1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Konflik

Demonstran Bakar Konsulat Iran di Najaf, Irak

28 November 2019

Demonstran di kota Najaf, Irak merangsek masuk ke dalam konsulat Iran, lalu membakar seluruh gedungnya. Polisi dilaporkan telah menembakkan peluru ke arah kerumunan namun gagal mencegah demonstran masuk ke konsulat.

Irak Proteste - Iranische Botschaft in Brand gesetz
Foto: AFP/H. Hamdani

Otoritas di Najaf, Iran Selatan, menetapkan jam malam setelah sekelompok demonstran merangsek masuk dan membakar konsulat Iran pada Rabu (27/11) malam. Para demonstran itu meneriakkan “kemenangan bagi Irak” dan “usir Iran”.

Menurut sumber dari kepolisian dan pertahanan sipil, para staf konsulat telah dievakuasi sebelum para demonstran berhasil masuk. Namun, kantor berita AP mengutip seorang pejabat kepolisian yang mengatakan bahwa satu orang terbunuh dan 35 lainnya luka-luka ketika polisi menembakkan peluru ke arah kerumunan.

Para demonstran berhasil masuk ke dalam konsulat dan mengganti bendera Iran dengan bendera Irak.

Protes yang tak kunjung usai

Irak telah menghadapi protes anti pemerintah yang mematikan selama hampir dua bulan, dengan lebih dari 300 orang kehilangan nyawa.

Para demonstran frustrasi karena sejumlah masalah, termasuk korupsi yang semakin meluas dan kurangnya lapangan pekerjaan. Mereka juga menuduh pemerintah berada di bawah pengaruh kekuatan asing, secara khusus Iran. Partai yang didukung oleh Iran adalah kekuatan politik paling dominan di parlemen Irak.

Pada awal bulan ini, konsulat Iran di kota suci Syiah Karbala menjadi sasaran para demonstran. Pasukan keamanan yang menjaga lokasi itu, menembak mati empat demonstran pada saat itu.

Di Baghdad, para demonstran menduduki tiga jembatan pusat, Jumhuriya, Ahrar, dan Sinar. Jalan-jalan utama juga telah diblokir di berbagai bagian negara itu. Mereka juga menutup pintu masuk ke ladang minyak di Nasiriyah, yang merupakan kontributor ekspor Irak sebesar 3,6 juta barel per hari. Minyak yang diekspor melalui terminal lepas pantai di Basra itu diketahui mendanai lebih dari 90% anggaran pemerintah.

“Sudah 16 tahun kita hidup dalam kekacauan dan korupsi,” kata seorang pengunjuk rasa kepada kantor berita AFP, Rabu (27/11). “Basra seharusnya menjadi kota yang kaya, namun malah sebaliknya seperti tempat sampah”, ujarnya.

Sementara itu, kelompok militan ISIS mengklaim berada di balik tiga ledakan mematikan di Baghdad yang terjadi pada Selasa (26/11). Setidaknya enam orang tewas dalam serangan itu.

Irak menyatakan kemenangan atas ISIS pada tahun 2017, tetapi mereka masih tetap aktif di beberapa bagian negara itu.

Baca juga : Mampukah AS dan Eropa Sediakan Akses Internet untuk Iran?

Korupsi yang merajalela

Melansir kantor berita resmi INA, bulan lalu sebuah badan anti korupsi pemerintah yaitu Dewan Tinggi untuk Memerangi Korupsi, memerintahkan pemecatan terhadap 1.000 karyawan di lembaga-lembaga negara yang telah dinyatakan bersalah menghamburkan atau menggelapkan uang publik.

Perdana Menteri Irak Adel Abdul-Mahdi juga berjanji akan mencoba mengesahkan undang-undang yang menjamin penghasilan pokok bagi keluarga miskin, sembari mengakui bahwa tidak ada ‘solusi ajaib’ atas korupsi dan buruknya pemerintahan yang merajalela di negara itu.

Menurut Bank Dunia, negara ini memiliki tingkat pengangguran kaum muda sekitar 25 persen. Irak menduduki peringkat ke-12 sebagai negara paling korup di dunia oleh Transparency International.

Pemerintahan Abdul-Mahdi, yang telah berkuasa selama satu tahun, telah gagal membawa stabilitas dan ketertiban di negara itu. Sebuah negara yang telah dirusak oleh perang, dan selalu bergulat dengan masalah yang timbul akibat kampanye teroris oleh kelompok ekstremis ISIS.

“Pemerintah telah kehilangan legitimasinya. Kami tidak menginginkan mereka,” kata seorang demonstran di Basra.

gtp/rap (AP, AFP, Reuters)