Profil Presiden Israel Shimon Peres
13 Juli 2007
Shimon Peres, 83 tahun, adalah dinosauria dalam dunia politik Israel. Hidup sebagai pensiunan atau warga sipil biasa, tidak dapat dibayangkannya. Sama halnya dengan cuti atau bersenang-senang di waktu senggang. Kekuasaan merupakan suatu daya tarik magis bagi Peres. Untuk itu dia bahkan bersedia pindah partai dan yakin bahwa orang memerlukannya.
Namun, banyak warga Israel menganggap Peres yang berasal dari Polandia itu, terlalu elit, angkuh dan gila kekuasaan. Apa pun alasannya, orang tidak mempercayainya. Ini merupakan tragedi untuk politisi yang berulang kali menjabat sebagai perdana menteri dan menteri. Namun tak satu pun jabatan diraihnya melalui kemenangan dalam pemilu.
Di luar negeri, Peres sebaliknya dilihat sebagai warga Israel yang berpendidikan tinggi dan dianggap sebagai politisi pelopor perdamaian. Kata-katanya bersifat menenangkan dan lain dari ujaran-ujaran keras dari banyak warga Israel lainnya: „Setiap bangsa memilih pemimpinnya sendiri. Kami tidak memilih pemimpin Palestina dan mereka tidak memilih pemimpin Israel. Tak seorang pun mengelakkan perdamaian. Tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Jadi kita harus duduk bersama dan berunding. Dan kita harus menyadari kesalahan yang dapat dilontarkan setiap pihak. Namun kita hanya dapat memperbaiki masa depan dan tidak masa lalu.“
Peres sering tampil di forum diskusi, misalnya di Qatar atau di Yordania. Dia selalu punya sesuatu yang dikatakan, namun yang semuanya tidak ada yang mengikat. Orang akan kecewa jika mengharapkanya untuk mengatakan sesuatu yang nyata. Sama halnya dengan orang yang mengharap pengakuan kesalahan dari Peres. Selama hiodupnya dia selalu berjuang agar Israel menjadi negara yang kuat. Peres juga telah meletakkan dasar bagi politik nuklir Israel. Dan dia tidak bersedia bersikap lunak bila hal itu dinilai dapat memperkecil tuntutan keamanan Israel: „Semua pihak menyepakati penyelesaian dua negara. Tetapi, warga Palestina ingin dua negara Palestina dan warga Israel ingin dua negara Israel. Ini tidak bisa. Di samping Israel tidak akan ada negara yang dihuni para pemukim. Juga tidak akan ada negara Palestina di samping mayoritas Palestina di Israel. Ini tidak masuk akal. Harus ada dua negara. Negara itu harus dibagi menurut logika demografis, keamanan dan politik.”
Yang dimaksudkan Peres adalah dukungannya untuk politik pemukiman dan menentang pengembalian semua wilayah yang diduduki tahun 1967. Karena sikap itu, Peres dapat pindah dengan mudah dari Partai Buruh ke partai konservatif “Kadima” dari Ehud Olmert. Namun, secara politis, pengaruh Peres terbatas. Oleh karena itu dia tampaknya yakin bahwa jabatan presiden merupakan akhir yang indah bagi karir politiknya. Beberapa tahun yang lalu keinginannya ini terhalangi oleh Moshe Katzav yang tidak begitu populer. Katzav harus meletakkan jabatan presiden akibat berbagai skandal.