Setelah Ebrahim Raisi tewas dalam kecelakaan helikopter Mei 2024 lalu, Iran kini bersiap untuk melakukan pilpres. Simak laporan DW soal enam kandidat yang telah disetujui oleh Dewan Wali, penguasa Iran.
Iklan
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Iran merilis daftar mutakhir kandidat untuk pemilihan presiden (pilpres) yang direncanakan berlangsung pada 28 Juni 2024 mendatang. Dewan Wali telah meloloskan enam orang untuk mencalonkan diri setelah dilakukan penelitian kualifikasi profesional dan pengabdian ideologis mereka terhadap Republik Islam Iran.
Dewan Wali, sebuah lembaga berkuasa sesuai konstitusi yang berisikan enam ulama dan enam ahli hukum, tidak meloloskan banyak wajah terkenal dalam pemilihan ini, contohnya adalah eks presiden sekaligus tokoh populis Mahmoud Ahmadinejad dan mantan ketua parlemen Ali Larijani, seorang konservatif yang dianggap sebagai sekutu mantan Presiden Hassan Rouhani.
Ketua Parlemen Mohammad Bagher Qalibaf sejatinya telah lama berharap dapat menjadi presiden. Laki-laki berusia 62 tahun ini pernah mencalonkan diri pada 2005 dan 2013. Namun, dia tidak berhasil dan menyerah pada pemilu 2017 lantaran kalah dari Raisi yang berhaluan ultra-konservatif.
Qalibaf mengklaim dirinya sendiri sebagai "Tentara Revolusi Islam", dan pernah menjabat sebagai Jenderal Garda Revolusi dan Kepala Polisi Nasional. Tahun 2003, Qalibaf mengawasi operasi penumpasan dengan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa mahasiswa. Dalam kurun 2005 dan 2017, dia pernah didapuk sebagai Wali Kota Teheran.
Lini Masa Pertikaian Arab Saudi dan Iran
Bukan kali pertama Iran dan Arab Saudi bersitegang. Sepanjang sejarahnya, hubungan kedua negara acap mengalami pasang surut menyusul konflik politik atau agama. Inilah sejarah modern permusuhan dua ideologi dalam Islam
Foto: DW Montage
Damai berbayang kecurigaan
Hubungan Iran dan Arab Saudi baru tumbuh sejak kekuasaan Syah Reza Pahlevi dan Raja Khalid. Kedua negara sebelumnya sering direcoki rasa saling curiga, antara lain karena tindakan Riyadh menutup tempat-tempat ziarah kaum Syiah di Mekkah dan Madinah. Perseteruan yang awalnya berbasis agama itu berubah menjadi politis seiring dengan eskalasi konflik di Timur Tengah dan Revolusi Islam 1979.
Foto: picture alliance/AP Images
Pendekatan usai Revolusi Islam
Raja Khalid sempat melayangkan ucapan selamat kepada Ayatollah Khomeini atas keberhasilan Revolusi Islam 1979. Tapi hubungan kedua negara memburuk menyusul perang Iran-Irak dan kisruh Haji 1987. Puncaknya, Riyadh memutuskan hubungan pada 1987, ketika Khomeini mengecam penguasa Saudi sebagai "Wahabi yang tidak berperikemanusiaan, ibarat belati yang menusuk jantung kaum Muslim dari belakang."
Foto: Getty Images/Afp
Keberpihakan dalam Perang Iran-Irak 1980
Saat berkobar perang Iran-Irak, Arab Saudi sejak dini menyatakan dukungan terhadap rejim Saddam Hussein di Baghdad. Riyadh memberikan dana sumbangan sebesar 25 milyar US Dollar dan mendesak negara-negara Teluk lain untuk ikut mengisi pundi perang buat Irak. Demi menanggung biaya perang, Arab Saudi menggenjot produksi minyak yang kemudian mengakibatkan runtuhnya harga minyak di pasar dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Kisruh Haji 1987
Mengikuti ajakan Ayatollah Khomeini, jemaah Iran setiap tahun berdemonstrasi di Mekkah dan Madinah menentang Israel. Tradisi sejak 1981 itu tidak pernah diperkarakan, kecuali pada 1987, ketika polisi memblokade jalan menuju Masjid al-Haram. Akibat bentrokan, 402 jemaah Iran tewas dan 649 luka-luka. Setelah kedutaannya di Teheran diserbu massa, Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Foto: farhangnews
Kontroversi program nuklir Iran
Arab Saudi sejak awal menolak program nuklir Teheran. Sikap itu tidak berubah bahkan setelah tercapainya Perjanjian Nuklir di Vienna tahun 2015. Riyadh menilai kesepakatan tersebut "sangat berbahaya." Desakan kepada Iran untuk bekerja sama dengan pengawas nuklir PBB juga disampaikan Saudi pada awal 2023.
Foto: Irna
Pemberontakan Houthi di Yaman, 2004
Hubungan Iran dan Arab Saudi kembali menegang setelah kelompok Syiah Zaidiyah di Yaman mengobarkan pemberontakan. Riyadh menuding Teheran mengompori perang bersaudara dan mencampuri urusan dalam negeri Yaman dengan memasok senjata. Iran sebaliknya menuding Arab Saudi menghkhianati perannya sebagai mediator konflik dengan membombardir minoritas Houthi di utara Yaman.
Foto: picture alliance/Y. Arhab
Perang proksi di Suriah, 2011
Dukungan Iran atas rejim Bashar Assad di Suriah sejak lama dianggap duri dalam daging oleh Arab Saudi. Sejak 2011, Riyadh aktif memasok senjata buat oposisi Sunni di Suriah. Kerajaan di Riyadh juga menjadi yang pertama kali mengecam Assad seputar "tindakan represif pemerintahannya terhadap demonstrasi anti pemerintah," ujar Raja Abdullah saat itu.
Foto: picture-alliance/AP/Vadim Ghirda
Tragedi Mina 2015
Bencana memayungi ibadah Haji 2015 ketika lebih dari 400 jemaah Iran meninggal dunia di terowongan Mina akibat panik massa. Iran menuding pemerintah Arab Saudi ikut bertanggungjawab. Riyadh sebaliknya menyelipkan isu bahwa tragedi itu disebabkan jemaah haji Iran yang tak mau diatur. Kisruh memuncak saat pangeran Arab Saudi, Khalid bin Abdullah, mendesak agar Riyadh melarang masuk jemaah haji Iran.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Eksekusi Mati Al-Nimr 2016
Sehari setelah pergantian tahun Arab Saudi mengeksekusi mati 46 terpidana, antara lain Syeikh Nimr al-Nimr, seorang ulama yang aktif membela hak-hak minoritas Syiah yang kerap mengalami represi dan diskriminasi di Arab Saudi. Al-Nimr didakwa terlibat dalam terorisme. Sebagai reaksi Pemimpin Spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei melayangkan ancaman, bahwa Saudi akan mendapat "pembalasan tuhan."
Foto: picture alliance/dpa/Y. Arhab
Drama di Lebanon
Pada November 2017 Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri mengumumkan pengunduran diri dari Riyadh, Arab Saudi, dan menyalahkan Iran terkait kebuntuan politik di Beirut. Langkah itu diyakini bagian dari manuver Arab Saudi untuk memprovokasi perang antara Iran dan Hizbullah dengan Israel. Saudi dan Iran berebut pengaruh di Lebanon pasca penarikan mundur pasukan Suriah 2005 silam.
Foto: picture-alliance/dpa/AP/Lebanese Official Government/D. Nohra
Narasi damai di awal 2023
Menyusul mediasi Cina, pemerintah Arab Saudi sepakat memulihkan hubungan dengan Ira pada Maret 2023. Kesepakatan tersebut disusul pembukaan kembali relasi dengan Suriah dan perundingan damai dengan pemberontak Houthi di Yaman. Sebelumnya, negara-negara Teluk juga sepakat mengakhiri perpecahan dengan Katar, sekutu dekat Iran di Teluk Persia.
Foto: Iran's Foreign Ministry/WANA/REUTERS
11 foto1 | 11
Saeed Jalili
Sosok yang berusia 58 tahun ini dipandang sebagai kesayangan kubu ultra-konservatif dalam rezim Iran. Jalili adalah negosiator utama Iran dalam pembicaraan internasional soal program nuklir. Tokoh garis keras ini sekarang merupakan bagian dari Dewan Penasihat Kebijaksanaan, yang ditunjuk oleh pemimpin tertinggi, dalam hal ini Ayatollah Ali Khamenei, untuk menyelesaikan konflik antara Parlemen dan Dewan Wali.
Senasib dengan Qalibaf, Jalili juga sempat bertarung dalam pilpres tahun 2013, dan tidak ikut pemilu 2017 demi mendukung Raisi.
Amirhossein Ghazizadeh Hashemi
Berprofesi sebagai dokter, Amirhossein Ghazizadeh Hashemi juga dianggap sebagai tokoh yang berhaluan keras. Hashemi pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Raisi. Saat ini, jabatannya adalah Kepala Yayasan Martir dan Urusan Veteran. Dia diizinkan untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2021. Saat itu, dia meraup 3% suara, yang menempatkannya di posisi keempat dari tujuh kandidat.
Masoud Pezeshkian
Mantan Menteri Kesehatan Masoud Pezeshkian dipercaya sebagai tokoh yang lebih moderat dibandingkan pesaing lain dalam pilpres ini. Laki-laki berusia 69 tahun ini pernah mencoba mencalonkan diri pada pilpres tahun 2021, tapi dia didiskualifikasi oleh Dewan Wali.
Meloloskan Pezeshkian dalam pilpres 2024 ini dapat dilihat sebagai strategi pemerintahan untuk meningkatkan jumlah pemilih dengan menggerakkan lebih banyak pemilih liberal. Namun, peluangnya tipis untuk memenangkan jabatan ini.
Mostafa Pourmohammadi
Pourmohammadi adalah satu-satunya ulama Islam yang mencalonkan diri sebagai presiden tahun ini. Laki-laki berusia 64 tahun ini pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di bawah pemerintahan Ahmadinejad antara tahun 2005 dan 2008, serta sebagai Menteri Kehakiman rentang 2013 dan 2017.
Pada tahun 1980-an, Pourmohammadi pernah menjabat sebagai jaksa penuntut di pengadilan revolusioner dan kemudian sebagai Wakil Menteri intelijen, yang diduga mengaitkannya dengan eksekusi massal tahanan politik.
Kekuasaan Berdarah Ayatollah Khomeini
Ayatollah Khomeini mengobarkan revolusi 1979 buat mengakhiri kekuasaan monarki yang represif dan sarat penindasan. Ironisnya negara agama yang ia dirikan justru menggunakan cara-cara serupa untuk bisa bertahan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/FY
Reformasi Setengah Hati
Iran pada dekade 1970an mengalami perubahan besar lewat "Reformasi Putih" yang digenjot Syah Reza Pahlevi. Program yang antara lain berisikan reformasi agraria dan pendidikan itu sebenarnya diarahkan untuk mempersempit pengaruh kaum Mullah dan tuan tanah. Namun Reformasi Putih menciptakan ketegangan sosial yang justru ingin dihindari pemerintah. Seluruh negeri tiba-tiba bergejolak.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Monarki Tanpa Oposisi
Iran pada era Pahlevi membungkam oposisi lewat penculikan, pembunuhan, penyiksaan dan eksekusi mati. Pada demonstrasi massal 1963, sekitar 15.000 mahasiswa tewas terbunuh. Antara 1971 hingga Revolusi Islam 1979, sebanyak 100 tokoh oposisi melepas nyawa di tiang gantungan. Sampai 1975 pemerintah menahan hampir semua jurnalis, seniman, sastrawan, ulama dan akademisi yang bersimpati pada oposisi
Foto: picture alliance/Herbert Rowan
Arus Balik Khomeini
Ayatollah Khomeini yang awalnya mendukung kekuasaan terbatas Monarki Iran, berbalik arah memperkenalkan sistem pemerintahan Islam berbasis kekuasaan Ulama, Wilayatul Faqih. Oleh Pahlevi ia dikucilkan. Putra Khomeini, Mostafa, dibunuh oleh pasukan rahasia Syah Iran, Savak, setahun sebelum revolusi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/FY
Sekulerisme Islam
Namun begitu Khomeini tidak serta merta membangun pemerintahan Mullah di tahun pertama revolusi. Sebaliknya ia mengakui peran kelas menengah dalam menjatuhkan Pahlevi dengan membentuk pemerintahan sekuler di bawah tokoh liberal dan moderat Mehdi Bazargan (gambar) sebagai perdana menteri dan kemudian Abolhassan Banisadr yang merupakan aktivis HAM Iran.
Foto: Iranian.com
Kebangkitan Islam Militan
Tapi menguatnya militansi pengikut Khomeini yang ditandai dengan penyerbuan Kedutaan Besar Amerika Serikat menyudahi peran kaum liberal. Terutama sejak perang Iran-Irak, Khomeini banyak memberangus oposisi. Antara 1981 dan 1985, pemerintah Islam Iran mengeksekusi mati 7900 simpatisan oposisi.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Pengkhianatan Ayatollah
Untuk mempertahankan idenya tentang kekuasaan Ulama, Khomeini tidak cuma mengucilkan perdana menterinya sendiri, ia juga memenjarakan ulama besar Syiah, Ayatollah Sayid Muhammad Kazim Shariatmadari (gambar) dengan tudingan makar dan calon penggantinya, Ayatollah Hossein-Ali Montazeri karena menentang tindakan represif pemerintah.
Foto: tarikhirani.ir
Dekade Berdarah
Dekade 1980-an menandai kekuasaan berdarah Khomeini. Dalam Tribunal Iran, PBB menuding rejim Islam Iran melakukan "pelanggaran berat Hak Azasi Manusia." Selama tahun 1980-an, sebanyak 20.000 tahanan politik meninggal dunia di penjara dan lusinan media diberangus paksa.
Foto: sarafsazan.com
Derita di Balik Jeruji
Pengadilan Kejahatan HAM Iran yang digelar di Den Haag tahun 2012 silam mengungkap berbagai kesaksian mantan tapol. Sebagian besar mengabarkan penyiksaan di penjara, antara lain digantung terbalik selama berhari-hari dan dipaksa melihat adegan penyiksaan terhadap rekannya, serta dikurung di sel isolasi tanpa sinar matahari selama berminggu-minggu.
Foto: iranwebgard.ir
Eksekusi Massal
Hingga kini Iran menjadi salah satu negara dengan jumlah hukuman mati tertinggi di dunia terhadap tahanan politik. Setahun menjelang kematiannya (3 Juni 1989), Khomeini menggulirkan gelombang eksekusi massal terhadap tokoh oposisi. Tidak jelas berapa jumlah tahanan politik yang tewas. Sebuah sumber menyebut jumlah tapol yang dieksekusi mati mencapai 30.000 orang.
Foto: picture-alliance/dpa
9 foto1 | 9
Alireza Zakani
Laki-laki 58 tahun ini juga tokoh berhaluan keras dan saat ini menjabat sebagai Wali Kota Teheran. Dewan Wali sempat menolaknya pada pilpres 2013 dan 2017. Pada 2021, ia mendapat izin untuk mencalonkan diri, tapi dia membatalkannya dengan memberi dukungan untuk Raisi.
Tidak ada kandidat perempuan
Perempuan tidak diizinkan untuk mencalonkan diri. Menurut data Kemendagri Iran, 287 orang telah secara resmi menyatakan keinginannya untuk mencalonkan diri sebagai presiden, dan 80 terdaftar sebagai calon potensial dalam siklus pemilu ini. Dari 80 orang itu ada empat orang perempuan, tapi Dewan Wali tidak meloloskan mereka.
Iklan
Apa saja faktor lain yang berperan?
Lantaran Ayatollah Khamenei dan para ulama senior masih memegang kekuasaan tertinggi di Iran, para kandidat bergantung pada dukungan dari lingkaran berpengaruh dalam kepemimpinan rezim. Almarhum Ebrahim Raisi adalah menantu dari tokoh garis keras Ahmad Alam al-Hoda, perwakilan Khamenei di provinsi Khorosan Razavi. Al-Hoda juga seorang pengkhotbah di Kota Mashhad, tempat ziarah keagamaan terpenting di timur laut Iran, dan anggota Majelis Ahli, lembaga yang menunjuk pemimpin tertinggi.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Koalisi di pucuk kekuasaan dapat menggalang dukungan dari para pemilih konservatif dan religius. Di masa lalu, para kandidat yang menyerukan perubahan hanya akan berhasil jika mereka menggerakkan segmen lain dari masyarakat Iran dan mendapatkan jumlah pemilih yang tinggi. Namun, banyak pemilih yang kecewa dengan janji-janji yang tidak terpenuhi dalam beberapa tahun terakhir, serta jumlah pemilih yang datang ke TPS juga rendah.
Dilaporkan, hanya 41% pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara pada pemilihan parlemen Maret 2024 lalu, dan pilpres hanya diikuti oleh 48% pemilih,terendah dalam pemilu presiden sepanjang sejarah Iran.