Lewat filmnya tentang pembantaian massal ’65, Joshua Oppenheimer filmnya akan bisa membantu Indonesia melangkah ke depan jika luka-luka lama bisa disembuhkan
Iklan
"The Look of Silence" adalah sebuah dokumenter lanjutan setelah sukses pertamanya dengan "The Act of Killing", yang masuk nominasi Oscar sebagai dokumenter terbaik.
Kedua film itu berkisah tentang pembantaian pasca percobaan kudeta yang gagal pada '65, yang disusul pembantaian sekitar setengah juta aktivis, simpatisan, atau mereka yang dituduh sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dalam film pertama Oppenheimer fokus utamanya adalah Anwar Congo, salah satu jagal paling ditakuti di Medan, Sumatera Utara, di mana ia membual di depan kamera tentang bagaimana cara ia membantai mereka yang dituduh PKI dengan cara menginterogasi dan menjerat leher mereka dengan kawat.
Sementara film kedua berfokus pada Adi Rukun, seorang pembuat kaca mata berusia 40 tahun, yang secara bertahap belajar dari Oppenheimer tentang bagaimana saudara laki-lakinya yang bernama Ramli tewas dalam pembantaian '65, dan akhirnya ia berhadapan dengan keluarga pembunuh sudaranya itu.
Oppenheimer mengatakan dua film ini akan membantu Indonesia melangkah ke depan jika luka-luka lama ini bisa disembuhkan, tapi ia tidak ingin meyakini bahwa semua akan baik-baik saja dalam waktu dekat.
“Saya tidak punya kesabaran dengan dokumenter-dokumenter konvensional hak asasi manusia yang ingin menyembunyikan kekacauan untuk menunjukkan kepada kita bahwa semuanya akan baik-baik saja,” kata dia.
“Saya ingin bilang, ‘Lihat kekacauan ini' karena itulah kenapa hal-hal ini harus diselesaikan.
“Jika hal-hal ini tidak mengerikan dan sulit serta menghancurkan, kita tidak perlu khawatir tentang apa yang menimpa mereka. Masalah dengan kekejaman ini… dan dengan impunitas adalah kekacauan yang membusuk dan semakin buruk dan buruk, sehingga film berakhir dalam semacam kekacauan, horror, dalam ketidakstabilan.“
Oppenheimer mengatakan, Rukun, yang terpaksa pindah dari rumahnya karena alasan keselamatan setelah film ini dirilis, tidak menyadari skala pembunuhan, hingga sutradara itu menunjukkan kepadanya cuplikan-cuplikan film tentang apa yang terjadi.
“Adi menonton semua potongan film yang kami punya untuk diperlihatkan (kepada dia). Ia melahapnya dengan membisu, dengan perasaan dan harga diri yang hancur, putus asa dan marah,“ kata Oppenheimer.
“Saya memahami film lain yang saya buat “The Act of Killing” adalah lukisan bagian pertama, dan kemudian film ini menjelajahi keheningan, semacam puisi kesunyian, dan puisi untuk rasa trauma memecah kebisuan…
“Ketika saya sadar ada film lain yang harus dibuat, saya sadar saya akan membuatnya dengan Adi,“ kata Oppenheimer. “Kemudian Adi meyakinkan bahwa ia ingin bertemu dengan para pelaku (pembunuhan saudara laki-lakinya) yang sudah bertahun-tahun ia lihat, dan begitulah bagaimana film ini dibuat.“
ab/rn (ap,rtr,afp)
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.