Islam Harus Beradaptasi Agar Bisa Bertahan Seribu Tahun Lagi
25 April 2019
Sebagaimana Islam menanggalkan perbudakan, kaum Muslim dinilai harus bisa beradaptasi terhadap nilai-nilai modern seperti kesetaraan gender, kebebasan individu dan kemanusiaan, kata Prof. Jan Ilhan Kizilhan.
Iklan
Di masa ketika Paus melakukan lawatan ke negara-negara Islam untuk mencari dialog dengan kaum Muslim dan ketika ratapan korban aksi teror masih mengiang di telinga, isu "Trauma dan Perubahan di dalam Islam" menjadi lebih mendesak untuk dibahas. Prof. Dr. Dr. Jan Ilhan Kizilhan yang menggawangi bidang penelitian Psikiatri Transkultural dan Traumatologi di Jerman memprediksi bahwa Islam harus beradaptasi agar tetap relevan di dunia yang semakin dinamis.
Dalam perbicangan dengan DW dia menegaskan tekanan sosial demi kebebasan individu serta kesetaraan gender akan semakin besar dan sulit diredam.
Simak kutipan lengkapnya berikut ini.
DW: Gerakan ekstrimisme Islam menjadi pusat perhatian publik dan media sejak beberapa tahun terakhir. Kebanyakan di antaranya adalah kaum muda. Kenapa justru pemuda lebih mudah menerima ide radikal dan bahkan mengagungkan kekerasan? Apa artinya untuk masa depan kaum muda dan posisi mereka di masyarakat internasional?
Prof. Jan Ilhan Kizilhan: Semakin muda usia bocah dan remaja, semakin mudah mereka dipengaruhi. Mereka masih berada di dalam tahap pertumbuhan dan terkait soal identitas, mereka dihadapkan pada pertanyaan tentang "siapa aku?" atau "di mana posisiku?" dan "apa pesan utama agamaku?".
Ketika faktor-faktor ini bersanding dengan masalah ekonomi, seperti perekonomian yang buruk atau tingkat dan kualitas pendidikan yang tidak memadai dan bahwa di banyak negara penggunaan kekerasan masih tinggi, atau lemahnya demokrasi di negeri sendiri, maraknya kedzhaliman dan korupsi, kaum muda dan remaja akan mencari solusi untuk diri sendiri. Mereka akan menilai negara dan masyarakat lemah. Lalu datanglah organisasi radikal yang menjanjikan kekuatan dan identitas dalam perang melawan kaum imperialis, melawan musuh dari luar.
Secara internasional ini berarti bahwa organisasi radikal menggunakan istilah-istilah dan konten keislaman yang dicatut dari Al-Quran. Di sinilah muncul kean bahwa aksi teror dilancarkan atas nama Islam, sesuatu yang tentunya keliru. Tapi pada saat yang bersamaan, hal tersebut mengarah pada situasi, di mana dunia barat membangun sikap yang negatif terhadap Islam, bahwa Islam berkonotasi negatif dan ikut membudayakan kekerasan. Itu juga berarti, organisasi-organisasi teror dan kaum muda yang ikut bergabung bersama mereka turut menyumbang bahwa reputasi Islam menjadi sangat negatif.
DW: Sejauh apa tindakan prefentif melawan radikalisasi dan budaya kekerasan bisa diwujudkan? Sudah adakah program pencegahan radikalisme dan budaya kekerasan?
Menyusuri Jejak Islam di Jerman
Beragam masjid dan komunitas Islam, sebagian kecil tempat menarik yang dikunjungi 14 intelektual Muslim Indonesia saat studi trip "Life of Muslims in Germany". Lokasi mana saja yang mereka singgahi? Berikut rangkumannya.
Foto: Privat
Singgah di Masjid Indonesia
Masjid Al-Falah, nama masjid milik warga Indonesia yang terletak di Berlin. Masjid yang dikelola Indonesische Weisheits und Kulturzentrum (IWKZ) dulunya merupakan pub. Para Intelektual muda yang mengikuti study trip Goethe tersebut tiba tepat Sholat Jumat sehingga bisa menikmati kuliner indonesia yang dijual untuk membiayai operasional masjid. Tiap tahun 4000 Euro harus dikumpulkan secara swadaya.
Foto: DW
Mengapa Warga Indonesia Berbeda?
Ketua IWKZ Dimas Abdirama menceritakan bahwa kegiatan di Masjid lebih berfokus sebagai ruang belajar bagi mahasiswa. "Dibandingkan pendatang lainnya, kita mempunya daya pikat kepada pemerintah Jerman yang membutuhkan banyak tenaga ahli," ujar ahli bioteknologi medis itu. Ada sekitar 4000 mahasiswa Indonesia studi di Jerman. Potensi ini menurut Dimas membuat orang Indonesia mudah diterima.
Foto: DW
Melihat Toleransi di Neukölln
Lewat program "Life of Muslims in Germany", 14 kaum intelektual muda Indonesia tidak hanya diajak berkenalan dengan Muslim Indonesia. Mereka juga diajak ke Neukölln untuk melihat bagaimana umat Muslim dari beragam aliran dapat hidup berdampingan. Masjid Al-Salam NBS milik aliran Sunni itu menurut Syekh Muhammad Thaha tidak hanya digunakan sebagai tempat keagamaan tapi juga kegiatan kemanusiaan.
Foto: DW/K. Salameh
Masjid yang Terbuka
Meski mayoritas umatnya adalah Sunni, namun menurut Syekh Thaha, masjid Al-Salam terbuka untuk seluruh jamaah, termasuk Syiah. "Kami tidak memaksakan ajaran tertentu, siapapun bisa datang ke masjid ini,"katanya. Masjid ini juga terbuka bagi seluruh warga Jerman yang ingin mengenal Islam atau warga imigran yang ingin belajar bahasa Arab.
Foto: DW
Alevi, Minoritas yang Mudah Diterima
Di Jerman, mayoritas umat Islam adalah Sunni (74%), namun di posisi ke dua ditempati kelompok asal Turki bernama Alevi (13%). Menurut Claudia Dette, pemandu perjalanan kami, Alevi kelompok yang paling mudah berintegrasi setelah Ahmadiyah. Rahasianya menurut Kadin Sahir adalah karena Syariah bagi Alevi adalah tunduk mengikuti konstitusi yang ada di negara di mana mereka berada.
Foto: DW
Masjid Dalam Gereja
Ibn-Ruysd Goethe, "Masjid Liberal" yang mengakui imam perempuan di Jerman dan terletak di gereja turut disambangi rombongan. "Masjid ini hadir sebagai bentuk protes atas paham ekstrimis di Jerman. Mereka menyebut diri liberal untuk memahami Islam pada konteks sekarang. Pada titik ini mungkin kita bisa sepakat dalam rangka mengaktualkan Islam," kata Ahmad Muttaqin, salah seorang peserta study trip.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Menangkal Radikalisme Lewat Masjid
Sebanyak 50,6% 2,2 juta umat Islam di Jerman memiliki latar belakang keturunan Turki, itulah sebabnya di salah satu masjid terbesar milik warga Turki di Berlin, masjid Sehitlik, program yang ditawarkan lebih khusus lagi. Para peserta yang disambut Pinar Cetin, pemimpin Bahira menjelaskan organisasinya bertugas untuk melakuan konsultasi demi mencegah anak muda Muslim terhindar dari paham radikal.
Foto: DW
Mari Belajar Bersama
Tak melulu mengunjungi masjid. Peserta "Life of Muslims in Germany" juga singgah ke lembaga swadaya Morus14. Sebanyak 100 sukarelawan dari berbagai latar belakang budaya dan kelompok meluangkan waktunya mendampingi dan mengajar anak-anak berlatarbelakang imigran. Program seperti ini bertujuan untuk menanggulangi masalah integrasi yang kerap menjadi pekerjaan besar di Jerman.
Foto: DW
Merawat Ingatan
Beberapa museum yang dikunjungi terkait dengan Islam, namun di Museum The Story of Berlin, para peserta berkenalan dengan sejarah Jerman. Kisah Jerman Barat dan Timur serta diskirimasi di era NAZI jadi pengingat bagaimana perbedaan dapat memicu konflik. "Kita kerap melihat sejarah hal yang jauh dari kehidupan. Sementara bagi mereka sejarah hidup bersama kita sekarang," kata Heychael berkomentar.
Foto: DW
Mudah dan Nyaman
Selama berkeliling di Berlin, para peserta hilir mudik menggunakan beragam alat transportasi, seperti kereta bawah tanah. Jadwal yang teratur serta tempat yang nyaman menjadi pengalaman berbeda yang didapat bila dibandingkan dengan transportasi di tanah air. Tak sedikit yang terheran-heran ketika mengetahui sebagian besar tahanan di Berlin justru penumpanjg yang tertangkap tidak membeli tiket.
Foto: DW
Life of Muslims in Germany
Selama hampir 2 minggu, 14 intelektual muda Muslim Indonesia dari berbagai latar belakang komunitas Islam dan profesi di Indonesia tersebut diajak merasakan seperti apa kehidupan umat Muslim di Jerman. Lewat study trip "Life of Muslims in Germany" yang digagas Goethe Insitut Indonesia, peserta dapat mengenal kebijakan Jerman atas 4,7 juta warga Muslim yang hidup di negeri itu. (ts/rzn) Ed:ap
Foto: DW
11 foto1 | 11
Prof. Jan Ilhan Kizilhan: Pencegahan berarti bahwa kita harus mampu mendekati kaum muda, memberikan informasi dan alternatif terhadap kekerasan dan teror. Saya yakin fenomena ini eksis baik di dalam Islam atau di dalam lingkup budaya, entah itu di Afghanistan atau negara-negara Muslim lainnya. Keluarga mereka biasanya berasal dari masyarakat tradisional yang sebenarnya cinta damai, sangat solidaris satu sama lain dan loyal kepada sesama. Artinya kita harus mendatangi kaum muda di lingkungan pribadi mereka, tentunya lewat berbagai proyek. Proyek-proyek ini bisa digerakkan lewat bantuan Amerika Serikat dan dunia barat, tapi pada saat yang bersamaan kita harus aktif di lapangan untuk bisa mendekati kaum muda ini. Termasuk di antara syaratnya adalah bahwa kita memiliki aktor lokal yang berpendidikan baik, memiliki pengetahuan dasar tentang kekerasan dan tindak pencegahan. Karena hal ini bisa membedakan seberapa jauh ideologi relijius kultural bisa berujung pada penggunaan kekerasan. Di sini pun kita membutuhkan aktor dari lingkup budaya, seperti di Afghanistan, yang dididik di sana dan menyekolahkan anaknya melalui para multiplikator.
Untuk saat ini saya melihat bahwa kita di Jerman harus lebih banyak berinvestasi di Afghanistan, Irak atau Suriah, agar pencegahan tindak kekerasan bisa benar-benar berhasil. Tapi itu juga bergantung pada transformasi dan perubahan sosial masyarakat setempat. Artinya akan lebih mudah mencegah budaya kekerasan di negara demokratis, ketimbang di kawasan konflik atau wilayah krisis.
Tapi kita tidak boleh putus asa dan justru lebih giat berinteraksi dengan kaum muda, melalui aktivitas olahraga, internet atau media-media sosial, pendidikan vokasi atau hal-hal banal dalam kehidupan yang dibutuhkan kaum muda, bahwa akses harus dicari dan isu-isu ini lebih sering didiskusikan dengan mereka. Kita harus bisa memenangkan hati dan pikiran kaum muda dan menunjukkan alternatif kepada mereka, bahwa solusi tanpa kekerasan juga dimungkinkan.
DW: Sayangnya ada banyak tradisi yang dicampurkan dengan hukum Islam. Hal ini mengarah pada situasi, di mana orang tidak bisa lagi membedakan mana yang diturunkan dan mana yang berasal dari struktur patriarkhal. Terutama penerimaan atas tindak kekerasan dan penindasan kaum perempuan dianggap hal biasa. Kenapa situasinya seperti itu dan bagaimana dampaknya pada psikologi korban dan pelaku? Apa yang bisa dilakukan?
Boneka Barbie Berhijab
00:40
Prof. Jan Ilhan Kizilhan: Anda harus mengerti bahwa untuk istilah "kehormatan" dan bahwa demi kehormatan" misalnya perempuan dibunuh, karena orang-orang itu meyakini bahwa mereka tidak memegang teguh nilai dan aturan, secara ilmiah telah dibuktikan bukan sikap dan pola pikir Islam. Bentuk kekerasan terhadap perempuan semacam ini juga kita alami di Eropa, Italia Selatan, di Yunani, Brazil dan negara-negara lain. Itu adalah pola pikir patriarkis.
Masalah dengan dunia Islam adalah terciptanya percampuran antara gaya hidup tradisional pro-Islam dengan Islam sendiri. Masyarakat biasa dengan tingkat pendidikan rendah atau bahkan tuna aksara sendirinya belum atau jarang membaca al-Quran. Artinya mereka sepenuhnya bergantung kepada para imam atau guru agama. Dan sayangnya Islam sering digunakan untuk kepentingan politik di dunia saat ini. Artinya masyarakat mendapat informasi yang keliru.
Tapi warga di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim mereka masih memiliki struktur patriarkis yang kuat, di mana perempuan dianggap sebagai benda bertuan, bukan sebagai manusia. Mereka harus dilindungi dan tidak boleh melanggar aturan. Mereka tidak dianggap setara seperti negara-negara lain di dunia. Pandangan semacam ini menciptakan kelas yang berbeda di masyarakat. Perempuan tidak lagi memiliki akses pendidikan atau bisa menikmati kebebasan individu. Ini adalah masalah nyata. Islam pun harus bersikap demi kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, karena kita hidup di dunia yang modern dan saling terkoneksi. Tapi banyak pula yang tidak berani menghadapi perubahan karena meyakini mereka akan melanggar aturan Islam.
Perempuan Saudi Ini Belajar Mengemudi Harley Davidson
Menjelang diberlakukannya dekrit kerajaan, perempuan Arab Saudi berbondong-bondong menyambangi kursus mengemudi. Termasuk Maryam Ahmed yang berambisi menjadi perempuan pertama yang mengendarai sepeda motor.
Foto: DW/T. Alsultan
Belajar Hingga ke Jiran
Perempuan Arab Saudi tidak menunggu hingga dekret kerajaan yang membolehkan perempuan mengemudi mobil berlaku. Sebagian mulai berlatih di negeri jiran agar bisa secepatnya menikmati kebebasan baru tersebut. Salah seorangnya adalah Maryam Ahmed yang mencintai sepeda motor.
Foto: Reuters/H. I Mohammed
Perempuan Pertama di Roda Dua
Maryam yang juga menggemari olahraga menyelam dan karate ingin menjadi perempuan pertama yang mengendarai sepeda motor di Arab Saudi. Tidak tanggung-tanggung, dia memilih jenis sepeda motor berbobot paling berat, yakni Harley Davidson. "Sejujurnya saya agak ragu tentang apa yang akan dikatakan orang tentang olahraga ini, karena biasanya cuma diperbolehkan buat laki-laki," ujarnya.
Foto: Reuters/H. I Mohammed
Dukungan Keluarga
Dia lalu menyebrang ke Bahrain untuk mengambil kursus berkendara. "Setelah mengendarai motor, saya mendapat banyak komentar positif dari orang-orang di sekitar saya, terutama teman-teman. Keluarga saya malah mendorong saya melakukan apapun yang saya gemari," imbuhnya lagi.
Foto: Reuters/H. I Mohammed
Kebebasan Menjadi Celah Bisnis
Euforia berkendara saat ini sedang melanda perempuan Arab Saudi. Sejumlah universitas perempuan juga sudah menawarkan kursus mengemudi. Perusahaan dan produsen kendaraan melirik celah bisnis dan mulai aktif menebar iklan untuk menyambut kehadiran konsumen baru, seperti Maryam Ahmed.
Foto: Reuters/H. I Mohammed
Perempuan di Kehidupan Publik
Reformasi yang digulirkan kerajaan Arab Saudi antara lain mendorong perempuan untuk lebih terlibat di arena olahraga. Tidak hanya kendaraan bermotor, perempuan mulai diizinkan mengunjungi stadion olahraga atau bahkan membuka sasana tinju sendiri. Khusus untuk perempuan yang ingin belajar berkendara, sekolah mengemudi pertama juga sudah dibuka di kota Riyadh.
Foto: Reuters/H. I Mohammed
Modernisasi Demi Masa Depan
Dekrit kerajaan yang mengizinkan perempuan berkendara baru akan berlaku bulan Juni mendatang. Keputusan itu mengakhiri praktik diskriminasi gender yang meluas. Reformasi di Arab Saudi melekat pada sosok Pangeran Mohammed bin Salman yang didapuk sebagai putera mahkota. Ia ingin memodernisasi negerinya untuk mempersiapkan Arab Saudi setelah era kejayaan minyak bumi berakhir. (rzn/hp: rtr, gulfnews)
Foto: DW/T. Alsultan
6 foto1 | 6
Berkaitan dengan pandangan patriarkis tadi kita harus mencerahkan pikiran masyarakat. Dan saya yakin Islam atau pandangan yang keliru tidak bisa melegitimasi pembunuhan terhadap manusia atas nama "agama," "kehormatan," atau "budaya." Artinya jika perilaku ini diwariskan dari satu generasi ke leinnya selama ratusan hingga ribuan tahun, maka generasi baru saat ini harus mempertimbangkan apakah pola perilaku semacam itu harus diubah. Karena kenapa kita harus melakukan apa yang dilakukan kakek buyut hanya karena mereka melakukannya? Termasuk ke dalam pertumbuhan manusia adalah perubahan, dan perubahan juga berarti bahwa budaya terus berubah. Jika kita melihat lima ratus tahun silam, maka situasinya berbeda dengan saat ini. Jadi manusia pun harus beradaptasi terhadap perkembangan baru. Dan di sini yang menjadi kian penting adalah kemanusiaan, rasa cinta pada sesama, tapi juga penerimaan dan toleransi kepada sesama manusia, sama saja entah itu perempuan dan laki-laki.
DW: Dalam sebuah wawancara Anda mengatakan bahwa Islam sedang berada di dalam fase transisi. Bisakah dijelaskan apa yang Anda maksud?
Prof. Jan Ilhan Kizilhan: Kita melihat perkembangan sejak tahun 622 dengan pendirian atau dengan dimulainya Islam, juga dengan Islam di Mekah dan Madinah yang datang kemudian, bahwa jika dibutuhkan perubahan dalam Islam karena harus menyesuaikan diri dengan situasi modern, selalu muncul kelompok radikal. Jika Anda melihat kaum Wahabi di Arab Saudi, pada waktu itu, ketika Nasionalisme Arab merajai Timur Tengah, seratus tahun lalu lahir Ikhwanul Muslimin. Kita pun saat ini menyaksikan perubahan pesat, seperti perubahan demografis di negara-negara Muslim. Jumlah kaum muda yang berusia duapuluh, duapuluhlima atau tigapuluh tahun saat ini lebih besar ketimbang di dunia barat.
Gus Miftah rajin menyambangi pusat lokalisasi dan klub malam buat membawa pesan Tuhan. Dakwahnya menjawab dahaga rohani pekerja bisnis hiburan malam. Namun niat baik tidak selalu membawa pujian.
Foto: Reuters/N. Laula
Bukan Ustadz Biasa
Mifta’im An’am Maulana Habiburrohman tak terlihat seperti ustadz pada umumnya. Pakaiannya cenderung santai. Bukan kopiah dan baju koko, dia mengenakan blangkon jawa yang dipadu dengan kemeja lapangan. Jemaah dakwahnya pun tergolong unik. Dia berceramah di kelab malam di Bali di hadapan pegawai dan pengunjung yang sebagiannya tidak beragama Islam.
Foto: Reuters/N. Laula
Menghadap Kaum Terbuang
Gus Miftah merasa terpanggil untuk datang menghadap kaum yang selama ini dipandang sebelah mata di masjid-masjid, yakni pekerja kelab malam yang sebagian besarnya perempuan. "Ini adalah tuntutan pekerjaan atau tuntutan hidup yang memaksa mereka menjalani pekerjaan ini untuk bisa bertahan," ujarnya kepada Reuters.
Foto: Reuters/N. Laula
Misi Diongkosi Sendiri
"Saya tidak berhak menghakimi mereka," kata dia, "saya di sini hanya untuk membantu mereka agar tidak melupakan Tuhan." Dan sebab itu dia mengongkosi sendiri perjalanannya saat diundang ceramah oleh pemilik Boshe VVIP Club di Kuta, Bali, katanya kepada Tempo. Ia juga menolak saat hendak diberi uang. Untuk nafkah keluarga, kata dia, tidak seharusnya didapat dari kelab malam.
Foto: Reuters/N. Laula
Membawa Tuhan ke Kegelapan
Selain giat berceramah di dunia remang-remang dan lingkungan esek-esek yang telah dilakoninya selama 14 tahun, Gus Miftah juga mengurus pondok pesantren Ora Aji Tundan di Yogyakarta. Aktivitasnya itu sempat mengundang kecaman dari sejumlah kelompok konservatif. Namun dia didukung oleh Ketua PBNU, Robikin Emhas, yang mengatakan Gus Miftah membawa pesan Tuhan ke tempat tergelap.
Foto: Reuters/N. Laula
Panggilan Rindu Pekerja Klub Malam
Dia mengaku menyambangi Bosche di Kuta lantaran mendapat panggilan kangen dari para pegawai dan pengelola klub. Kepada mereka dia mendakwah tentang manajemen hidup agar bisa mendekat kepada Tuhan. Ia mengingatkan betapa "baiknya Tuhan sama kalian. Buktinya, kalian bermaksiat, tapi Tuhan masih menitipkan rezeki," tuturnya kepada Tempo.
Foto: Reuters/N. Laula
Jalan Berliku Menuju Kegelapan
Kiprahnya berdakwah di klub Boshe bermula 2006 silam saat dia mendapat permintaan dari seorang pekerja klub cabang Yogyakarta tersebut. Setelahnya dia melanjutkan upaya dakwah ke pusat lokalisasi, Pasar Kembang. Meski sempat ditolak dan diancam, dia tetap bersikukuh dan akhirnya diizinkan menggelar pengajian.
Foto: Reuters/N. Laula
Berdamai dengan Malam
Pekerja klub Boshe di Bali mengaku menyukai gaya khotbah Gus Miftah lantaran diselipi humor dan cendrung santai. Kebanyakan merasa bisa berdamai dengan pekerjaan yang mereka lakoni setelah bertemu sang ustadz. “Meskipun kami bekerja seperti ini, kami masih memiliki agama dan kami masih ingin berbuat baik,” kata seorang karyawan wanita berusia 27 tahun. rzn/vlz (rtr, tempo, detik, cnnindonesia)
Foto: Reuters/N. Laula
7 foto1 | 7
Kaum muda aktif di internet dan media sosial. Dan dengan latarbelakang pendidikan, mereka mengenali paradoks, seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, tentang kesetaraan gender dan kebebasan individu. Hal-hal ini ingin mengubah mereka. Dan perubahan semacam itu ikut membawa krisis kepercayaan. Dan saya juga yakin, bahwa kelompok-kelompok radikal seperti Al-Nusra, Al-Qaida atau Islamic State merupakan indikasi terciptanya krisis di dalam Islam. Karena Islam ingin beradaptasi. Ia sedang berada dalam jalur menuju perubahan. Tapi akan selalu ada kelompok radikal yang menentangnya dan ingin menciptakan situasi stagnan. Juga ada milyaran kaum muslim di berbagai negara dengan latarbelakang budaya berbeda-beda. Mereka ingin model pendekatan dan gaya hidup yang berbeda. Di sini terciptalah konflik antara berbagai kekuatan. Sebab itu saya di sini melihat Islam yang sedang dinaungi krisis dan berada dalam fase transformasi. Artinya dalam satu atau dua generasi ke depan, mungkin juga setelahnya, kita akan melihat Islam jatuh ke dalam jurang krisis yang dalam. Dan jika terjadi krisis, maka akan semakin banyak pula tindak kekerasan dan kelahiran organisasi-organisasi teror yang berusaha membumikan budaya kekerasan di negara-negara Muslim, agar masyarakat tidak mengalami perubahan atau pertumbuhan baru Islam.
DW: Maksud Anda harus ada upaya membangun struktur sekularisme di dalam Islam?
Prof. Jan Ilhan Kizilhan: Kebebasan individu sekarang menjadi isu penting. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pun menjadi tema aktual. Di Iran kita mengalami lonjakan angka perempuan yang menyelesaikan pendidikan tinggi tingkat sarjana. Jumlahnya hampir sama dengan laki-laki. Mereka ingin menjadi dokter atau pengacara, tapi juga menuntut kebebasan individu dan tidak ingin didikte oleh kaum pria hanya karena jenis kelaminnya perempuan. Perempuan-perempuan ini sering berpergian ke luar negeri dan tidak mampu menjalani pola perilaku tertentu yang mungkin empat atau limaratus tahun lalu menjadi norma sosial. Fenomena ini sudah dimulai dan masyarakat ikut melakukannya. Tapi saya yakin para intelektual atau pemimpin umat Islam harus lebih dini dan lebih giat mendiskusikan, sejauh apa kita di dalam Islam bisa menghadirkan perubahan agar agama ini bisa bertahan hingga ribuan tahun lamanya. Jika tidak kita akan memiliki mayoritas diam yang menarik diri dan mendefinisikan diri sebagai muslim kultural, tapi tidak hidup di bawah naungan Islam.
*Prof. Dr. Dr. Jan Ilhan Kizilhan adalah pakar Psikologi dan seorang orientalis yang bekerja sebagai tenaga ahli medis di sebuah klinik di Jerman. Dia bermigrasi dari Turki ke Jerman pada 1973 bersama kedua orangtuanya yang beretnis Kurdi. Pada 2017 dia dianugerahi Ramer Award for Courage in the Defense of Democracy lantaran aktivitasnya mengadvokasi kaum Yazidi korban kekejaman Islamic State.
Wawancara dilakukan oleh Saifullah Ibrahimkhail
Politisi Muslim Terkemuka di Eropa
Ketua Fraksi CDU Ralph Brinkhaus membuat kehebohan dengan menyatakan seorang Muslim bisa saja menjadi kanselir Jerman. DW menampilkan beberapa politisi penganut Islam yang sudah berada di garis depan politik Eropa.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Hirschberger
Politisi berdarah Pakistan
Sayeeda Hussain Warsi (paling depan) adalah perempuan Muslim pertama yang menjadi anggota Kabinet Inggris. Ia lahir di Inggris pada 28 Maret 1971. Orang tuanya berasal dari Pakistan. Warsi aktif berpolitik di Partai Konservatif. Pada Mei 2018, Warsi meminta PM Theresa May untuk secara terbuka mengakui bahwa Partai Konservatif memiliki masalah dengan Islamofobia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Scarff
Bekerja untuk Prancis dan Eropa
Prancis memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia Barat, dan Islam adalah agama terbesar kedua di negara ini. Rachida Dati adalah seorang Muslim yang telah mencapai posisi eselon tertinggi di politik Prancis. Ia menjabat sebagai menteri kehakiman di tahun 2007-2009. Saat ini ia menjadi anggota Parlemen Eropa. Ibu Rachida berasal dari Aljazair dan ayahnya dari Maroko.
Foto: Getty Images/AFP/P. Huguen
Menjadi mualaf
Politisi Belanda Joram van Klaveren sempat menjadi kritikus garis keras Islam. Ia berkampanye menentang Islam dalam posisinya sebagai anggota parlemen untuk Partai PVV. Namun secara tiba-tiba ia mengumumkan bahwa ia telah memeluk agama Islam. Geert Wilders, ketua Partai PVV yang juga seorang kritikus Islam, mengatakan konversi itu seperti seorang vegetarian yang mengambil pekerjaan di rumah jagal.
Foto: AFP/Getty Images/ANP/B. Czerwinski
Walikota yang populer di Belanda...
Ahmed Aboutaleb menjadi walikota kota Rotterdam di tahun 2009. Ia adalah walikota dengan latar belakang imigran pertama di Belanda. Dia telah terang-terangan mengritik Muslim yang datang ke Barat namun menentang kebebasan berbicara yang dianut di sana. Pada 2015, ia terpilih sebagai politisi Belanda yang paling populer dalam jajak pendapat untuk kantor berita Belanda ANP.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Maat
... dan di Inggris
Sadiq Khan telah menjadi walikota London sejak 2016. Di tahun 2005 hingga 2016 ia menjadi anggota parlemen Inggris. Menjelang referendum Brexit, Khan menjadi juru kampanye terkemuka untuk Inggris agar tetap berada di Eropa. Ia juga mendukung hak pernikahan untuk pasangan sesama jenis. Khan memenangkan penghargaan Politician of the Year di British Muslim Awards pada 2016.
Foto: picture-alliance/dpa/Yui Mok
Muslim sekuler di Jerman
Politisi Jerman Cem Özdemir menjadi salah satu wajah paling menonjol dari Partai Hijau selama bertahun-tahun. Jabatan sebagai ketua partai Die Grüne dipegangnya dari November 2008 hingga Januari 2018. Özdemir menentang aksesi Turki, tanah air orangtuanya, ke Uni Eropa. Pria yang sempat berkampanye untuk legalisasi ganja itu, menggambarkan dirinya sebagai seorang "Muslim sekuler". (Ed.:na/hp)