Partai Solidaritas Indonesia meradang lantaran diperkarakan Bawaslu ihwal iklan kampanye. Badan pengawas pemilu itu dinilai bertindak tebang pilih dan dituding menutup mata terhadap pelanggaran partai lain.
Iklan
Pemilu Kepresidenan 2019 berawal dini dalam bentuk drama hukum antara Partai Solidaritas Indonesia dan Badan Pengawas Pemilu. Beberapa pekan silam Bawaslu memperkarakan iklan PSI berjudul Alternatif Cawapres dan Kabinet Kerja Jokowi 2019-2024 yang terbit pada 23 April 2018 di koran Jawa Pos.
Lembaga negara itu mengklaim PSI telah mencuri start kampanye dan membawa kasus dugaan pelanggaran UU Pemilu hingga ke kepolisian.
Kepada DW Sekretaris Jendral PSI, Raja Julia Antoni, berkilah iklan tersebut tidak mengkampanyekan visi, misi atau citra diri PSI, melainkan pendidikan politik. Menurutnya iklan tersebut membuka ruang bagi diskursus publik tentang tokoh lintas partai dan golongan yang patut dipilih oleh masyarakat.
PSI pun meradang. Terutama karena Bawaslu dianggap mendiamkan partai lain yang juga telah memuat iklan kampanye. Partai anak muda itu berniat melaporkan Bawaslu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atas dugaan pelanggaran kode etik.
Namun Bawaslu tetap bergeming. Logo PSI dan nomer urut yang tertera di bagian atas iklan sebesar satu halaman tersebut dianggap telah memenuhi unsur 'citra diri' seperti yang tertera pada Pasal 1 Angka 35 UU Pemilu. DW berkesempatan berbicara dengan Raja Juli Antoni seusai memenuhi panggilan kantor Badan Reserse Kriminal Polri di Jakarta. Berikut kutipannya.
DW: Kenapa PSI merasa dizalimi oleh Bawaslu?
Raja Juli Antoni: Karena kita melihat partai lain melakukan hal yang sama. Kalaupun kita menggunakan definisi 'citra diri' yang dipakai Bawaslu, partai-partai lain kan juga melakukan hal serupa, lewat iklan di televisi, media cetak atau spanduk dan baliho. Kalau kita berkeliling Jakarta atau kota-kota lain dan juga di bandara, di mana-mana pasti ada iklan kampanye.
Akrobat Panglima Menuju Istana
Berulangkali manuver Panglima TNI Gatot Nurmantyo menyudutkan Presiden Joko Widodo. Sang jendral ditengarai memiliki ambisi politik. Inilah sepak terjang Nurmantyo membangun basis dukungan jelang Pemilu 2019.
Foto: Reuters/Beawiharta
Wacana Tentara Berpolitik
Ambisi politik Gatot Nurmantyo sudah tercium sejak akhir 2016 ketika dia mewancanakan hak politik bagi anggota TNI. Menurutnya prajurit saat ini seperti "warga asing" yang tidak bisa berpolitik. Ia mengaku gagasan tersebut cepat atau lambat akan terwujud. "Ide ini bukan untuk sekarang, mungkin 10 tahun ke depan, ketika semua sudah siap."
Foto: Reuters/Beawiharta
Petualangan di Ranah Publik
Bersama Nurmantyo, TNI berusaha kembali ke ranah sipil. Lembaga HAM Imparsial mencatat Mabes TNI menandatangani "ratusan" kerjasama dengan berbagai lembaga, termasuk universitas dan pemerintah daerah. TNI tidak hanya dilibatkan dalam urusan pemadaman kebakaran hutan, tetapi juga pertanian dan pembangunan infrastruktur seperti pada proyek pembangunan jalan Transpapua.
Foto: Imago/Zumapress
Menggoyang Otoritas Sipil
Februari silam Nurmantyo mengeluhkan pembatasan kewenangan panglima TNI dalam hal pengadaan senjata. Pasalnya Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengeluarkan peraturan yang mengembalikan kewenangan pembelian sistem alutsista pada kementerian. Dengan ucapannya itu Nurmantyo dinilai ingin mengusik salah satu pilar Reformasi, yakni UU 03/2002 yang menjamin otoritas sipil atas militer.
Foto: Reuters/Beawiharta
Polemik Dengan Australia
Akhir Februari Nurmantyo secara mendadak membekukan kerjasaman pelatihan militer dengan Australia. Keputusan Mabes TNI dikabarkan mengejutkan Istana Negara. Presiden Joko Widodo akhirnya mengambil sikap mendukung keputusan Nurmantyo dan ikut memperingatkan Australia. Namun sejumlah pejabat tinggi di Canberra menilai kasus tersebut selayaknya diselesaikan tanpa keterlibatan publik.
Foto: Imago/Zumapress
Genderang Xenofobia dari Cilangkap
Bukan kali pertama Nurmantyo membidik Australia. Oktober 2016 dia menyebut negeri jiran itu terlibat dalam "perang proxy" melawan Indonesia di Timor Leste dengan tujuan "memecah belah bangsa." Ia juga mengklaim ancaman terbesar terhadap Indonesia akan berasal dari kekuatan asing yang "berebut energi dari negara equator yang kaya sumber daya alam."
Sejak berakhirnya Pilkada DKI Nurmantyo juga aktif mendekat ke kelompok konservatif muslim. Ketika Kapolri Tito Karnavian mengklaim kepolisian menemukan indikasi makar pada aksi demonstrasi 212 di Jakarta, Nurmantyo mengatakan dirinya "tersinggung, karena saya umat muslim juga." Panglima juga berulangkali memuji pentolan FPI Rizieq Shihab sebagai sosok yang "cinta Indonesia."
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Teladan di Astana Giribangun
Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia yang disebarkan kelompok Islam konservatif dan sejumlah tokoh seperti Kivlan Zein dan Amien Rais disambut Nurmantyo dengan mewajibkan prajurit TNI untuk menonton film propaganda orde baru Pengkhianatan G30-S PKI. Setelah melontarkan wacana tersebut, Nurmantyo mengunjungi makam bekas Presiden Soeharto yang menurutnya patut menjadi "tauladan" prajurit TNI
Foto: picture-alliance/dpa
Peluru Panas ke Arah Istana
Polemik terakhir yang dipicu Panglima TNI adalah isu penyelundupan senjata api sebanyak 5500 pucuk. Ia mengklaim laporan tersebut berasal dari data akurat dinas intelijen. Pemerintah mengklarifikasi pembelian itu untuk Kepolisian dan Badan Intelijen Negara. Namun Nurmantyo enggan meluruskan pernyataannya tersebut. (rzn/yf-sumber: antara, detik, cnnindonesia, kompas, tempo, aspi, ipac)
Foto: picture-alliance/Photoshot/A. Kuncahya
8 foto1 | 8
Apakah anda bermaksud Bawaslu bersikap tebang pilih dalam penegakan hukum?
Ya kami merasa Bawaslu tebang pilih. Bahkan ada kesan kami menjadi target operasi. Ada indikasi ke arah sana.
Sebenarnya di mana titik persoalan antara PSI dan Bawaslu?
Ini kan soal perbedaan tafsir tentang apa itu kampanye. Karena memang Undang-undangnya tidak memberikan penjelasan yang tuntas tentang kampanye. Kalau kami mengacu pada Pasal 274 UU Pemilu yang menitikberatkan pada materi kampanye. Jadi kampanye adalah penyampaian visi, misi dan program. Jadi cuma tiga aspek. Dan ketiganya tidak ada dalam materi pengumuman hasil polling PSI. Jadi kenapa kami tetap kena, karena Bawaslu menggunakan pasal lain, yaitu Pasal 1 Angka 35 UU Pemilu yang kira-kira menyatakan kampanye adalah penyampaian visi, misi dan citra diri. Nah kita sudah mengubek-ubek Undang-undang tapi tidak menemukan pemaknaan yang jelas terhadap istilah citra diri itu. Di Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) juga tidak ada. Jadi di mana sebenarnya letak definisi citra diri itu. Bagi kami logo PSI yang dicantumkan di sudut kanan pengumuman poling itu bukan citra diri. Kami sebagai penanggungjawab polling harus menyampaikan siapa pihak yang bertanggungjawab. Dan ukurannya kurang dari 5% dari total halaman polling di media cetak itu.
Padahal iklan partai lain mengandung foto ketua umumnya, logo dan tag line-nya. Jadi pertanyaannya kenapa PSI? Apa karena kami partai baru yang tidak punya kekuatan di parlemen. Kita tidak tahu jawabannya apa. Salah satu indikasinya adalah, kasus ini bukan atas aduan masyarakat, tapi temuan Bawaslu. Dan koran ini terbit di Jawa Timur. Sementara Bawaslu di Jakarta. Saya membaca di sebuah media bahwa Indonesian Corruption Watch sudah melaporkan sebelas parpol, tapi belum ditindaklanjuti. Kasus PSI adalah satu-satunya kasus yang diproses sampai ke kepolisian, yang lain tidak,.
Siapa Calon Pemimpin Indonesia?
Hasil survey Saiful Mujani Research Centre belum banyak mengubah peta elektabilitas tokoh politik di Indonesia. Siapa saja yang berpeluang maju ke pemilu kepresidenan 2019.
Foto: Imago/Zumapress
1. Joko Widodo
Presiden Joko Widodo kokoh bertengger di puncak elektabilitas dengan 38,9% suara. Popularitas presiden saat ini "cendrung meningkat," kata Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan.
Foto: Reuters/Beawiharta
2. Prabowo Subianto
Untuk sosok yang sering absen dari kancah politik praktis pasca pemilu, nama Prabowo masih mampu menarik minat pemilih. Sebanyak 12% responden mengaku akan memilih mantan Pangkostrad itu sebagai presiden RI.
Foto: Reuters
3. Anies Baswedan
Selain Jokowi dan Prabowo, nama-nama lain yang muncul dalam survey belum mendapat banyak dukungan. Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies Baswedan, misalnya hanya mendapat 0,9%.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
4. Basuki Tjahaja Purnama
Nasib serupa dialami bekas Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama. Sosok yang kini mendekam di penjara lantaran kasus penistaan agama itu memperoleh 0,8% suara. Jumlah yang sama juga didapat Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Foto: Getty Images/T. Syuflana
5. Hary Tanoesoedibjo
Pemilik grup MNC ini mengubah haluan politiknya setelah terbelit kasus hukum berupa dugaan ancaman terhadap Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto. Hary yang tadinya beroposisi, tiba-tiba merapat ke kubu Presiden Joko Widodo. Saat inielektabilitasnya bertengger di kisaran 0,6%
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
6. Agus Yudhoyono
Meski diusung sebagai calon pemimpin Indonesia masa depan, saat ini popularitas Agus Yudhoyono masih kalah dibanding ayahnya Soesilo Bambang Yudhoyono yang memperpoleh 1,9% suara. Agus yang mengorbankan karir di TNI demi berpolitik hanya mendapat 0,3% dukungan.
Foto: Getty Images/AFP/M. Naamani
7. Gatot Nurmantyo
Jumlah serupa didapat Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang belakangan terkesan berusaha membangun basis dukungan. Nurmantyo hanya mendapat 0,3%. Meski begitu tingkat elektabilitas tokoh-tokoh ini akan banyak berubah jika bursa pencalonan sudah mulai dibuka, klaim SMRC.
Foto: Imago/Zumapress
7 foto1 | 7
PSI mengajukan gugatan terhadap Pasal 1 Angka 35 UU Pemilu kepada Mahkamah Konstitusi. Apa sebenarnya misi anda?
Kita ingin meminta tafsir atas istilah 'citra diri.' Tapi ini kan tidak terkait dengan kasus kami tetapi lebih kepada implementasi konstitusi secara umum. Ya sebenarnya gimana nih kok sebuah Undang-undang punya pasal karet. Kan harus ditafsirkan apa yang dimaksud dengan citra diri. Dan terkait kasus ini, yang paling kongkrit yang akan kita lakukan adalah melaporkan Bawaslu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas potensi melanggar profesionalisme dan kode etik.
Dimana letak pelanggaran kode etik oleh Bawaslu?
Saya belum bisa sampaikan sekarang karena masih kami diskusikan.
Kenapa PSI menerbitkan hasil polling tersebut di media cetak?
Keinginan kami sebenarnya melakukan pendidikan politik. Kita berharap rakyat tidak lagi membeli kucing di dalam karung. Jadi sejak awal kami mencoba meng-expose beberapa nama yang kami dapatkan dari jaringan dan dari hasil komunikasi dengan tokoh agama, tokoh parpol, tokoh masyarakat dan adat. Nama menteri-menterinya juga ada yang dari partai politik dan kelompok profesional. Ya kami coba bertanya kepada masyarakat. Kalau misalnya salah seorangnya pernah melakukan tindak pidana korupsi atau kekerasan domestik kan bisa dikritik. Atau mungkin ada nama lain yang lebih baik kan bisa ditambahkan. Jadi ini bagian dari diskursus publik yang kami coba tawarkan ke masyarakat.
Apakah PSI bersikap gegabah dengan mengajukan nama cawapres terlalu dini di tengah kontestasi yang sedang panas, sehingga mungkin mengundang permusuhan?
Itu hak politik kami untuk menyampaikan nama-nama itu. Mungkin ada musuh yang terganggu tapi itu kan hak politik kami. Masak sih cuma dengan menyampaikan itu ada orang yang merasa terganggu.
Wawancara oleh Rizki Nugraha (yf)
Kenapa Pemilu Malaysia Cacat Demokrasi?
Oposisi Malaysia membutuhkan keajaiban buat menguasai parlemen lewat pemilu nasional, bahkan ketika jumlah suara yang mereka kumpulkan melebihi koalisi pemerintah 2013 silam. Apa sebabnya?
Foto: Imago/Richard Wareham
Siasat Demografi
Jumlah penduduk pada daerah pemilihan sangat menentukan. Koalisi pemerintah biasanya menang di dapil yang dihuni bangsa Melayu. Namun banyak dapil tersebut berpenduduk sedikit seperti di Sabah atau Serawak. Sebaliknya kelompok oposisi berharap pada dapil berpenduduk multi-etnis yang berjumlah sedikit, meskipun ramai pemilih. Akibatnya sepertiga pemilih menentukan separuh jumlah kursi di parlemen.
Foto: Imago/imagebroker
Akal-akalan Daerah Pemilihan
Setiap 10 tahun sekali Komisi Pemilu (SPR) memetakan ulang daerah pemilihan sesuai sensus penduduk terbaru. Tapi oposisi mengritik pembagian dapil menguntungkan pemerintah. Penduduk keturunan yang cenderung memilih partai oposisi digabung dengan dapil pendukung oposisi, sementara warga Melayu disebar agar menjadi mayoritas di dapil lain. Akibatnya jumlah dapil pendukung pemerintah berlipat ganda.
Foto: picture alliance / dpa / S. Kahnert
Kejanggalan Daftar Pemilih
Sejumlah LSM mengeluhkan "kejanggalan" dalam daftar pemilih, termasuk keberadaan 2,1 juta pemilih baru yang tidak memiliki alamat. Komite Parlemen 2011 silam sempat memerintahkan SPR membersihkan daftar pemilih, namun hingga kini "rekomendasi" tersebut diabaikan. Atas dasar itu organisasi anti korupsi, Bersih, memperkirakan 15% pemilih tidak memenuhi syarat untuk mencoblos.
Foto: Getty Images
Dagelan Pemantau Asing
Pemerintah berusaha meyakinkan pemilu kali ini berjalan demokratis, antara lain dengan mengundang 25 perwakilan asing, termasuk dari Indonesia. Namun sisa negara yang diundang tidak memiliki kredibilitas demokrasi, antara lain dari Azerbaidjan, Maladewa, Pakistan, Uzbekistan, Kamboja dan Kirgistan. Komisi HAM Malaysia juga mengeluhkan pemantaunya ditolak oleh Komisi Pemilu untuk mengawasi TPS
Foto: picture alliance/zumapress
Peluru di Balik UU Anti Hoax
Bulan lalu parlemen mengesahkan UU Anti Hoax yang mengharamkan berita palsu. Namun aturan tersebut belakangan lebih sering digunakan buat mengintimidasi oposisi dan meredam laporan mengenai dugaan korupsi Dana Investasi Malaysia 1MDB yang ikut menyeret keluarga Perdana Menteri Najib Razak. Bekas PM Mahathir Mohammad baru-baru ini digugat ke pengadilan lantaran hal serupa.
Foto: picture-alliance/dpa/F. Ismail
Drama di Hari Pencoblosan
Ketetapan hari pemungutan suara digelar pada pertengahan minggu memicu kontroversi besar di Malaysia. Pasalnya banyak pemilih yang harus pulang kampung untuk bisa mencoblos. Meski kemudian ditetapkan sebagai hari libur nasional, kelompok oposisi mengklaim bakal kehilangan suara lantaran banyak pendukungya yang bekerja di luar kota, termasuk di antaranya setengah juta calon pemilih di Singapura.