Pasca pemilu, Indonesia perlu menumbuhkan kembali nilai toleransi. Apalagi selama ini Islam di tanah air masih dikenal sebagai Islam yang rileks. Demikian pembahasan dialog Islam yang digelar di Berlin baru-baru ini.
Iklan
Untuk menangkal konflik antar agama, dialog antar agama saja tidak cukup. Penanaman pemahaman multikulturalisme dan membangun sistem pendidikan yang lebih baik jadi kunci utama dalam membangun perdamaian, baik di tanah air atau dimana pun. Demikian dipaparkan oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, pembicara utama pada seminar "Tolerance of Islam in Pluricultural Societies", akhir April 2019 di Villa Borsig, Berlin, Jerman.
"Kita harus menumbuhkan konsep-konsep praktik multikulturalisme pada para pemimpin muslim untuk saling menghargai, baik sesama muslim maupun dengan non muslim dan juga harus menghormati budaya lokal,” ujar Profesor Azyumardi Azra.
Sementara di bidang pendidikan, perlu adanya penanaman toleransi antar umat beragama pada sistem pendidikan, mulai dari para pengajar yang nanti akan meneruskannya pada anak didik mereka, demikian dipaparkan Azyumardi Azra.
Islam yang rileks
Baru-baru ini Indonesia melewati masa pemilu yang bagi beberapa kalangan cukup menyulut polarisasi. "Soal hubungan agama dan politik harus dilihat lebih cermat, karena tensi terlihat dalam pilpres, terbelah antara kaum muslim yang mendukung, misal kaum moderat Nahdatul ulama, Muhammadyah, didukung minoritas, mendukung Jokowi-Ma'ruf. Muslim agak ke kanan mendukung Prabowo-Sandiaga, misalnya eks HTI yang sudah terlarang,” ujar Azyumardi Azra.
Oleh sebab itu, menurut Azyumardi Azra penting untuk mengingatkan kembali bagaimana menghadirkan lagi contoh nyata Islam yang mampu menjadi pelopor toleransi di tengah ratusan etnis yang sangat heterogen, lewat Islam yang fleksibel atau Islam yang rileks . "Islam Indonesia dikenal sebagai the smiling and colorful Islam, Islam yang penuh warna dan kedamaian. Islam Indonesia sangat tidak kental dengan Arab, tetapi bukan berarti tidak lebih islami dari negara Arab. Sejumlah peneliti mengungkapkan bahwa masyarakat muslim Indonesia lebih taat menjalankan syariat Islam, seperti puasa, salat Jumat, dan haji, dibandingkan beberapa negara di Timur Tengah", papar Azyumardi Azra.
Menanamkan Kembali Semangat Multikulturalisme
01:18
Indonesia masih jadi inspirasi
Seminar yang antara lain diprakarsai duta besar RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno ini, diselenggarakan atas kerja sama kementerian luar negeri Jerman, Kedutaan Besar RI dan Kedutaan Besar Azerbaijan di Berlin. Beragam tokoh lintas agama dan pemangku kebijakan Jerman hadir pada seminar ini, antara lain anggota parlemen Jerman, organisasi-organisasi Islam, Kristen dan Yahudi, akademisi Universitas Humbolt, dan wakil lembaga masyarakat.
Tujuan dari seminar ini, menurut Dubes Arif Havas: "Saya ingin memberi pandangan alternatif di Jerman bahwa Islam bukan hanya dari Timur Tengah, namun di tempat lain, yang paling besar di Indonesia."
Politisi Muslim Terkemuka di Eropa
Ketua Fraksi CDU Ralph Brinkhaus membuat kehebohan dengan menyatakan seorang Muslim bisa saja menjadi kanselir Jerman. DW menampilkan beberapa politisi penganut Islam yang sudah berada di garis depan politik Eropa.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Hirschberger
Politisi berdarah Pakistan
Sayeeda Hussain Warsi (paling depan) adalah perempuan Muslim pertama yang menjadi anggota Kabinet Inggris. Ia lahir di Inggris pada 28 Maret 1971. Orang tuanya berasal dari Pakistan. Warsi aktif berpolitik di Partai Konservatif. Pada Mei 2018, Warsi meminta PM Theresa May untuk secara terbuka mengakui bahwa Partai Konservatif memiliki masalah dengan Islamofobia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Scarff
Bekerja untuk Prancis dan Eropa
Prancis memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia Barat, dan Islam adalah agama terbesar kedua di negara ini. Rachida Dati adalah seorang Muslim yang telah mencapai posisi eselon tertinggi di politik Prancis. Ia menjabat sebagai menteri kehakiman di tahun 2007-2009. Saat ini ia menjadi anggota Parlemen Eropa. Ibu Rachida berasal dari Aljazair dan ayahnya dari Maroko.
Foto: Getty Images/AFP/P. Huguen
Menjadi mualaf
Politisi Belanda Joram van Klaveren sempat menjadi kritikus garis keras Islam. Ia berkampanye menentang Islam dalam posisinya sebagai anggota parlemen untuk Partai PVV. Namun secara tiba-tiba ia mengumumkan bahwa ia telah memeluk agama Islam. Geert Wilders, ketua Partai PVV yang juga seorang kritikus Islam, mengatakan konversi itu seperti seorang vegetarian yang mengambil pekerjaan di rumah jagal.
Foto: AFP/Getty Images/ANP/B. Czerwinski
Walikota yang populer di Belanda...
Ahmed Aboutaleb menjadi walikota kota Rotterdam di tahun 2009. Ia adalah walikota dengan latar belakang imigran pertama di Belanda. Dia telah terang-terangan mengritik Muslim yang datang ke Barat namun menentang kebebasan berbicara yang dianut di sana. Pada 2015, ia terpilih sebagai politisi Belanda yang paling populer dalam jajak pendapat untuk kantor berita Belanda ANP.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Maat
... dan di Inggris
Sadiq Khan telah menjadi walikota London sejak 2016. Di tahun 2005 hingga 2016 ia menjadi anggota parlemen Inggris. Menjelang referendum Brexit, Khan menjadi juru kampanye terkemuka untuk Inggris agar tetap berada di Eropa. Ia juga mendukung hak pernikahan untuk pasangan sesama jenis. Khan memenangkan penghargaan Politician of the Year di British Muslim Awards pada 2016.
Foto: picture-alliance/dpa/Yui Mok
Muslim sekuler di Jerman
Politisi Jerman Cem Özdemir menjadi salah satu wajah paling menonjol dari Partai Hijau selama bertahun-tahun. Jabatan sebagai ketua partai Die Grüne dipegangnya dari November 2008 hingga Januari 2018. Özdemir menentang aksesi Turki, tanah air orangtuanya, ke Uni Eropa. Pria yang sempat berkampanye untuk legalisasi ganja itu, menggambarkan dirinya sebagai seorang "Muslim sekuler". (Ed.:na/hp)
Foto: picture-alliance/dpa/R. Hirschberger
6 foto1 | 6
Kepala Departemen Bidang Urusan Agama Kementerian Luar Negeri Jerman, Volker Berresheim menyebutkan bahwa konsep Islam yang berkembang di Indonesia menjadi inspirasi bagi Jerman. "Konsep Islam Indonesia ini dapat menjadi alternatif untuk mengimbangi dominasi konsep Islam dari etnis tertentu yang saat ini berkembang di Jerman,” ujarnya.
Banyak pula di antara peserta seminar yang membahas bagaimana pemilu di Indonesia telah berpengaruh pada hubungan politik identitas dan agama. Mereka pun menyodorkan berbagai masukan, di antaranya penguatan nilai-nilai multikulturalisme di masyarakat, penguatan dialog antar dan inter agama, dialog pemimpin agama dengan pemerintah, pengajaran agama yang benar melalui sistem pendidikan, serta merumuskan mekanisme sistem peringatan dini untuk mengidentifikasi dan mengatasi gerakan-gerakan radikalisme yang kerap mengatas namakan agama tertentu.
Serangan Teror Ekstremis Kanan: Sebuah Rentang Sejarah
Dalam 10 tahun terakhir telah terjadi banyak serangan terhadap komunitas Muslim dan Yahudi, serta orang non-kulit putih. DW merangkum beberapa serangan teror ekstremis kanan terbesar di dunia.
Foto: picture-alliance/empics/PA Wire/D. Lawson
Jerman 2009: Penusukan terhadap wanita di pengadilan Dresden
Marwa El-Sherbini, seorang apoteker yang tinggal di Dresden bersama dengan suami dan putranya dibunuh di pengadilan Dresden pada 1 Juli 2009. Ia ditusuk seorang pria berusia 28 tahun keturunan Jerman-Rusia, tak lama setelah memberikan kesaksian terhadap pria ini untuk kasus kekerasan verbal. El-Sherbini adalah korban pembunuhan yang pertama dalam serangan Islamophobic di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Hiekel
Norwegia 2011: Breivik, pembunuh massal dengan serangan teror.
Dua aksi terror dilakukan sendirian oleh extremis sayap kanan, Anders Behring Breivik tewaskan 77 orang tanggal 22 Juli 2011. Aksi pertamanya adalah pemboman di sebuah kantor pemerintahan di Oslo. Aksi dilanjutkan dengan pembantaian anak-anak muda yang berkemah di pulau Utoya. Sebelum, Breivik mengeluarkan manifestasi yang mengecam multikulturalisme dan islamisasi Eropa.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Berit
AS 2015: Penembakan di Chapel Hill
Tiga mahasiswa, yakni Deah Barakat, istrinya Yusor Abu-Salha dan saudara perempuannya Razan Abu-Salha ditembak mati oleh tetangga mereka yang berusia 46, 10 Februari 2015. Penembak menggambarkan dirinya sebagai penantang agama dan telah berulang kali dilaporkan karena ancaman dan penghinaan terhadap korbannya. Peristiwa ini viral di media sosial dan bertagar #MuslimLivesMatter.
AS 2015: Pembunuhan massal di gereja di Charleston
17 Juni 2015: Seorang teroris kulit putih melepaskan tembakan di gereja Emanuel African Methodist Episcopal di Charleston, Carolina Selatan. Sembilan orang anggota jemaat Afrika-Amerika terbunuh, termasuk seorang pendeta. Pelaku yang berusia 21 tahun ini dijatuhi hukuman mati akibat melakukan kejahatan berdasarkan kebencian.
Foto: Getty Images/J. Raedle
Jerman 2016: Penembakan massal di München
Sebuah penembakan massal di pusat perbelanjaan di München pada 22 Juli 2016 memakan setidaknya 36 korban luka dan 10 korban jiwa – termasuk pelaku penembakan yang baru berusia 18 tahun. Pelaku adalah warga Jerman keturunan Iran. Menurut keterangan kepolisian, ia banyak membuat komentar bersifat xenofobia dan rasis, serta yang memuja pelaku penembakan sekolah.
Foto: Getty Images/J. Simon
Inggris 2017: Serangan di masjid Finsbury Park
19 Juni 2017, seorang pria berusia 47 tahun membunuh satu orang dan melukai 10 orang lainnya dalam serangan yang menggunakan mobil van. Pelaku menabrakkan mobil ke arah oarang-orang di jalur pejalan kaki dekat masjid Finsbury Park di utara London. Semua korban adalah muslim yang sedang bejalan menuju masjid untuk salat Tarawih. Pelaku dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Foto: picture-alliance/AP Photo/F. Augstein
AS 2017: Serangan mobil saat gerak jalan neo-Nazo di Charlottesville
Satu orang wanita terbunuh dan puluhan lainnya terluka ketika seorang nasionalis kulit putih menabrakkan mobilnya ke arah kerumunan demonstran di Charlottesville, Virginia pada 12 Agustus 2017. Para demonstran menentang aksi protes bernama Unite the Right, yakni pertemuan antar para supremasi kulit putih, nasionalis kulit putih, serta neo-Nazi. Pelaku dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Foto: Getty Images/AFP/P.J. Richards
Kanada 2017: Serangan masjid di Quebec
Seorang pria bersenjata menembaki jamaah di Islamic Cultural Center di Quebec, akhir Januari 2017. Peristiwa ini menewaskan enam orang dan melukai puluhan lainnya. Penembakan itu terjadi di malam hari, saat salat berlangsung. Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau mengutuk penembakan itu sebagai "serangan teroris terhadap Muslim di rumah ibadah dan perlindungan."
Foto: Reuters/M. Belanger
AS 2018: Penembakan Sinagoge Tree of Life
Pada 27 Oktober 2018, seorang pria bersenjata berusia 46 tahun melepaskan tembakan di sebuah sinagoga di kota Pittsburgh, AS. Peristiwa ini menewaskan 11 orang dan melukai tujuh lainnya. Dia dilaporkan meneriakkan ejekan anti-Semit selama serangan dan sebelumnya memposting teori konspirasi di internet. Itu adalah serangan paling mematikan terhadap orang Yahudi dalam sejarah AS.
Foto: picture-alliance/AP/M. Rourke
Jerman 2019: Serangan tahun baru di Bottrop and Essen
Tak lama setelah tengah malam ketika orang-orang merayakan tahun baru, seorang pria berusia 50 tahun melakukan serangan yang ditargetkan terhadap imigran di kota Bottrop dan Essen, Jerman barat - melukai delapan orang dan satu luka serius. Dia sengaja menabrakkan mobilnya ke arah keluarga Suriah dan Afghanistan yang sedang merayakan dengan anak-anak mereka di Bottrop.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Kusch
Selandia Baru 2019: Serangan masjid menara kembar di Christchurch
Setidaknya 50 tewas dan puluhan lainnya terluka dalam serangan. Pihak berwenang sebut ini sebagai "serangan ekstremis sayap kanan" dan peristiwa penembakan paling mematikan dalam sejarah negara itu. Salah seorang pelaku siarkan langsung serangan itu dan tuliskan manifesto rasis di internet. Perdana Menteri Jacinda Ardern menyebutnya "salah satu hari paling gelap di Selandia Baru." (Ed.: ga/ml)