1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikBangladesh

Protes Bangladesh: Pengadilan Pangkas Kuota, Lalu Apa?

Arafatul Islam | Harun Ur Rashid Swapan
23 Juli 2024

Setelah aksi protes yang mematikan, pengadilan tinggi Bangladesh menyarankan untuk mengurangi sistem kuota bagi pegawai negerinya. Tapi, para pengunjuk rasa mengatakan tuntutan mereka belum sepenuhnya terpenuhi.

Jerman menyarankan agar tidak bepergian ke Bangladesh
Skema kuota pegawai negeri yang kontroversial di Bangladesh, picu kerusuhan yang mematikanFoto: Anik Rahman/AP Photo/picture alliance

Kelompok mahasiswa yang memimpin protes menentang kuota pegawai negeri di Bangladesh mengatakan pada Senin (22/07) bahwa pihaknya akan menghentikan aksi protes selama 48 jam, Mahasiswa juga menyerukan kepada pemerintah untuk memulihkan konektivitas internet dan mencabut pembatasan jam malam.

"Tapi kami mengeluarkan ultimatum selama 48 jam untuk memulihkan (akses) digital dan konektivitas internet,” papar Hasnat Abdullah, koordinator Gerakan Mahasiswa Anti-Diskriminasi.

Abdullah juga menyerukan penarikan petugas keamanan yang dikerahkan di universitas-universitas untuk membuka kembali asrama mahasiswa.

Menteri Dalam Negeri Asaduzzaman Khan mengatakan bahwa "keadaan normal akan kembali dalam satu atau dua hari.”

Protes mahasiswa di Bangladesh menentang sistem kuota bagi pegawai negeriFoto: Subrata Goswami/DW

Pengadilan tinggi Bangladesh batalkan putusan

Pengadilan tinggi Bangladesh pada Minggu (21/07), membatalkan sebagian besar keputusan untuk memberlakukan kembali sistem kuota bagi pegawai negeri di pemerintahan, menyusul bentrokan mematikan sepekan terakhir antara demonstran mahasiswa, polisi dan kelompok pro-pemerintah.

Setidaknya, lebih dari 150 orang dilaporkan tewas dan ribuan lainnya luka-luka akibat kerusuhan terburuk yang pernah terjadi di negara itu dalam beberapa dekade terakhir.

Aksi protes meluap setelah pemerintah akan memberlakukan kembali sistem kuota pegawai negerinya yang bergaji tinggi, dengan mencadangkan lebih dari setengah kuota bagi kelompok-kelompok tertentu.

Kuota itu termasuk 30% yang diperuntukkan bagi keturunan "pejuang kemerdekaan” Bangladesh dari Pakistan pada 1971. Hal itu dipandang sebagai bentuk dukungan bagi Perdana Menteri (PM) Sheikh Hasina yang telah lama menjabat dan Liga Awami yang berkuasa.

Dalam rekomendasinya, Mahkamah Agung (MA) juga menyarankan 93% dari semua penunjukan harus didasarkan pada prestasi, di mana lima persennya diberikan kepada keturunan pejuang kemerdekaan, dan dua persennya lagi diperuntukkan bagi orang-orang dari etnis minoritas atau penyandang disabilitas.

Namun, pengadilan juga mengatakan bahwa pemerintah masih diizinkan untuk mengubah rasio kuota yang direkomendasikan.

Hingga Senin (21/07), militer di Dhaka terus memberlakukan jam malamFoto: Mohammad Ponir Hossain/REUTERS

Para pengunjuk rasa mengatakan tuntutan mereka belum sepenuhnya terpenuhi

Konektivitas internet dan pesan melalui teks sebagian besar masih terputus di Bangladesh sejak ekskalasi protes pada Kamis (18/07) pekan lalu. Selain internet, ada pula pemberlakuan jam malam dan pengerahan militer guna membantu pemerintahan sipil menjaga ketertiban.

Terlepas dari keputusan MA itu, beberapa pengunjuk rasa mahasiswa masih bertekad melanjutkan aksi protes.

Sarjis Alam, salah satu koordinator protes reformasi kuota, mengatakan kepada DW bahwa keputusan pengadilan tidak sepenuhnya memenuhi tuntutan mereka, karena pada dasarnya itu sama halnya dengan menyerahkan kepada pemerintah untuk memutuskan penerapan sistem kuota itu.

"Pengadilan mengatakan bahwa masalah kuota adalah keputusan kebijakan pemerintah dan pihak berwenang masih bisa mengubah rasio kuota jika mereka menginginkannya,” kata Alam.

Alam juga menambahkan bahwa pengadilan telah meminta pemerintah untuk segera mengeluarkan informasi tentang rencana reformasi sistem kuota mereka.

"Kami ingin melihat seberapa cepat pemerintah, dan apakah mereka mereformasi kuota bagi semua pekerjaan pemerintah atau tidak. Kami akan bereaksi berdasarkan persentase kuota yang diumumkan pemerintah,” tambahnya.

Para pengunjuk rasa mengatakan bahwa mereka dipukuli oleh aparat polisiFoto: AFP

Ada dugaan tindakan kekerasan oleh polisi terhadap demonstran

Sementara itu, para pengunjuk rasa juga menuntut keadilan bagi mereka yang tewas dalam bentrokan maut yang terjadi pekan lalu. Alam menuduh sayap politik dari partai yang berkuasa terlibat dalam kematian para demonstran itu, di mana tuduhan itu telah dibantah oleh pemerintah. Para pengunjuk rasa juga mengatakan bahwa mereka dipukuli oleh aparat polisi.

Kelompok HAM Amnesty International mengatakan pihaknya memiliki bukti video dari bentrokan pekan lalu, yang menunjukkan pasukan keamanan Bangladesh telah melakukan tindakan yang melanggar hukum.

Michael Kugelman, seorang pakar Asia Selatan di Woodrow Wilson Center for Scholars yang berbasis di Washington, mengatakan bahwa pemerintah Hasina telah salah perhitungan dengan mengasumsikan bahwa para pengunjuk rasa dapat diredakan hanya dengan menangani penyebab utama dari tuntutan demonstrasi mereka.

"Pada kenyataannya, keputusan pengadilan ini bukanlah jalan keluar seperti yang dipikirkan oleh Dhaka. Pemerintah tampaknya tuli dan tidak sepenuhnya menghargai kemarahan para pengunjuk rasa, yang telah berubah menjadi lebih dari sekadar sistem kuota,” katanya.

"Jika pemerintah mempertahankan tindakan kerasnya dan terus menangkap para pemimpin protes, hal itu hanya akan menyulitkan protes ini. Tapi, tindakan seperti itu juga akan semakin mengintensifkan kemarahan dan keluhan publik, menciptakan potensi ledakan lain bagi pemerintah,” tambah Kugelmann.

Pemerintah 'tidak menyangka' akan ada pemberontakan terhadap aturan kuota ini

Ali Riaz, seorang profesor ilmu politik di Universitas Negeri Illinois, berpendapat bahwa rekomendasi pengadilan itu "datang terlambat” dan justru seperti menyerahkan bola pada pemerintah.

"Sampai sebuah undang-undang disahkan oleh parlemen, itu akan tetap menjadi hak prerogatif dewan eksekutif untuk mengubahnya,” kata Riaz. Dia menambahkan bahwa pemerintah juga tidak mengharapkan adanya reaksi keras terhadap reformasi kuota tersebut. 

"Kekerasan meluas dan banyak nyawa hiang karena pemerintah tidak mengharapkan reaksi seperti itu. Partai yang berkuasa cukup berpuas diri setelah pemilihan Januari lalu, dan berpikir bahwa mereka tidak terkalahkan,” katanya.

"Sayangnya, para korban dari protes sistem kuota ini tidak akan mendapatkan keadilan, jelas tidak di bawah pemerintahan saat ini,” tegas Riaz, seraya menambahkan bahwa pemerintahan Hasina memiliki rekam jejak penggunaan ‘kekerasan' demi meredam oposisi.

Partai-partai oposisi 'mengambil keuntungan'

Pemerintah Bangladesh juga menyalahkan partai-partai oposisi karena dianggap menghasut tindak kekerasan dan menangkap beberapa pemimpin aksi protes mahasiswa itu dalam beberapa hari terakhir.

"Partai-partai politik oposisi mencoba menggulingkan pemerintah dengan memanfaatkan situasi. Namun, upaya mereka gagal,” kata M. A. Mannan, anggota parlemen dari Partai Liga Awami yang berkuasa kepada DW.

Mannan mengakui bahwa pemerintah seharusnya dapat menyelesaikan masalah protes kuota ini dengan lebih baik, dan jauh lebih awal. Tetapi, dia juga mengatakan bahwa saat ini "situasinya sudah terkendali.”

Namun, Pakar Asia Selatan Kugelman mengatakan PM Hasina telah dirusak secara politis oleh keresahan pada kebijakan kuota ini.

"Aura tak terkalahkannya, gagasan bahwa dia dapat mempertahankan kontrol dan menjaga perbedaan pendapat itu, telah hancur. Legitimasinya, yang sudah rapuh setelah kembali berkuasa dalam pemilu yang diboikot oleh oposisi, juga telah melemah,” katanya.

kp/rs (AFP, AP, Reuters)

Harun Ur Rashid Swapan Multimedia journalist focusing on Bangladeshi politics, economy and society.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait