1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Profesi Perawat Masih Diminati di Tengah Kurang Apresiasi?

17 Maret 2023

Jadi perawat di Indonesia penuh suka dan duka. Di tengah kurangnya kesejahteraan dan apresiasi, apakah profesi yang dinilai membanggakan ini masih diminati?

Ilustrasi perawat kelelahan
Ilustrasi perawat kelelahanFoto: Robert Kneschke/Zoonar/picture alliance

Masih segar dalam ingatan saat pandemi COVID-19 tahun 2020, banyak orang berjuang antara hidup dan mati, dunia banyak belajar tentang pentingnya menjaga kesehatan, empati, dan kerja sama.

Tenaga kesehatan sebagai garda terdepan bekerja keras untuk merawat, menjaga, dan menyembuhkan banyak orang. Situasi yang menyesakkan dan memilukan juga jadi pemandangan yang akrab buat para nakes termasuk perawat.

Paramita, suster Unit Gawat Darurat di sebuah rumah sakit di Jakarta, termasuk salah satu yang mengalami kejadian itu. Kepada DW Indonesia, Paramita mengungkapkan betapa memilukannya pemandangan dan mendengar suara ambulan yang meraung-raung dan hilir mudik di depan mata.

"Bagaimana saya harus minta maaf berkali-kali kepada pasien bahwa rumah sakit kami sudah tidak bisa menampung pasien lagi. Bagaimana kami mengubah ruangan menjadi mini ICU dadakan agar pasien bisa tertangani," ujar Paramita.

"Capek, sedih lihat orang-orang sesak napas, waktu itu pas Delta yang lagi parah-parahnya, sampai di rumah masih harus 'bertugas' juga kan jaga-jaga biar tidak menulari orang rumah."

Dia mengungkapkan bahwa dia juga harus menjaga kewarasan, kesehatan, sambil merawat orang-orang sakit. Diakuinya, itu tak mudah. Namun, sejumlah peristiwa dalam hidupnya membuat dia sadar kalau menjadi perawat adalah adalah kecintaannya.

"Sampai sekarang, saya sudah 16 tahun jadi perawat di rumah sakit yang sama. Banyak suka dukanya tapi itu yang menguatkan saya bisa sampai saat ini melayani dan membantu orang yang sakit." Paramita mengaku lebih banyak tak ambil pusing dengan orang yang kerap tidak menghargainya.

Sering bermimpi ganti profesi

Lain hal dengan Rizal. Perawat IGD di Jakarta ini mengaku kerap punya angan-angan untuk pindah profesi jadi pengusaha karena profesinya sering dipandang sebelah mata.

"Like a maid. Lebih banyak menganggap perawat itu sekadar pekerja seperti pembantu, jadi keberadaannya tidak pernah diperhitungkan. Paling parah pernah dibeginikan: "gaji kamu saja tidak cukup buat beli alas kaki saya"."

Kenangan itulah yang sering membuat Rizal berpikir untuk banting setir. "Kalau boleh milih ulang, 1% masih ingin jadi perawat, 99% mau jadi pengusaha, tapi tetap di bidang kesehatan," katanya sembari terkekeh.

Namun, di luar semua suka duka tersebut, bagi Rizal dan Paramita, menjadi seorang perawat bukan sekadar paham ilmu kesehatan dan semua teknologi canggihnya. Ini juga tentang belajar empati, kesabaran, komunikasi, dan kasih.

Minatkah generasi muda jadi perawat?

Mengingat besarnya tanggung jawab dan kurangnya penghargaan, masihkah generasi muda di Indonesia punya mimpi untuk jadi perawat? DW bertanya kepada sejumlah generasi Z tentang masalah ini. Tidak mewakili keseluruhan populasi, tentu saja. Namun, bisa jadi gambaran sepintas tentang pendapat beberapa di antara mereka.

Audrey Tabitha Ariani dan Yohanes Deo yang saat ini duduk di bangku perguruan tinggi menjawab tidak pernah punya cita-cita itu.

"Saya tidak pernah bercita-cita menjadi perawat karena saya tidak tertarik dengan bidang medis dan perawat memiliki tanggung jawab yang besar dengan payment yang tidak setimpal," kata Audrey kepada DW Indonesia.

Yohanes Deo mengaku bahwa jadi perawat bukanlah mimpinya. Hal serupa juga diungkapkan oleh Tias, karyawati di Jakarta, dan Mikayla, yang masih duduk di bangku SMP. Dia mengungkapkan bahwa tak pernah bercita-cita jadi perawat lantaran takut melihat darah.

Berkarier sebagai Perawat di Jerman

03:41

This browser does not support the video element.

Namun, rupanya profesi ini masih punya peminat. Elizabeth Yesi saat ini belajar ilmu keperawatan semester 6 di sebuah kampus di Jakarta. Dia mengakui bahwa awalnya ingin menjadi dokter, tapi tidak kesampaian dan akhirnya memutuskan untuk mengikuti pendidikan perawat.

"Keinginan sendiri memang ingin kuliah di bidang kesehatan dan biar nanti kalau orang tua sudah tua, atau ada keluarga yang sakit, ada penanganan pertama yang mengerti," kata Yesi kepada DW Indonesia. Selain itu, ia juga memperkirakan bahwa dalam 10 tahun ke depan, pekerjaannya tidak akan digantikan oleh robot.

Saat ini Yesi mendapatkan beasiswa untuk menopang kuliahnya. Beasiswa ini mengharuskannya untuk bekerja sebagai perawat di Indonesia. Namun, suatu saat nanti ia berharap bisa bekerja sebagai perawat di luar negeri lantaran tingginya permintaan.

Perawat Indonesia banyak diminati di luar negeri

Harif Fadhillah Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mengakui bahwa kebutuhan tenaga perawat di luar negeri masih sangat tinggi. Di Indonesia sendiri, kebutuhan perawat diprediksi bakal surplus di 2035. Dia juga menyebut bahwa tenaga perawat di Indonesia memang banyak diminati di luar negeri.

"Orang luar negeri menyebut perawat Indonesia itu attitude-nya bagus dan skill-nya juga tidak kalah. Tapi memang, kekurangannya adalah kendala bahasa dan juga faktor homesick."

Bagaimana dengan angka perawat di Indonesia sendiri? "Menurut data dari WHO, kebutuhan perawat di Indonesia pada 2035 mendatang rasionya 2,3 orang:1000 penduduk. Sedangkan saat ini per tahun ini sudah ada 2,3:1000," kata Harif saat dihubungi DW Indonesia.

Melihat data Kementerian Kesehatan di 2021, jumlah tenaga keperawatan Indonesia mencapai angka 511.191. Masih menurut data itu, proporsi tenaga kesehatan terbanyak yaitu tenaga keperawatan sebanyak 40,5% dari total tenaga kesehatan, sedangkan proporsi tenaga kesehatan yang paling sedikit yaitu tenaga kesehatan tradisional sebesar 0,01%. 

Gaji awal perawat di Indonesia tergolong rendah

Harif Fadhillah mengaku tingginya proporsi perawat tidak sebanding dengan penghargaan yang mereka peroleh. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mengkaji negara mitra mereka, dan mengungkapkan bahwa dari 10 negara di Asia, Indonesia punya gaji awal paling rendah di antara negara Asia lainnya seperti Malaysia, Singapura, Jepang, Korea Selatan, India, Taiwan, Filipina, Thailand. Data ini berasal dari sektor publik atau rumah sakit pemerintah dan sistem manajerial.

"Di Indonesia sendiri sebenarnya juga banyak rumah sakit yang menggaji perawatnya di UMP. Ini miriskan. Jadi kalau ditanya apakah minat jadi perawat, pasti kecenderungannya akan turun kalau situasi terus seperti ini."

Di Hari Perawat Nasional ini, Harif juga menggarisbawahi bahwa tema besar yang diusung yakni Gapai Sejahtera dengan Profesionalisme. Sejahtera yang dimaksud dalam hal ini bukan cuma soal gaji, tapi soal kesejahteraan dalam berbagai hal. 

"Bukan cuma material, gaji, rumah saja, tapi juga dalam hal kondisi berkerja, kesempatan untuk pelatihan, bagaimana mendapatkan pembelaan hukum dari kekerasan. PPNI sampai saat ini sudah ada Lembaga bantuan hukumnya, lebih dari 40 kasus sudah kami tangani."

Selain itu, Harif juga mengharapkan adanya perubahan cara pandang masyarakat umum, bahkan di rumah sakit soal profesi perawat.

"Padahal kan perawat itu bukan pembantu dokter tapi juga punya profesinya sendiri. Stratanya sama, jadi masyarakat juga harus membedakan. Bukan cuma masyarakat secara luas saja tapi juga masyarakat di rumah sakit, masih relevan saat ini kalau perawat itu underpaid, overwork, dan underappreciation," ujarnya.

(ae)

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait