Para petani India yang marah mengaku tertipu oleh pemerintah setelah menunggu bertahun-tahun berjanji akan menerapkan harga minimum pertanian. Upaya mereka untuk berdemonstrasi ke New Delhi pun dihalangi barikade.
Para petani menuduh polisi menembakkan pelet ke arah pengunjuk rasaFoto: Midhat Fatimah/DW
Bagi para pengunjuk rasa, hal ini terasa seperti dejavu. Beberapa tahun yang lalu, mereka melakukan demonstrasi besar-besaran menentang kebijakan penetapan harga yang dilakukan pemerintah, menyerukan jaminan hukum terkait harga dukungan minimum atau minimum support price (MSP), yang akan memberikan jaring pengaman bagi komunitas petani terhadap fluktuasi harga.
Protes tersebut dibatalkan menjelang akhir 2021 setelah otoritas India meyakinkan para petani bahwa tuntutan mereka akan dipenuhi.
Setelah lebih dari dua tahun tidak ada perubahan, kini banyak petani yang merasa ditipu.
Dua badan paying, Samyukta Kisan Morcha dan Kisan Mazdoor Morcha, mewakili lebih dari 200 serikat petani, menyerukan unjuk rasa baru menuju New Delhi awal bulan ini.
Namun para demonstran segera mengetahui bahwa jalan menuju ibu kota India telah diblokir.
Para petani menggunakan tanah sejenis tanah liat, untuk melindungi diri mereka dari sensasi terbakar akibat gas air mataFoto: Midhat Fatimah/DW
Para petani siap menghadapi kebuntuan yang berkepanjangan
Ribuan petani dari segala usia kini terjebak di dalam traktor dan truk mereka di jalan raya di desa Shambhu, yang terletak di perbatasan negara bagian pertanian Punjab dan Haryana di utara.
Iklan
Mereka mengatakan mereka menghadapi ketidakadilan besar-besaran di tangan pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi.
Harpreet Singh, 34, seorang petani dari distrik Tarn Taran di Punjab, mengatakan para petani tidak akan bisa bertahan hidup jika suara mereka tidak didengar.
Singh mengatakan dia siap untuk 'satu atau dua tahun' jauh dari rumahFoto: Midhat Fatimah/DW
"Sangat menyakitkan kami harus duduk di sini jauh dari keluarga kami,” katanya kepada DW dari troli traktornya.
"Kami menghadapi kerugian besar di ladang kami, namun kami harus melanjutkan protes kami untuk menyelamatkan generasi masa depan kami, untuk menyelamatkan petani,” katanya.
Namun bahkan dengan kerugian akibat protes, "pemerintah yang tidak memberikan jaminan hukum terhadap MSP akan lebih merugikan kami.”
Singh menambahkan bahwa dia dan pengunjuk rasa lainnya telah membawa perbekalan selama berbulan-bulan dan siap menghadapi kebuntuan yang berkepanjangan.
Para pengunjuk rasa telah mengemudikan truk dan traktor mereka ke perbatasan negara bagian PunjabFoto: Midhat Fatimah/DW
Penantian bertahun-tahun
Para petani juga menuntut keringanan pinjaman dan penerapan rekomendasi Komisi Swaminathan. Komisi ini dibentuk pada 2006 oleh Kongres Nasional India. Saat itu Kongres didominasi oleh partai-partai saingan Bharatiya Janata Party (BJP) yang mengusung Modi. Kongres Nasional India mengubah kesimpulan mereka menjadi undang-undang yang mengatur petani mendapat MSP sebesar 1,5 kali biaya produksi rata-rata tertimbang.
BJP berjanji untuk menerapkan kebijakan ini setelah berkuasa pada 2014, namun janji tersebut belum dipenuhi.
Selain itu, banyak petani yang kesal dengan taktik pemerintah dalam meredam protes dan menuduh BJP menggunakan kekerasan.
Tanggapan terhadap protes tersebut telah meningkatkan keteganganFoto: Midhat Fatimah/DW
Kepahitan, kemarahan terhadap pemerintah
Seorang pengunjuk rasa mengatakan kepada DW bahwa pemerintah telah "menipu” para petani yang mempercayai janji-janji mereka pada 2021.
"Kami dicap teroris, tapi ini negara kami yang kami katakan demokrasi tapi rasanya tidak seperti itu,” ujarnya dengan mata yang masih merah dan berair karena gas air mata.
Happy Seeding: Sebuah Solusi Pertanian untuk Masalah Polusi India
Para petani India masih terbiasa membakar sisa-sisa pertanian, yang menyebabkan kota-kota sekitar diselimuti kabut asap tebal. Namun petani yang menggunakan “happy seeders”, diharapkan bisa membersihkan udara disana.
Foto: DW/Catherine Davison
Masalah pembakaran
Salah satu pencemaran udara terburuk di Delhi, India, terjadi di November ini. Administrasi kota menyerukan status kesehatan darurat ketika beberapa bagian dari kota ini diselimuti kabut asap tebal beracun. Dari sejumlah penyebab, seperti masalah lalu lintas sampai konstruksi bangunan, banyak yang menganggap pembakaran sisa pertanian di wilayah sekitar sebagai penyebab utamanya.
Foto: picture-alliance/Photoshot/P. Sarkar
Protes anti polusi
Murid-murid sekolah dengan masker anti kabut asap turut berkumpul di sekitar Gerbang India yang terkenal di Delhi, pada Selasa (5/11), untuk memprotes polusi kota terparah yang telah menembus rekor. Seorang menteri membandingkan kotanya dengan sebuah “kamar gas”. Masalah ini terus memburuk kendati bertambahnya protes, deklarasi darurat kesehatan, dan larangan memakai mobil setiap dua hari sekali.
Foto: DW/Catherine Davison
Penyebab dari bidang pertanian
Di negara bagian Haryana, di utara Delhi, 80% dari hampir 5 juta hektar lahan dibudidayakan sejak revolusi pertanian pada tahun 1960an yang mengubah negara bagian ini dan Punjab yang bersebelahan, menjadi daerah pertanian utama India. Disini perempuan menumpuk beras yang dipanen di pertanian dekat kota Karnal, di Delhi utara.
Foto: DW/Catherine Davison
Cara ketinggalan zaman
Pekerja pendatang musiman memisahkan beras basmati dengan tangan dari tanaman padi yang dipanen di lahan dekat Karnal. Tetapi tidak seperti pada proses manual ini, untuk menyingkirkan jerami atau batang yang tersisa di lahan, tidak tersedia cukup waktu bagi para pekerja untuk menyiapkan lahan untuk masa tanam berikut.
Foto: DW/Catherine Davison
Pembumihangusan
Pembakaran jerami di sawah dekat Karnal di Haryana. Terlepas dari perintah pengadilan tertinggi di India untuk segera menghentikan praktek ini, banyak petani merasa tidak punya pilihan selain membakar sisa-sisa pertanian untuk menyiapkan lahannya tepat waktu untuk musim semai. Dengan api yang terbakar di seluruh wilayah ini secara bersamaan di awal November terjadi polusi asap yang sangat buruk.
Foto: DW/Catherine Davison
Happy seeder
Traktor ini digandengkan dengan alat yang disebut 'happy seeder', sebuah alat pertanian yang bisa menyemai gandum di sebuah lahan tanpa harus menyingkirkannya, dan akhirnya membakar, sisa-sisa tanaman padi. Alat ini penting bagi apa yang disebut revolusi “hijau abadi” yang bisa terjadi dan akan meningkatkan hasil panen, kesuburan tanah dan mengakhiri pembakaran sisa-sisa pertanian.
Foto: DW/Catherine Davison
Bagian dari solusi
Aatpal Ram menggunakan sebuah mesin 'happy seeder' yang dipakai untuk menyemai gandum di sebuah lahan dekat Karnal. Mesin ini idealnya digunakan dengan sebuah sistem manajemen jerami, yaitu alat yang menempel di bagian belakang dari sebuah mesin panen untuk memotong dan menyebarkan residu lepas di seluruh lahan dan meninggalkan nitrogen, fosfor dan kalium di tanah yang sering kali hilang terbakar.
Foto: DW/Catherine Davison
Tanaman sehat
Pusat Penelitian Internasional untuk Perbaikan Jagung dan Gandum bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk melatih para petani menggunakan teknologi dan teknik pertanian baru yang akan meningkatkan produktivitas biji-bijian dan mengurangi investasi ekonomi dan tenaga kerja, dan pada akhirnya juga menghilangkan kebutuhan untuk membakar sisa-sisa pertanian.
Foto: DW/Catherine Davison
8 foto1 | 8
Awal pekan ini, polisi menggunakan drone untuk menjatuhkan gas air mata dan menembakkan beberapa peluru gas untuk membubarkan massa. Banyak petani yang terluka, dan beberapa harus dirawat di rumah sakit.
"Apakah pemerintah bermaksud membombardir orang-orang yang tidak bersenjata?” tanya Sawaranjit Singh, seorang petani dari Ludhiana, sementara ledakan tabung gas air mata terus mengguncang lokasi protes.
"Ini adalah pembunuhan demokrasi.” (rs/hp)
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!