Prostitusikan Anak di Internet, Ibu di Jerman Dipenjara
7 Agustus 2018
Seorang perempuan di Jerman dan pacarnya dipenjara karena telah memprostitusikan anak lelakinya sendiri yang berusia sembilan tahun kepada para pedofil yang mereka temukan di internet.
Iklan
Pihak investigator mengatakan ini adalah kasus pelecehan anak paling mengerikan yang pernah mereka lihat.
Ibu itu menjajakan putranya yang berusia sembilan tahun di darknet untuk melakukan seks dengan imbalan uang.
Para tersangka utama beroperasi di luar kota Staufen, dekat kota Freiburg. Pasangan yang disebut sebagai Berrin T. dan Christian L. ini mengaku tidak hanya menjual korban kepada banyak pria tetapi mereka sendiri juga melakukan pelecehan terhadap korban.
Perempuan berusia 48 tahun ini divonis 12,5 tahun penjara akibat kejahatannya itu.
Berrin T dan pacarnya dikenakan hampir 60 pasal termasuk pelacuran paksa, intimidasi lisan, pelecehan, penghinaan ekstrem, perbudakan dan pemerkosaan.
Mencengangkan publik
Penyidik mengatakan pasangan itu mengizinkan sejumlah pria asing dan lokal yang mereka temukan di darknet untuk memperkosa dan melecehkan anak berusia sembilan tahun ini selama periode dua tahun dengan imbalan ribuan euro.
Rekaman video dari tindak kejahatan itu juga diperdagangkan secara daring, beberapa diantaranya menunjukkan bocah laki-laki bertopeng dan diikat.
Polisi berhasil mengungkap kasus lingkaran pedofilia ini pada September 2017 setelah menerima informasi dari pihak yang tidak ingin disebutkan.
Selain Berrin T dan pacarnya, polisi juga menangkap tiga pria berkebangsaan Jerman, satu orang Swiss dan satu pria Spanyol dan dihukum penjara dengan kisaran delapan hingga sepuluh tahun.
Jaksa sebelumnya menuntut hukuman 14,5 tahun penjara bagi sang ibu dan 13,5 tahun bagi pacarnya.
Dalam pengakuannya, Christian L mengatakan dia adalah otak kejahatan tersebut. Sang ibu, Berrin T, hanya bersaksi secara tertutup di pengadilan. Namun para pengamat yang dikutip dari kantor berita dpa mengatakan dia tidak menjelaskan mengapa ia begitu saja membolehkan putranya dilecehkan.
Psikiatri Hartmut Pleines mengatakan kepada pengadilan kalau sang ibu memiliki kapasitas yang terbelakang terkait dengan empati. Ia juga menambahkan bahwa tidak mungkin kalau sang ibu dipaksa oleh pasangannya untuk melakukan kejahatan tersebut.
Ada banyak kelalaian
Hakim ketua Stefan Bürgelin mengatakan alasan sang ibu untuk turut berpartisipasi dalam pelecehan anaknya sendiri ini adalah untuk memastikan kalau pacar barunya tidak meninggalkannya. Kemudian motif ekonomi mengambil alih dan pasangan itu meraup ribuan euro hasil dari menjajakan sang bocah kepada para pedofil.
Bacha Bazi: Tradisi Pedofilia Penguasa Afghanistan
Selama bertahun-tahun Afghanistan merahasiakan sisi tergelapnya, yakni tradisi memelihara bocah di bawah umur untuk kepuasan seksual. Banyak bocah yang mati dibunuh setelah mencoba melarikan diri.
Foto: Getty Images/AFP/W. Kohsar
Aib Terselubung Afghanistan
Pada 2017 silam Departemen Pertahanan AS sukses mencegah publikasi laporan independen tentang situasi sosial politik di Afghanistan. Di dalamnya termuat sebuah rahasia gelap yang mengakar lama di negeri yang kerap disebut sebagai kuburan kerajaan itu, yakni tradisi pedofilia kaum penguasa dan bertahta.
Foto: Imago
Musuh dalam Selimut
Laporan tersebut menyimpan bom waktu. Koalisi barat membutuhkan bantuan para warlords dan pemuka suku. Namun kebiasaan mereka memelihara bocah Bacha Bazi alias bocah penari untuk dijadikan budak seks menempatkan militer AS dalam posisi pelik. Pentagon tidak berdaya menggusur praktik yang telah mendarah daging tersebut tanpa memicu amarah para penguasa lokal.
Foto: Getty Images/AFP/W. Kohsar
Kebiadaban Sebagai Status Sosial
Keberadaan Bacha Bazi erat berkaitan dengan status sosial di Afghanistan. Mereka tidak dipandang terlarang atau homoseksual dalam masyarakat yang cendrung misoginik, melainkan sebagai budak seks yang halal. Para bocah itu pandai menari dan tidak jarang mengalami penindasan atau kekerasan dari para patronnya. Dalam beberapa kasus, bocah Bacha Bazi dibunuh dan disiksa ketika mencoba melarikan diri.
Foto: AFP/Getty Images
Dosa Kolektif Afghanistan
Tahun 2013 silam Komisi Independen Hak Azasi Manusia membuat laporan mendalam tentang budaya tercela itu. Menurut AIHRC sebanyak 56% pelaku pedofilia yang melibatkan Bacha Bazi berusia antara 31 hingga 50 tahun. Meski diklaim sebagai tradisi penguasa, 64% pelaku Bacha Bazi merupakan warga biasa.
Foto: Getty Images/AFP/W. Kohsar
Petaka Dipaksakan
Ironisnya pelaku diuntungkan oleh situasi muram pendidikan dini di Afghanistan. Sekitar 87% bocah Bacha Bazi mengaku tidak bersekolah dan 58% tidak bisa membaca. Hampir semua bocah mengklaim dipaksa melakukan hubungan seksual. Sekitar 90% korban berusia antara 13 hingga 18 tahun.
Foto: Getty Images/AFP/A. Karimi
Simalakama Moral Serdadu AS
Seorang perwira militer AS dikabarkan dipecat lantaran memukul seorang komandan militer Afghanistan ketika ia menemukan seorang bocah diborgol di atas ranjang pribadi sang komandan. Kisah serupa menimpa sejumlah perwira lain yang ditugaskan mengawal militer Afghanistan pasca penarikan mundur pasukan AS di Afghanistan.
Foto: Getty Images/AFP/W. Kohsar
Duit Lancarkan Praktik Sesat
Sejak 2017 pemerintah Afghanistan mulai aktif memburu para pelaku pedofilia, antara lain dengan mengharamkan Bacha Bazi. Namun menurut laporan UNICEF, proses penyidikan sering berakhir kosong tanpa dakwaan. Berbagai pihak mencurigai maraknya praktik nepotisme dan korupsi mempersulit upaya mengakhiri praktik sesat tersebut.
Foto: Getty Images/AFP/A. Karimi
Masa Depan Suram
Sebagian besar korban Bacha Bazi ditolak oleh keluarga lantaran dianggap membawa aib. Banyak yang melarikan diri sebagai pengungsi, sementara yang lain berusaha mencari nafkah lewat satu-satunya kemampuan yang mereka pelajari sebagai Bacha Bazi, yakni menari. (rzn/yf - vice, hindustan, thejournal, unicef, aihrc, nypost)
Foto: Getty Images/J.Hilton
8 foto1 | 8
Kasus pelecehan seksual di Staufen dan detil yang terungkap di pengadilan ini telah mengagetkan para penyidik dan publik Jerman. Banyak juga pertanyaan mengenai pihak berwenang yang dianggap gagal melindungi bocah itu.
Dari penyelidikan terungkap adanya kesalahan sistem pengadilan yang akhirnya memungkinkan si bocah hidup bersama dengan Christian L, yang merupakan mantan terpidana kasus pedofilia.
Sebelumnya pada Maret 2017, kantor kesejahteraan pemuda setempat telah mengambil alih hak pengasuhan atas bocah itu, ketika diketahui Christian L yang notabene telah dikenai larangan kontak dengan anak, tinggal di rumah yang sama.
Namun ibu sang bocah pergi ke pengadilan dan berhasil membawa pulang kembali anaknya. Pengadilan tampaknya telah lalai mewawancarai anak itu dan kenyataan bahwa Christian L terus hidup bersamanya pun luput dari perhatian petugas.
Selain itu, ketika pihak sekolah melaporkan adanya kemungkinan pelecehan terhadap sang bocah, pihak berwenang menganggap laporan itu terlalu lemah dan tidak menindaklanjutinya. Anak yang kini berusia 10 ini sekarang tahun tinggal bersama keluarga angkatnya. Pengacaranya mengatakan kalau dia "baik-baik saja mengingat apa yang telah terjadi."
Kekerasan terhadap Anak
Jumlah kekerasan terhadap anak-anak di Indonesia mengkhawatirkan. Sebagian terjadi di sekolah-sekolah. Memang sudah ada upaya penanganan tindak kriminal tersebut, tetapi kendala pelaksanaannya banyak.
Foto: picture alliance/abaca
Tujuh dari 10 Anak Alami Kekerasan
Menurut organisasi Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW), tujuh dari 10 anak di Asia alami kekerasan di sekolah. Situasi anak Indonesia sangat mengkhawatirkan, sekitar 84% alami kekerasan. Kekerasan Yang terjadi berupa kekerasan fisik, seksual, emosional dan ancaman kekerasan oleh guru, pegawai sekolah, antar murid dan dari anggota keluarga.
Foto: Reuters/B. Yip
Belajar tanpa Ancaman
Menurut pakar komunikasi Irsyad Hadi dari Plan International, laporan tersebut didasari riset yang melibatkan 1.742 murid, perempuan dan laki-laki, usia antara 12 dan 15 dari 30 SMP negeri di Jakarta, Serang dan Banten, dari Januari sampai Maret 2014. Mark Pierce dari Plan International seksi Asia mengatakan, tiap anak punya hak atas pendidikan yang bebas kekerasan dan ancaman.
Foto: picture alliance/Robert Harding World Imagery
Tidak Anggap Kekerasan Salah
Salah satu fakta menyedihkan yang juga disampaikan oleh Pierce dari Plan International: anak-anak kerap tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami. Salah satu alasannya adalah karena merasa takut. Tapi sering juga karena mereka tidak menganggap kekerasan yang mereka alami sebagai sesuatu yang salah.
Foto: picture alliance/AP Photo/A. Nath
Laporan Tidak Sesuai Kenyataan
Sebagai contoh dari yang disampaikan Pierce: 339 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di Provinsi Gorontalo dalam rentang waktu 2013 hingga 2015. Wakil Gubernur Gorontalo Idris Rahim mengatakan, angka tersebut belum mencerminkan kenyataan di lapangan, karena banyak kasus tak dilaporkan. Masyarakat belum sepenuhnya pahami dampak kekerasan terhadap anak, kata Idris Rahim.
Foto: Fotolia/Gina Sanders
Takut Tekanan
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, mengungkapkan aspek lain: kendati banyak kasus dilaporkan, tidak semua kasus diusut hingga di bawa ke persidangan. Ia menduga, ada tekanan yang dialami korban maupun saksi. "Apalagi, tindak pidana yang melibatkan anak, biasanya dilakukan oleh kelompok atau disebut sebagai kejahatan terorganisir," sambung Haris.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Burgi
5 foto1 | 5
Darknet mengacu kepada bagian tersembunyi dari internet yang hanya bisa diakses oleh perangkat lunak khusus dan tidak bisa ditemukan di mesin pencari utama seperti Yahoo dan Google. Tempat ini sering diasosiasikan dengan transaksi bisnis remang-remang, namun sering juga digunakan untuk keperluan lain. Dokumen yang sangat sensitif disalurkan ke WikiLeaks melalui darknet, dan whistleblower NSA Edward Snowden dikatakan telah menggunakannya untuk menghubungi wartawan.