Puluhan ribu pengunjuk rasa melumpuhkan pusat kota Hong Kong hari Rabu (12/6). Mereka memprotes rencana pemerintah otonomi khusus yang ingin memungkinkan ekstradisi ke Cina daratan.
Iklan
Para demonstran berpakaian hitam, kebanyakan kaum muda dan mahasiswa, memblokir kantor-kantor pemerintah dan arus lalu lintas di pusat Hong Kong hari Rabu (12/6). Aksi protes massal yang berawal akhir minggu lalu dilanjutkan untuk memprotes Rancangan Undang-Undang yang dipersiapkan pemerintahan daerah khusus Hong Kong.
Aturan baru itu akan memungkinkan ekstradisi dari kawasan khusus Hong Kong ke Cina daratan. Para aktivis di Hong Kong melihat ini sebagai serangan terhadap demokrasi dan hak-hak warga Hong Kong yang dijamin dalam perjanjian serah terima Hong Kong dari Inggris ke Cina tahun 1997.
Dalam kesepakatan serah terima antara Inggris dan Cina disepakati status istimewa Hong Kong dalam modus "satu negara, dua sistem". Kesepakatan yang berlaku selama 50 tahun itu antara lain menjamin status otonomi khusus, kebebasan berkumpul, pers bebas dan peradilan yang independen.
Para demonstran khawatir, aturan ekstradisi yang baru akan membuat warga Hong Kong bisa diadili di Cina daratan, di mana sistem peradilan dipandang tidak independen dan hanya tunduk pada perintah Partai Komunis Cina.
Parlemen tunda pembahasan RUU
Para pengunjuk rasa berdemonstrasi terutama berkumpul di di dalam dan di sekitar Lung Wo Road, jalan arteri utama timur-barat dekat kantor Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam. Ratusan polisi anti huru hara, beberapa bersenjatakan tongkat dan perisai plastik dikerahkan untuk menghentikan mereka.
Aksi protes massal sebelumnya terhadap RUU ini pada hari Minggu (9/12) sempat ricuh, ditandai bentrokan antara aparat keamanan dan demonstran. Untuk mencegah kericuhan, barisan polisi anti huru hara yang diturunkan hari Rabu jauh lebih sedikit daripada sebelumnya.
Menjelang pagi, ketika kerumunan massa terus bertambah, dewan legislatif Hong Kong Legco, yang didominasi oleh para loyalis Beijing, mengatakan akan menunda pembahasan kedua tentang RUU itu "ke tanggal kemudian". Belum jelas kapan pembahasan akan dilanjutkan. Sebelumnya, pemungutan suara untuk RUU yang baru dijadwalkan pada 20 Juni.
Pusat kota lumpuh
Lebih dari 100 bisnis di Hong Kong mengatakan mereka akan tutup hari Rabu sebagai tanda solidaritas dengan para demonstran. Serikat mahasiswa terbesar mengumumkan akan memboikot pelajaran dan kuliah untuk ikut demonstrasi.
Sederetan serikat pekerja di sektor transportasi, pekerjaan sosial dan tenaga pengajar juga menyatakan akan ikut aksi protes atau mendorong anggota untuk berpartisipasi. Serikat pengemudi bus menyatakan akan mendorong anggotanya untuk mengemudi dengan lambat untuk mendukung protes.
Pasar saham Hong Kong merosot di perdagangan pagi lebih dari 1,6 persen di tengah gejolak di seluruh kota. Warga Hong Kong selama ini memang menikmati kebebasan politik yang tidak ada di Cina daratan.
hp/vlz (rtr, afp, ap)
Hong Kong: 20 Tahun Setelah Dikembalikan ke Cina
Hong Kong dikembalikan ke bawah kekuasaan Cina 20 tahun lalu, setelah dikuasai Inggris selama 156 tahun. Sejarah kawasan itu selama ini sudah ditandai sejumlah aksi protes terhadap Cina.
Foto: Reuters/B. Yip
1997: Momentum Bersejarah
Penyerahan Hong Kong dari Inggris kepada Cina terjadi tanggal 1 Juli 1997. Wilayah Hong Kong menjadi koloni Inggris tahun 1842 dan dikuasai Jepang selama Perang Dunia II. Setelah Hong Kong kembali ke Cina, situasi politiknya disebut "satu negara, dua sistem."
Foto: Reuters/D. Martinez
1999: Tidak Ada Reuni Keluarga
Keluarga-keluarga yang terpisah akibat perbatasan Hong Kong berharap akan bisa bersatu lagi, saat Hong Kong kembali ke Cina. Tetapi karena adanya kuota, hanya 150 orang Cina boleh tinggal di Hong Kong, banyak yang kecewa. Foto: Aksi protes warga Cina (1999) setelah permintaan izin tinggal ditolak oleh Hong Kong.
Foto: Reuters/B. Yip
2002: Harapan Yang Kandas
Masalah izin tinggal muncul lagi April 2002 ketika Hong Kong mulai mendeportasi sekitar 4.000 warga Cina yang "kalah perang" untuk dapat izin tinggal di daerah itu. Keluarga-keluarga yang melancarkan aksi protes di lapangan utama digiring secara paksa.
Foto: Reuters/K. Cheung
2003: Pandemi SARS
2003, virus SARS yang sangat mudah menular mencengkeram Hong Kong. Maret tahun itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan adanya pandemi di kawasan itu. Pria ini (foto) hadir dalam upacara penguburan Dokter Tse Yuen-man bulan Mei. Dr. Tse secara sukarela menangani pasien SARS dan tertular virus itu. Hong Kong dinyatakan bebas SARS Juni 2003. Hampir 300 orang tewas akibat penyakit ini.
Foto: Reuters/B. Yip
2004: Demonstrasi bagi Demokrasi
Politik Cina "satu negara, dua sistem" kerap sebabkan ketegangan. 2004, dalam peringatan ke tujuh penyerahan kembali Hong Kong, ratusan ribu orang memprotes, dan menuntut reformasi politik. Mereka menyerukan demokrasi dan pemilihan pemimpin Hong Kong berikutnya.
Foto: Reuters/B. Yip
2008: Tidak Ada Tempat Tinggal
Harga properti yang sangat tinggi sebabkan biaya sewa yang juga tinggi. 2008 rasanya tak aneh jika melihat orang seperti Kong Siu-kau tinggal di apa yang disebut "rumah kandang." Besarnya 1,4 m persegi, dikelilingi kawat besi, dan dalam satu ruang biasanya ada delapan. Sekarang sekitar 200.000 orang menyebut sebuah "kandang" atau satu tempat tidur di apartemen yang disewa bersama, sebagai rumah.
Foto: Reuters/V. Fraile
2009: Mengingat Lapangan Tiananmen
Saat peringatan 20 tahun pembantaian brutal pemerintah Cina di Lapangan Tiananmen (4 Juni 1989), penduduk Hong Kong berkumpul dan menyalakan lilin di Victoria Park. Ini menunjukkan perbedaan besar antara Hong Kong dan Cina. Di Cina pembantaian atas orang-orang dan mahasiswa yang prodemokrasi hanya disebut Insiden Empat Juni.
Foto: Reuters/A. Tam
2014: Aksi Occupy Central
Sejak September 2014, protes skala besar yang menuntut lebih luasnya otonomi mencengkeram Hong Kong selama lebih dari dua bulan. Ketika itu Beijing mengumumkan Cina akan memutuskan calon pemimpin eksekutif Hong Kong dalam pemilihan 2017. Aksi protes disebut Revolusi Payung, karena demonstran menggunakan payung untuk melindungi diri dari semprotan merica dan gas air mata.
Foto: Reuters/T. Siu
2015: Olah Raga Yang Penuh Politik
Kurang dari setahun setelah Occupy Central berakhir, Cina bertanding lawan Hong Kong dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia sepak bola, 17 November 2015. Para pendukung Cina tidak disambut di Hong Kong. Para fans Hong Kong mengejek dan berteriak-teriak ketika lagu kebangsaan Cina dimainkan, dan mengangkat poster bertuliskan "Hong Kong bukan Cina." Pertandingan berakhir 0-0.
Foto: Reuters/B. Yip
2016: Kekerasan Baru
February 2016 tindakan brutal polisi Hong Kong kembali jadi kepala berita. Pihak berwenang berusaha singkirkan pedagang ilegal di jalanan dari kawasan pemukiman kaum buruh di Hong Kong. Mereka mengirim polisi anti huru-hara, yang menggunakan pentungan dan semprotan merica. Bentrokan ini yang terbesar setelah Revolusi Payung 2014. Penulis: Carla Bleiker (ml/hp)