Provokasi Korea Utara Sasar AS
11 November 2009Ketegangan terbaru diantara kedua negara Korea yang diwarnai aksi provokasi dan baku tembak di laut, menjadi tema sorotan dalam tajuk harian internasional. Juga konflik di Afghanistan masih mewarnai komentar sejumlah harian Eropa.
Harian Belanda De Volkskrant yang terbit di Amsterdam dalam tajuknya berkomentar : Perilaku rezim di Korea Utara yang tidak pernah berhenti menakuti dan terus mengancam dengan kekuatan atomnya, merupakan pukulan telak bagi Barack Obama. Ia menetapkan dialog dengan negara-negara jahat, sebagai prioritas politik luar negerinya. Akan tetapi Pyongyang sudah melancarkan rangkaian provokasi, sebelum politik baru AS itu dapat dipraktekkan. Antara lain dengan mengujicoba roket jarak jauh antar benua Taepodong-2, yang secara teoritis dapat menjangkau Alaska dan melakukan ujicoba atom yang kedua kalinya dalam kurun waktu tiga tahun. Washington kini menghadapi masalah berat, bagaimana caranya menggerakkan sebuah rezim yang sulit diperhitungkan, yang terus meminta bantuan ekonomi, untuk kembali ke meja perundingan.
Harian konservatif Austria Die Presse yang terbit di Wina berkomentar : Ketika di Eropa di hari-hari belakangan ini diperingati penyatuan kembali benua tsb, di kawasan perbatasan Panmunyom setiap hari terjadi pertunjukan mengerikan. Para serdadu perbatasan Korea Selatan yang berpakaian perang lengkap berhadapan dengan serdadu Korea Utara yang memandang dengan sinis, dan memainkan adegan perang dingin. Kawasan perbatasan adalah jalur maut, dengan pos-pos pengawas yang dilengkapi senapan mesin, ladang ranjau dan barikade kawat berduri. Apakah masih terdapat harapan penyatuan kembali kedua Korea? Mungkin tidak ada lagi. Semua negara tetangga dan AS memiliki kepentingan untuk terus menetapkan status quo. Dan bagi Korea Selatan, ongkos penyatuan kembali akan lebih mahal, dibanding penyatuan kembali dua Jerman. Tapi pada tahun 1989 lalu, dunia juga belajar, bahwa jalannya sejarah juga tidak dapat diramalkan.
Tema lainnya yang juga masih menjadi tema sorotan dalam tajuk harian Eropa adalah situasi di kawasan konflik Afghanistan. Harian konsevatif Italia Corriere della Sera yang terbit di Milan dalam tajuknya berkomentar : Delapan tahun lamanya pasukan AS menduduki Afghanistan. Invasi militer yang mendapat legitimasi mandat PBB dan didukung koalisi internasional, memang dapat menumbangkan rezim Taliban yang didukung Osama bin Laden. Akan tetapi perang gerilya yang berlangsung hingga kini, tidak akan dapat dimenangkan. Untuk dapat sukses di Afghanistan, Obama tidak boleh hanya melaksanakan taktik penguasaan kawasan secara militer. Situasi politik Afghanistan yang terpecah belah diantara berbagai suku yang bermusuhan, tidak dapat dituntaskan dengan gaya dan institusi barat yang hendak diterapkan di negara itu.
Dan terakhir harian Inggris The Guardian yang terbit di London berkomentar : Meningkatnya sikap anti perang Afghanistan di Inggris, bukan hanya diakibatkan semakin seringnya upacara dukacita bagi serdadu yang tewas. Melainkan juga merupakan akibat dari ketidak mampuan PM Gordon Brown mengatakan dengan tegas, mengapa Inggris harus berperang dengan gaya dan cara seperti itu di Afghanistan. Ini merupakan tantangan yang harus dijawab. Apa yang dikatakan Brown secara pribadi, kepada para ibu yang anaknya tewas di Afghanistan, bukan merupakan urusan seluruh warga Inggris.
AS/AR/dpa/afpd