1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ketahanan PanganJerman

Produksi Pangan Berkelanjutan lewat Rekayasa Genetika, Aman?

7 Juli 2023

Bahan pangan hasil rekayasa genetika masih kontroversial, apalagi di Eropa. Namun bagi sebagian ahli, ini adalah metode berbasis sains terbaik untuk menghasilkan pangan global berkelanjutan.

Ilustrasi lahan pertanian di Cina
Penggunaan lahan pertanian diklaim sebagai pendorong utama hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan iklimFoto: Zhouzhiyong/Sipa/Zuma/picture alliance

Memproduksi makanan ternyata punya dampak negatif bagi lingkungan. Menurut publikasi ilmiah online Our World in Data, pertanian bertanggung jawab atas seperempat emisi karbon di atmosfer dan sebagian besar hilangnya keanekaragaman hayati dunia.

Sementara kualitas lingkungan terus menurun, populasi dunia terus bertambah. PBB memperkirakan populasi dunia akan mencapai 10 miliar pada tahun 2057. Hal ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana kita bisa meningkatkan produksi pangan hingga 50% sambil memitigasi bencana hilangnya keanekaragaman hayati dan krisis iklim?

"Kita memahami bahwa menggunakan lebih banyak lahan untuk pertanian adalah dosa terbesar sehubungan dengan perubahan iklim dan keanekaragaman hayati. Artinya, kita perlu menghasilkan makanan dengan lahan yang lebih sedikit agar kita dapat melindungi alam," kata Matin Qaim, spesialis ekonomi pangan dan Direktur Pusat Penelitian Pembangunan di Universitas Bonn, Jerman.

Pangan berkelanjutan untuk 10 miliar orang

Qaim menjelaskan bahwa, secara garis besar, ada dua pendekatan berbeda untuk melakukan memproduksi pangan bagi penduduk bumi.

"Satu sisi ada yang mengatakan kita perlu mengubah pola makan untuk membuat konsumsi lebih berkelanjutan. Itu berarti lebih sedikit limbah, lebih sedikit daging. Pemikiran lainnya berpendapat kita butuh teknologi yang lebih baik untuk menciptakan metode pertanian yang lebih ramah lingkungan," kata Qaim kepada DW.

Menurutnya, kedua pendekatan itu diperlukan. Pertama, mengubah cara produksi pangan, khususnya mengurangi konsumsi protein dan nutrisi manusia dari sumber hewani. Namun ini tidak cukup. Seperti banyak pakar, Qaim juga berpendapat bahwa teknologi gen adalah bagian penting dari strategi sistem pangan berkelanjutan.

"Semua orang ingin menghasilkan lebih banyak pangan dari area yang lebih sedikit dan dengan lebih sedikit pestisida kimia, dan dengan lebih sedikit pupuk. Jika Anda dapat (menggunakan teknologi gen untuk) mengembangkan tanaman yang lebih toleran dan lebih tahan, itu adalah hal yang baik," kata Qaim.

Awal mula pangan hasil rekayasa genetika

Organisme yang dimodifikasi secara genetik (GMO) adalah organisme dengan DNA yang telah diutak-atik untuk mengubah sifatnya. Tanaman yang dimodifikasi secara genetik diklaim dapat menuai panen lebih banyak, lebih tahan hama, embun beku, kekeringan, atau punya tambahan nutrisi.

Tanaman juga dapat dimodifikasi untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan keberlanjutan produksi pangan. Meskipun tersebar luas, produksi tanaman GMO saat ini hanya menggunakan sekitar 10% lahan subur di dunia jika dibandingkan dengan lahan yang digunakan untuk produksi tanaman yang bukan GMO.

"Rekayasa genetika tidak lebih dari teknik pemuliaan, seperti persilangan yang telah kita lakukan selama ribuan tahun. Tapi ini lebih canggih. Jadi kita bisa membuat perubahan yang sangat tepat, dengan sangat cepat," kata David Spencer, ahli fitopatologi dan juru bicara untuk RePlanet, aliansi organisasi nonpemerintah yang mengadvokasi solusi berbasis sains untuk perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati. Kampanye Spencer, yakni Reboot Food, berfokus pada produksi pangan berkelanjutan. 

Memperlambat Hilangnya Keanekaragaman Hayati

06:40

This browser does not support the video element.

GMO pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1994. Saat itu, tanaman tomat dimodifikasi agar lebih lambat matang supaya bisa lebih awet dan tidak cepat busuk. Sejak saat itu, berbagai macam tanaman, seperti kedelai, gandum, dan beras GMO telah dapat izin untuk ditanam di berbagai pertanian, bersama dengan bakteri GMO untuk menghasilkan protein dalam jumlah besar.

GMO diklaim lebih tahan hama dan penyakit

Teknologi pengeditan gen juga telah membantu menyelamatkan produksi tanaman dari penyakit busuk daun. Pada akhir abad ke-20, virus bintik cincin pada pepaya hampir memusnahkan keseluruhan tanaman pepaya di Hawaii. Namun kemudian seorang ilmuwan lokal mengembangkan pepaya yang dimodifikasi yang tahan terhadap virus ini. Benih didistribusikan ke petani dan berhasil menyelamatkan produksi pepaya hingga satu dekade kemudian.

David Spencer telah bekerja melindungi tanaman kedelai dari penyakit jamur yang menyebar ke seluruh Amerika. Ia juga menggunakan modifikasi gen agar kedelai lebih tahan serangan jamur.

"Saat ini tidak ada solusi nyata kecuali untuk aplikasi fungisida besar-besaran. Tidak ada yang menginginkannya, jadi kami berupaya menambahkan gen atau perubahan DNA dari tanaman yang berkerabat jauh untuk mencapai ketahanan yang lebih baik terhadap jamur," kata Spencer kepada DW.

Kontroversi GMO dan skandal Monsanto

Namun, banyak orang menganggap gagasan tentang makanan GMO masih sulit diterima. Jajak pendapat tahun 2020 menunjukkan bahwa 50% orang di 20 negara yang disurvei menganggap pangan GMO tidak aman.

Saat tanaman hasil rekayasa genetika kali pertama dikembangkan 30 tahun lalu, ketidakpastian dan kekhawatiran tentang keamanan juga dirasakan oleh para ilmuwan, tetapi sekarang situasinya dianggap telah berbeda.

James Rhodes, analis keamanan biologis pada Biosafety South Africa, menjelaskan bahwa data keamanan dan wawasan ilmiah selama 30 tahun menunjukkan pangan GMO sama amannya dengan pangan yang bukan GMO. 

Sementara Qaim dari Universitas Bonn menganggap kontroversi seputar GMO utamanya disebabkan oleh perdebatan tentang dikuasainya pertanian oleh perusahaan industri. Skandal Monsanto masih membayangi industri ini.

"Ada kekhawatiran kepentingan perusahaan besar dari perusahaan seperti Monsanto, yang mempromosikan pemakaian lebih banyak pestisida dan monokultur serta bentuk pertanian yang salah dan menjual benih ke petani dengan harga yang mahal," kata Qaim.

Benarkah industri pangan GMO telah berubah?

Pertanian GMO berangsung beralih dari model perusahaan besar Monsanto. Pengadaan produk GMO semakin terfokus pada perusahaan sosial dan publik. Selain itu, pihak industri mencari lebih banyak solusi lokal yang membantu petani kecil di negara berkembang.

Peraturan dan perizinan menjadi bagian penting dari rekayasa genetika. Banyak pihak, termasuk RePlanet, sangat mendukung penyediaan benih dan teknologi GMO dari sumber-sumber yang hak ciptanya tidak dikuasai korporasi besar.

"Anda dapat mengembangkan GMO tanpa paten yang dikembangkan oleh organisasi publik kemanusiaan. Kita perlu mengatur dengan cerdas dan memastikan ada persaingan di pasar. Pertanian yang dikuasai oleh perusahaan industri adalah model yang salah," kata Qaim.

Pada akhirnya, semua ini adalah tentang menciptakan lanskap perizinan yang memberdayakan petani lokal untuk beradaptasi dengan tuntutan pertanian berkelanjutan, namun cukup cepat untuk memenuhi tuntutan peningkatan populasi dan perubahan iklim.

(ae/hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait