Presiden Mesir Al Sisi diterima resmi oleh Kanselir Jeman Merkel dalam kunjungan ke Berlin, walau melakukan pelanggaran hak asasi di negaranya. Sebuah sinyal keliru dari Jerman. Perpektif Rainer Sollich.
Iklan
Sedikitnya 40.000 orang meringkuk di penjara Mesir dengan status tahanan politik. Hukuman mati dijatuhkan nyaris seperti kerja di pabrik dengan ban berjalan. Amnesty International mencatat, dalam dua tahun terakhir dijatuhkan 740 vonis hukum meragukan semacam itu. Sasaran bidik aparat pemerintah bukan hanya Ikhwanul Muslim, melainkan juga para aktivis pro-demokrasi dan pembela hak asasi yang berorientasi liberal.
Karena itu, Jerman melontarkan sinyal yang salah, dengan menerima dengan upacara resmi penaggung-jawab utama pelanggaran hak asasi di Mesir, yakni Presiden Abdel Fattah al-Sisi. Ibaratnya Jerman mempersilahkan Al Sisi naik panggung politik internasional dan mendapat penghargaan diplomatik, tanpa harus menjawab pertanyaan kritis dari tuan rumah.
Memang Kanselir Jerman Angela Merkel dalam pembicaraan menyinggung tema hak asasi manusia dan mengritik vonis hukuman mati. Tapi menimbang gawatnya pelanggaran hak asasi manusia, nada dari Jerman itu terdengar sumbang. Kita harus mempertanyakan, mengapa Kanselir Merkel mengundang Al-Sisi pada saat yang tidak tepat?
Angela Merkel mulanya menyebutkan syarat pertemuan adalah rencana konkrit pemilu perlemen di Mesir. Tapi, saat ini tidak ada pertanda pemilu akan digelar. Juga dalam posisi saat ini, tidak mungkin digelar pemilu yang bebas dan adil di Mesir. Al-Sisi memerintah Mesir lewat dekrit dan terus melakukan represi dengan tangan besi terhadap sebagian besar rakyatnya. Politiknya ini didukung oleh media yang dikendalikan aparat negara, yang sering melontarkan nada bermusuhan terhadap barat dan menyebar teori konspirasi jahat.
Memang betul bahwa Mesir adalah negara penting yang tidak bisa diabaikan oleh Jerman maupun Eropa. Peranan Kairo dalam perang melawan teror, krisis pengungsi di Laut Tengah serta krisis yang kelihatan meruntuhkan seluruh kawasan juga tidak bisa diabaikan. Tapi Eropa juga harus melihat, sejauh mana Mesir dapat memainkan peranan yang membantu.
Nyatanya, Mesir memainkan peranan sebaliknya: Haluan politik Presiden Al-Sisi tidak diarahkan bagi perujukan masyarakat Mesir. Melainkan terus mempolarisasi rakyat yang memgandung bahaya ekskalasi situasi. Represi keras terhadap Ikhwanul Muslim juga menjadikan Mesir tidak lagi dianggap sebagai juru penengah yang netral dalam konflik antara Israel dan Palestina. Pasalnya, Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza adalah bagian dari Ikhwanul Muslim.
Tahun Berdarah di Timur Tengah
Geliat IS di Suriah dan Irak, serta perang di Jalur Gaza menandai tahun yang penuh peristiwa di Timur Tengah. Berikut beberapa yang paling banyak mencuri perhatian dunia.
Foto: Getty Images/K. Cucel
Geliat Islamic State
Sejak 2013, kelompok teror ini sudah menguasai kota Rakka di Suriah. Januari silam mereka berhasil merebut kota Falludjah dari tangan militer Irak. Gerilayawan garis keras yang dikenal dengan aksi brutalnya itu juga sempat bercokol di provinsi Anbar dengan tujuan menguasai kota Baghdad.
Foto: Reuters
Konflik Atom Iran
Langkah Iran menghentikan program pengayaan uraniumnya Januari lalu disambut oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan melonggarkan sanksi. Kendati terdapat pendekatan yang signifikan, konflik atom Iran belum akan selesai. November kemarin pihak-pihak yang terlibat memperpanjang masa perundingan hingga 2015.
Foto: ISNA
Eksekusi Massal di Mesir
Setelah pemerintah Mesir menempatkan Ikhwanul Muslimin dalam daftar organisasi teror, sebuah pengadilan di Al-Minya memvonis mati 529 pendukung dan simpatisan Ikhwan. Pada proses lanjutan April lalu, pengadilan menjatuhkan vonis mati kepada 683 individu lain. Sebagian besar vonis mati lalu diubah menjadi hukuman kurung seumur hidup.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Perubahan Kekuasaan di Irak
Pada 30 April, warga Irak untuk pertama kalinya memilih parlemen sejak penarikan mundur tentara AS. Setelah konflik panjang, Perdana Menteri Nuri Al-Maliki (ki.) akhirnya bersedia untuk tidak mencalonkan diri lagi buat memuluskan jalan rekan separtainya, Haidar al-Abadi (ka.)
Foto: Reuters/Hadi Mizban
Suriah yang Tidak Ada Akhir
Setelah dua tahun perundingan lewat mediasi PBB yang kandas tanpa hasil, Utusan Khusus Timur Tengah Lakhdar Brahimi mengundurkan diri Mai silam. Tidak lama kemudian Presiden Suriah Basyar Assad merayakan kemenangan pemilu dengan 88,7 persen suara. Lucunya, pemilu cuma digelar di daerah-daerah yang diduduki pasukan pemerintah.
Foto: Reuters
Sisi Memimpin Mesir
Bekas panglima militer, Abdul Fattah al-Sisi, memenangkan pemilu kepresidenan di Mesir, akhir Mai lalu. Satu-satunya pesaing yang berani maju adalah Hamdien Sabbahi yang mendapat 3,1 persen suara. Dengan kemenangannya, warga Mesir berharap pemerintah bisa mengembalikan kondisi keamanan dan mengeluarkan negeri itu dari krisis ekonomi.
Foto: Reuters
Hamas dan Fatah Berdamai
Untuk pertamakalinya sejak 2007, Fatah dan Hamas kembali membentuk pemerintahan bersama. Presiden Mahmud Abbas meresmikan kabinet baru itu di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Rami Hamdallah. Langkah tersebut memicu reaksi keras dari Israel. PM Benjamin Netanyahu mengkritik, Fatah lebih suka mencari damai dengan Hamas ketimbang Israel.
Foto: DW/K. Shuttleworth
Di bawah Bayang IS
Juni silam Islamic State berhasil merebut kota Mossul, Irak. Kelompok teror itu juga sukses merekrut pejabat tinggi militer Irak dari jaman Saddam Hussein. Untuk pertamakalinya IS mendeklarasikan terbentuknya kekhalifahan Islam di Suriah dan Irak.
Foto: picture alliance/abaca
Perang 50 Hari
Situasi antara Israel dan Palestina tetap panas sepanjang 2014. Pada 8 Juni, Israel memulai serangan baru untuk menghentikan tembakan roket dari Jalur Gaza. Pertengahan bulan negara Yahudi itu mengirimkan pasukan infanteri. Selama 50 hari, perang di Gaza menelan lebih dari 2100 korban jiwa di pihak Palestina dan 70 warga Israel. Lebih dari 20.000 rumah di Gaza hancur oleh bom.
Foto: picture-alliance/dpa
Pelarian Kaum Yasidi
Ketika kota Sindjar jatuh ke tangan IS Agustus silam, ratusan penduduk tak berdosa dari suku Yasidi tewas dalam eksekusi mati. Sementara puluhan ribu lainnya mengungsi ke gunung. Mereka bertahan hingga pertengahan Agustus, saat pasukan Peshmerga mengirimkan helikopter untuk evakuasi.
Foto: picture-alliance/abaca/Depo Photos
Serangan Udara terhadap IS
Pada bulan yang sama Presiden AS, Barack Obama merestui serangan udara terhadap IS di Irak. Pada bulan September serangan itu diperluas hingga wilayah Suriah. Lima negara Arab ikut serta dalam operasi militer tersebut: Arab Saudi, Qatar, Bahrain dan Yordania.
Foto: Getty Images
Membidik Jurnalis
Mata dunia tertuju pada Irak selambatnya sejak IS mempublikasikan video eksekusi mati terhadap jurnalis barat dan serdadu Irak atau Kurdi. Pada 9 Agustus video pembunuhan pertama beredar di internet. Pada video tersebut terlihat reporter AS, James Foley yang tewas setelah digorok lehernya.
Foto: dapd
Libya di Ambang Kekacauan
Di tengah pertempuran antara milisi-milisi yang bertikai, parlemen baru Libya diresmikan pada Agustus di Tobruk. Ke kota itulah pemerintahan Libya berpindah setelah situasi keamanan yang memburuk di Tripolis dan Benghazi. Sejak itu dua parlemen bersaing berebut kekuasaan. Sementara parlemen lama yang dikuasai oleh kelompok Islam garis keras terus bekerja seperti normal di Tripolis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Gerilayawan buat Kobani
Bulan September menandai awal pertempuran di kota Kobani, di utara Suriah. IS berupaya merebut kota ini sebagai simbol kemenangannya atas Suriah. Bulan Oktober ratusan gerilyawan Peshmerga berdatangan ke Kobani buat memerangi IS. Mereka dipersenjatai oleh negara-negara barat.
Foto: picture-alliance/AP/Vadim Ghirda
Drama Mubarak
Lebih dari tiga tahun sejak lengsernya Hosni Mubarak, sebuah pengadilan di Kairo membatalkan gugatan terhadap bekas presiden itu atas tuduhan pembunuhan terhadap lebih dari 800 demonstran. Sebagian besar warga Mesir turun ke jalan buat memrotes keputusan tersebut. Mubarak sendiri sudah divonis tiga tahun penjara pada bulan Mai.
Foto: AFP/Getty Images/M. El Shahed
15 foto1 | 15
Bagi Jerman terdapat banyak alasan untuk menangguhkan undangan terhadap Al-Sisi ke waktu yang lebih tepat. Misalnya, jika presiden Mesir itu mengajukan agenda reformasi yang meyakinan, atau sudah menetapkan jadwal konkrit pemilu. Tidak peduli kritik apa yang dilontarkan Merkel di balik pintu tertutup, kunjungan Al Sisi pada saat ini ke Jerman, akan dianggap sukses propaganda penguasa Mesir tersebut.
Terlepas dari pujian yang dilontarkan ketua fraksi CDU di Bundestag, ada seorang tokoh yang tetap teguh memegang prinsip demokrasi. Norbert Lammert, ketua parlemen Jerman yang berasal dari partai CDU, tetap menolak pertemuan dengan Presiden Al-Sisi, dengan menunjuk pada pelanggaran hak asasi yang terus berlangsung di Mesir.