Protes dengan Haka, 3 Anggota Parlemen Selandia Baru Diskors
5 Juni 2025
Parlemen Selandia Baru memberikan skors panjang pada tiga anggota parlemen yang mewakili Suku Maori, setelah ketiganya memprotes Rancangan Undang-Undang Hak-Hak Masyarakat Adat yang dinilai kontroversial. Protes disampaikan dengan tarian tradisional Haka saat pembahasan berlangsung.
Debbie Ngarewa-Packer dan Rawiri Waititi, kedua pemimpin Partai Te Pati Maori, diskors selama 21 hari sedangkan Hanna Rawhiti Maipi-Clarke, yang berasal dari partai yang sama, diskors selama tujuh hari.
Skors tersebut tercatat menjadi ‘rekor baru' yang pernah dijatuhkan parlemen Selandia Baru kepada anggotanya. Sebelumnya skors pernah diberikan kepada anggota perlemen selama tiga hari.
Saat diskors, para anggota parlemen tidak mendapat gaji dan tidak dapat memberikan persetujuan atau penolakan terhadap undang-undang baru.
RUU yang dibacakan November 2024 tersebut tidak mendapat persetujuan publik karena dianggap akan mengubah perjanjian Waitangi yang telah disepakati dan diberlakukan selama 185 tahun antara Kerajaan Inggris dan pemimpin adat suku Maori.
Mengapa ketiga anggota parlemen diskors?
Di bulan Mei, komite khusus Parlemen Selandia Baru menyarankan ketiga anggota parlemen tersebut diskors karena tindakannya "dapat mengintimidasi anggota parlemen lainnya.”
Pada saat undang-undang dibacakan, Hana Rawhiti Maipi-Clarke, anggota parlemen termuda Selandia Baru yang berusia 22 tahun, merobek rancangan undang-undang dan mulai menarikan Haka bersama dengan dua anggota parlemen lain yang berasal dari partai yang sama.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Tarian Haka secara tradisional digunakan untuk menyambut tamu-tamu dari suku lain atau untuk menyemangati para pejuang sebelum berperang.
Beberapa anggota parlemen khawatir Tarian Haka terus berlanjut berpotensi mengancam para politisi pemerintah yang berkegiatan gedung yang sama.
Judith Collins, ketua komite khusus parlemen yang juga menjabat sebagai jaksa agung, mengatakan kepada Parlemen menjelang pemungutan suara pemberian skors pada hari Kamis (5/6), bahwa aksi protes ketiga anggota parlemen tersebut membuat pembahasan RUU ditangguhkan selama 30 menit.
"Ini bukan tentang Haka ... ini tentang komitmen dan kewajiban kita mengikuti aturan parlemen,” kata Collins.
Sebelum ditetapkannnya keputusan skors oleh parlemen, Maipi-Clarke telah mengatakan kepada seluruh anggota parlemen, bahwa skors adalah upaya menghentikan suku Maori untuk memberikan suaranya di Parlemen.
"Apakah suara kami terlalu keras di parlemen? Apakah itu alasan mengapa kami dibungkam? Apakah suara kami mengguncang fondasi inti parlemen? Parlemen tidak memberikan kami ruang untuk bersuara…Kami tidak akan pernah dibungkam dan suara kami tidak akan pernah hilang,” katanya.
Melalui Perjanjian Waitangi yang ditandatangani tahun 1840, Suku Maori diberikan hak untuk mempertahankan tanah serta harta benda mereka. Imbalannya, suku Maori tunduk dan berada di bawah perlindungan Inggris. Meski telah melewati banyak konflik berdarah selama beberapa dekade antara pemerintah kolonial dan suku Maori, klaim permasalahn penjanjian tersebut selesai di awal tahun 1990.
Akan tetapi, RUU yang kontroversial yang dibahas November lalu ingin memberikan hak-hak yang dimiliki suku Maori juga kepada semua warga Selandia Baru. Hal ini dapat berdampak pada penyitaan sejumlah besar tanah suku Maori.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor : Agus Setiawan