1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikIndia

India: Kemarahan Para Petani Berujung Protes Panjang

Midhat Fatimah
26 Februari 2024

Para petani India yang marah mengaku tertipu oleh pemerintah setelah menunggu bertahun-tahun berjanji akan menerapkan harga minimum pertanian. Upaya mereka untuk berdemonstrasi ke New Delhi pun dihalangi barikade.

Protes petani di India
Para petani menuduh polisi menembakkan pelet ke arah pengunjuk rasaFoto: Midhat Fatimah/DW

Pasukan keamanan India menggunakan barikade, kawat berduri, buldoser, meriam air dan bahkan drone yang dilengkapi dengan gas air mata untuk menghentikan konvoi dan unjuk rasa petani menuju New Delhi.

Bagi para pengunjuk rasa, hal ini terasa seperti dejavu. Beberapa tahun yang lalu, mereka melakukan demonstrasi besar-besaran menentang kebijakan penetapan harga yang dilakukan pemerintah, menyerukan jaminan hukum terkait harga dukungan minimum atau minimum support price (MSP), yang akan memberikan jaring pengaman bagi komunitas petani terhadap fluktuasi harga.

Protes tersebut dibatalkan menjelang akhir 2021 setelah otoritas India meyakinkan para petani bahwa tuntutan mereka akan dipenuhi.

Setelah lebih dari dua tahun tidak ada perubahan, kini banyak petani yang merasa ditipu.

Dua badan paying, Samyukta Kisan Morcha dan Kisan Mazdoor Morcha, mewakili lebih dari 200 serikat petani, menyerukan unjuk rasa baru menuju New Delhi awal bulan ini.

Namun para demonstran segera mengetahui bahwa jalan menuju ibu kota India telah diblokir.

Para petani menggunakan tanah sejenis tanah liat, untuk melindungi diri mereka dari sensasi terbakar akibat gas air mataFoto: Midhat Fatimah/DW

Para petani siap menghadapi kebuntuan yang berkepanjangan

Ribuan petani dari segala usia kini terjebak di dalam traktor dan truk mereka di jalan raya di desa Shambhu, yang terletak di perbatasan negara bagian pertanian Punjab dan Haryana di utara.

Mereka mengatakan mereka menghadapi ketidakadilan besar-besaran di tangan pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi.

Harpreet Singh, 34, seorang petani dari distrik Tarn Taran di Punjab, mengatakan para petani tidak akan bisa bertahan hidup jika suara mereka tidak didengar.

Singh mengatakan dia siap untuk 'satu atau dua tahun' jauh dari rumahFoto: Midhat Fatimah/DW

"Sangat menyakitkan kami harus duduk di sini jauh dari keluarga kami,” katanya kepada DW dari troli traktornya.

"Kami menghadapi kerugian besar di ladang kami, namun kami harus melanjutkan protes kami untuk menyelamatkan generasi masa depan kami, untuk menyelamatkan petani,” katanya.

Namun bahkan dengan kerugian akibat protes, "pemerintah yang tidak memberikan jaminan hukum terhadap MSP akan lebih merugikan kami.”

Singh menambahkan bahwa dia dan pengunjuk rasa lainnya telah membawa perbekalan selama berbulan-bulan dan siap menghadapi kebuntuan yang berkepanjangan.

Para pengunjuk rasa telah mengemudikan truk dan traktor mereka ke perbatasan negara bagian PunjabFoto: Midhat Fatimah/DW

Penantian bertahun-tahun

Para petani juga menuntut keringanan pinjaman dan penerapan rekomendasi Komisi Swaminathan. Komisi ini dibentuk pada 2006 oleh Kongres Nasional India. Saat itu Kongres didominasi oleh partai-partai saingan Bharatiya Janata Party (BJP) yang mengusung Modi. Kongres Nasional India mengubah kesimpulan mereka menjadi undang-undang yang mengatur petani mendapat MSP sebesar 1,5 kali biaya produksi rata-rata tertimbang.

BJP berjanji untuk menerapkan kebijakan ini setelah berkuasa pada 2014, namun janji tersebut belum dipenuhi.

Selain itu, banyak petani yang kesal dengan taktik pemerintah dalam meredam protes dan menuduh BJP menggunakan kekerasan.

Tanggapan terhadap protes tersebut telah meningkatkan keteganganFoto: Midhat Fatimah/DW

Kepahitan, kemarahan terhadap pemerintah

Seorang pengunjuk rasa mengatakan kepada DW bahwa pemerintah telah "menipu” para petani yang mempercayai janji-janji mereka pada 2021.

"Kami dicap teroris, tapi ini negara kami yang kami katakan demokrasi tapi rasanya tidak seperti itu,” ujarnya dengan mata yang masih merah dan berair karena gas air mata.

Awal pekan ini, polisi menggunakan drone untuk menjatuhkan gas air mata dan menembakkan beberapa peluru gas untuk membubarkan massa. Banyak petani yang terluka, dan beberapa harus dirawat di rumah sakit.

"Apakah pemerintah bermaksud membombardir orang-orang yang tidak bersenjata?” tanya Sawaranjit Singh, seorang petani dari Ludhiana, sementara ledakan tabung gas air mata terus mengguncang lokasi protes.

"Ini adalah pembunuhan demokrasi.” (rs/hp)

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!