sudah cukup banyak episode-episode ketika peneliti-peneliti asing mengharumkan nama Indonesia di forum-forum riset internasional, misalnya penelitian tentang suku Bajau yang dilakukan tim riset dari Universitas Copenhagen, Denmark, pada 2018 lalu. Masalahnya, keterlibatan seorang Indonesia dalam penelitian tersebut sangat minimal, bahkan hanya terkait urusan logistik, bukan substansi penelitiannya.

Hal tersebut menjadikan posisi peneliti-peneliti Indonesia hanya sebagai subjek pelengkap dalam kerangka kerja penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti asing, bukan berada dalam posisi yang setara. Mungkin mereka hanya ditugaskan untuk melakukan survei dan mengambil sampel, lalu urusan menelitinya sampai dicapai suatu kesimpulan ilmiah mereka tidak lagi dilibatkan. Akibatnya, para peneliti Indonesia tidak mendapatkan keahlian dan pengalaman yang nyata dalam sebuah proyek riset. Implikasinya tentu buruk bagi perkembangan sumber daya peneliti di Indonesia.

Sedangkan yang kedua mengenai masalah proteksionisme terhadap aset-aset ilmu pengetahuan Indonesia yang lebih terlihat sebagai bentuk keresahan apabila ada penelitian yang berakibat tercorengnya wibawa pemerintah dan otoritas negara. Hal ini mungkin sekali terjadi dalam penelitian-penelitian sosial dan humaniora, misalnya ketika seorang sejarawan asing ingin meneliti mengenai dampak sosial-politik Peristiwa 1965. Penelitian seperti ini tentu perizinannya akan dipersulit, atau bahkan ditolak sedemikian rupa mengingat pendirian pemerintah yang tidak maksimal dalam menuntaskan kasus-kasus hak asasi manusia di masa lalu.

Saya rasa hal ini juga masalah yang dihadapi oleh banyak peneliti-peneliti sosial dalam negeri. Indonesia memiliki banyak masalah sosial yang sudah terlanjur dianggap sebagai kewajaran, seperti tekanan terhadap kelompok minoritas, lemahnya posisi perempuan, fundamentalisme beragama, dan lain-lain. Ketika hal-hal tersebut diteliti dan disimpulkan sebagai situasi yang buruk dan tidak relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara modern, sebagian kelompok justru mengecamnya dengan dalih menjaga budaya ketimuran dan identitas keindonesiaan. Celakanya, pemerintah tidak berbuat banyak untuk melindungi riset-riset sosial seperti ini.

Terlebih lagi ada pasal yang cukup bermasalah dan bertabrakan dengan esensi sains itu sendiri. Pasal 2 dalam UU Sisnas Iptek menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia harus berasaskan pada serangkaian ketentuan seperti "keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa” dan "penghormatan terhadap pengetahuan tradisional dan kearifan lokal”. Masalahnya, pekerjaan sains acapkali menciptakan inovasi yang mendobrak nilai-nilai lama dan mungkin sekali nilai-nilai "ketimuran” dan "keindonesiaan” itu bertabrakan dengan temuan-temuan ilmiah terbaru.

Sehingga, untuk menentukan lolos tidaknya sebuah penelitian untuk dilakukan di Indonesia akan melibatkan subjektifitas penguasa yang kental, bukan berdasarkan hasrat kebebasan akademik dan demokrasi. Bahkan frasa "kebebasan akademik” tidak dapat ditemukan di undang-undang tersebut sehingga rasanya mudah ditebak seperti apa niatan sebenarnya para pemegang otoritas politik di negeri ini dalam memperlakukan dan mengendalikan sains; bukan sebagai alat untuk mendekati kebenaran, namun untuk melanggengkan kekuasaan dan status quo.

UU Sisnas Iptek memang berhasil menyelesaikan satu problematik sains di Indonesia (pendanaan) namun membuat satu isu lainnya kian mengkhawatirkan (kebebasan). Yang harus dilakukan saat ini adalah meminimalisir risiko-risiko penyelewengan bertendensi politik terhadap peraturan tersebut. Ilmuwan-ilmuwan dan masyarakat ilmiah Indonesia harus lantang bersuara agar undang-undang tersebut tidak merusak iklim demokrasi sains di Indonesia. Setidaknya, harus ada transparansi seluas-luasnya terkait masalah aturan perizinan dan sanksi terhadap peneliti-peneliti asing tersebut sehingga mereka tidak perlu merasa takut untuk datang ke Indonesia.

Sains Untuk Semua

Masalah pembatasan akses penelitian orang-orang asing di Indonesia bukanlah cerita baru. Sudah sejak awal kedatangan Belanda ke Indonesia, para penguasa kolonial dengan sigap mengeluarkan serangkaian aturan agar aset-aset ilmiah di wilayah yang mereka jajah tidak jatuh ke tangan orang-orang asing lainnya. Alasannya tidak melulu karena untuk kepentingan ilmiah maupun ekonomi, namun juga kejumawaan prestise Belanda yang merasa bahwa merekalah yang paling berhak untuk "menguraikan” rahasia alam yang mereka kuasai dan orang-orangnya. Padahal, menempuh jalan sains adalah hak semua orang.

Kita memang harus sigap dalam membentengi diri sebagai bangsa Indonesia dalam menjaga aset-aset ilmiah kita agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain, namun ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan secara berlebihan, apalagi mencoba mengisolasi diri dari pergaulan komunitas sains internasional.

Jika UU Sisnas Iptek justru digunakan untuk menghalang-halangi masuknya orang-orang asing yang kompeten untuk membagikan ilmunya di Indonesia, maka hal tersebut menjadi kontraproduktif dengan seruan Presiden Jokowi yang menyatakan berkeinginan untuk fokus membangun sumber daya manusia di periode kedua kepemimpinannya. Tampaknya, pergulatan antara kelompok ilmuwan pro-kebebasan akademik dengan kelompok politik dengan segala kepentingannya terkait undang-undang ini akan terus berlanjut dan diperdebatkan sampai terjadi perubahan yang signifikan.

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait