Puerto Rico Umumkan Darurat Kekerasan Terhadap Perempuan
26 Januari 2021
Puerto Rico mengumumkan keadaan darurat nasional atas masalah kekerasan terhadap perempuan. Pemerintah akan menetapkan langkah-langkah baru yang dituntut oleh para aktivis hak asasi.
Iklan
Puerto Rico telah mengalami tingkat kekerasan yang berkelanjutan yang rata-rata mengakibatkan kematian satu perempuan setiap minggu. Demikian ungkap sebuah laporan dari tahun 2019, yang menyuarakan masalah kekerasan terhadap perempuan di negara-negara Karibia dan Amerika Latin lainnya.
Deklarasi yang dicanangkan hari Senin (25/1) menetapkan langkah-langkah seperti membuat aplikasi seluler bagi para korban untuk meminta bantuan dan melaporkan serangan, termasuk menawarkan perlindungan bagi kaum gay dan transgender.
Pihak berwenang Puerto Rico akan membuat program baru untuk memantau perempuan dan mengeluarkan perintah penahanan terhadap pelaku kekerasan. Sebuah komite baru akan bertanggung jawab untuk menegakkan kebijakan dan mengusulkan tindakan lain.
Gubernur Puerto Rico Pedro Pierluisi mengatakan, perintah itu bertujuan untuk memerangi "kejahatan yang telah menyebabkan terlalu banyak kerusakan terlalu lama".
"Para korban secara sistematis menderita akibat ketidakadilan, diskriminasi, kurangnya pendidikan, kurangnya bimbingan dan terutama kurangnya tindakan," tambahnya dalam sebuah pernyataan.
Deklarasi tersebut mendefinisikan kekerasan seksual atau kekerasan berbasis gender sebagai perilaku yang menyebabkan kerugian fisik, seksual atau psikologis bagi orang lain.
Perjuangan panjang melawan kekerasan terhadap perempuan
Menurut laporan tahun 2019 dari kelompok advokasi nirlaba Proyecto Matria dan Kilometro Cero, rata-rata satu orang perempuan dibunuh setiap tujuh hari di Puerto Rico. Amerika Latin dan Karibia termasuk kawasan paling berbahaya bagi perempuan.
Kelompok hak asasi manusia dan aktivis perempuan beberapa tahun terakhir telah menyoroti masalah ini dan menggelar aksi protes.
Deklarasi Puerto Rico muncul hanya beberapa hari setelah pekerja kesehatan Angie Noemi Gonzalez dibunuh oleh suaminya, yang mengakui kejahatan tersebut, kata laporan media.
Kelompok-kelompok hak asasi di Puerto Rico menyambut baik deklarasi baru itu, meski disebutkan tidak sempurna, namun perlu diapresiasi sebagai langkah pertama untuk menyelamatkan nyawa perempuan.
Iklan
"Hari luar biasa bagi perempuan”
Vilmarie Rivera, presiden Jaringan Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Puerto Rico, mengatakan "pemerintah telah menyadari bahwa ada masalah yang harus diatasi sebagai prioritas."
Namun, dia menambahkan bahwa rincian cara pelaporan femisida perlu disempurnakan. Masalah gender juga perlu dimasukkan dalam kurikulum sekolah.
"Hari ini adalah hari yang luar biasa bagi perempuan, anak perempuan, dan semua orang yang percaya pada deklarasi keadaan darurat kekerasan gender, yang telah kami minta selama tiga tahun," kata Lisdel Flores, direktur Hogar Ruth, sebuah tempat penampungan bagi perempuan korban kekerasan.
hp/as (afp)
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.