Puluhan Staf WHO Diduga Terlibat Pelecehan Seksual di Kongo
29 September 2021
Investigasi independen yang dilakukan oleh WHO berhasil mengidentifikasi lebih dari 80 kasus dugaan pelecehan seksual selama penanganan wabah Ebola di Kongo. Sebanyak 21 staf WHO diyakini terlibat.
Iklan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa (28/09) akhirnya merilis laporan final dari Komisi Independen terkait tuduhan pelecehan seksual yang terjadi selama wabah Ebola di Republik Demokratik Kongo.
Laporan tersebut memuat lebih dari 80 kasus dugaan pelecehan seksual antara tahun 2018 dan 2020, yang di antaranya diduga dilakukan oleh 20 staf WHO.
Laporan penyelidikan ini merupakan respons atas hasil investigasi yang dilakukan oleh The New Humanitarian dan Thomson Reuters Foundation pada Oktober 2020 silam. Investigasi tersebut mengungkap bahwa setidaknya 30 perempuan menuduh para pria yang bekerja untuk WHO melakukan eksploitasi dan pelecehan seksual.
Investigasi juga mengungkap bahwa sebanyak 51 perempuan melaporkan bahwa pelecehan tidak hanya terjadi di organisasi-organisasi PBB seperti WHO, UNICEF, dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) saja, tapi juga di beberapa organisasi bantuan seperti Oxfam, Doctors Without Borders (MSF), World Vision, dan ALIMA.
Merespons laporan penyelidikan ini, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pun meminta maaf.
"Hal pertama yang ingin saya katakan kepada para korban dan penyintas adalah saya minta maaf,” ujarnya dalam konferensi pers. "Ini adalah prioritas utama saya bahwa para pelaku akan dimintai pertanggungjawabannya,” tambahnya.
Pelaku adalah warga Kongo dan warga asing
Identitas 83 tersangka pelaku pelecehan kini telah diketahui oleh otoritas PBB. Baik warga negara Kongo maupun warga asing dilaporkan terlibat.
Dalam 21 kasus, tim penyelidik secara pasti meyakini bahwa tersangka pelaku pelecehan adalah pegawai WHO yang ditugaskan dalam rangka penanganan wabah Ebola di negara itu.
Menurut laporan, mayoritas tersangka adalah staf asal Kongo yang dipekerjakan sementara. Mereka dituduh memanfaatkan wewenangnya untuk mendapatkan kepuasan seksual.
10 Negara Di Mana Kekerasan Seksual Jadi Hal Lazim
Sekjen PBB Ban Ki Moon nyatakan data tunjukkan, kekerasan seksual jadi hal lazim di 19 negara yang dirundung konflik. Ditegaskan, kelompok ekstrimis jadi pelaku paling kejam. Berikut 10 negara di antaranya.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Afghanistan
Kejahatan seksual seperti pemerkosaan adalah isu besar di Afghanistan. Menurut undang-undang pelaku pemerkosaan dihukum berat jika terbukti bersalah. Namun pada kenyataannya, kejahatan itu jarang dilaporkan. Terutama karena korban kejahatan seksual menghadapi risiko jauh lebih besar lagi, jika mereka berani melapor.
Foto: AFP/Getty Images/A. Karimi
Republik Afrika Selatan
Negara ini menghadapi banyak masalah, antara lain konflik tak kunjung henti yang juga menyebabkan keadaan ekonominya parah. Posisi kaum perempuan sangat rentan dalam situasi seperti ini, sehingga mereka kerap jadi korban kekerasan. Foto: pasar di ibukota Bangui.
Foto: Sia Kambou/AFP/Getty Images
Kolumbia
Kekerasan bersenjata di negara itu menyebabkan tingginya kekerasan seksual terhadap perempuan. Pemerintah Kolumbia berkali-kali dituduh gagal menyelidiki laporan tindak kekerasan seksual. Tindak kriminal itu kerap terjadi terhadap perempuan yang terpaksa mengungsi. Selain itu angka kekerasan domestik juga tinggi. Foto: demonstrasi bagi hak-hak perempuan dan anti kekerasan di Bogota.
Foto: GUILLERMO LEGARIA/AFP/GettyImages
Republik Demokrasi Kongo
Menurut studi, diperkirakan lebih dai 400.000 perempuan diperkosa di Republik Demokrasi Kongo tiap tahunnya. Pemerkosaan kerap dijadikan "senjata perang" oleh pihak-pihak yang bertikai. Foto: seorang perempuan menunggu hasil proses pengadilan terhadap 11 tentara yang dituduh melakukan pemerkosaan dan kejahatan terhadap kemanusiaan di kota Baraka.
Foto: AP
Irak
Sekjen PBB mengimbau pemerintah Irak untuk melaksanakan resolusi Dewan Keamanan no 1325 (2000) termasuk melatih aparat keamanan untuk membela hak-hak perempuan. Juga melaksanakan program reintegrasi perempuan dan anak-anak yang jadi korban kekejaman ISIS. Foto: sebuah keluarga Yazidi di Ba Adre, Irak. Mereka terpaksa mengungsi akibat sepak-terjang ISIS.
Foto: Imago/ZUMA Press
Libya
Korban kekerasan seksual lazimnya tidak mendapat pertolongan. Sebaliknya, korban sering dianggap mencoreng nama keluarga dan komunitas. Ia bisa menghadapi kekerasan serius dari orang-orang yang seharusnya membela, bahkan bisa dibunuh dengan dirajam. Foto: demonstrasi kaum perempuan. Mereka menyatakan, "Tripolis adalah ibukota semua orang Libya, tapi tanpa senjata."
Foto: DW/V. Stocker
Mali
Sekjen PBB Ban Ki Moon menyerukan kepada pemerintah Mali, merumuskan strategi nasional untuk memerangi kekerasan seksual dan kekerasan lain berdasarkan gender. Pemerintah diimbau untuk bekerjasama dengan badan PBB United Nations Action against Sexual Violence in Conflict, Foto: seorang perempuan pengungsi Mali, di dekat perbatasan dengan Aljazair.
Foto: DW/El Kebir Nour El Hayet
Myanmar
Myanmar diimbau oleh Sekjen PBB Ban Ki Moon agar melaksanakan agenda reformasi dan ambil langkah konkret untuk menjaga keamanan korban kekerasan seksual akibat konflik etnis, dan menyeret pelakunya ke pengadilan. Foto:seorang perempuan sedang memandang pamflet yang disebarkan partai politik saat kampanye pemilu.
Foto: AP
Somalia
Korban pemerkosaan di ibukota Mogadishu menurut Amnesty International, mayoritasnya adalah pengungsi. PBB catat 1.700 kasus pemerkosaan di tempat penampungan pengungsi. Sepertiga korban berusia di bawah 18. Sekitar 70% pelaku adalah pria berseragam. Foto: kaum perempuan yang mengungsi akibat kekerasan dan bencana kekeringan di kamp pengungsi Dadaab.
Foto: Roberto Schmidt/AFP/GettyImages
Suriah
Sejak meletusnya perang saudara di Suriah tahun 2011, aksi kekerasan seksual dan kekerasan gender meningkat. Terutama ISIS praktekan perbudakan seks dan pelecehan kaum perempuan. Banyak warga Suriah yang lari akibat perang, pemboman udara dan kekerasan ISIS ke negara tetangga Turki. Foto: Perempuan dan anak-anak pengungsi Suriah di daerah Suruc, di bagian tenggara Turki.
Foto: picture-alliance/epa/S. Suna
10 foto1 | 10
Laporan tersebut menyebutkan bahwa tim penyelidik mewawancarai puluhan perempuan yang mengaku ditawari pekerjaan sebagai imbalan seks. Tim penyelidik juga mewawancarai perempuan yang diduga menjadi korban pemerkosaan. Hasilnya, ada sembilan kasus yang ditemukan.
Kepada koresponden DW di Butembo, salah satu korban menceritakan kisahnya.
"Ada salah satu warga asing yang menyukai Anda. Jika Anda menyerahkan diri kepadanya, Anda akan segara mendapatkan pekerjaan,” ujarnya.
"Awalnya saya bekerja sebagai ahli kebersihan di pusat perawatan Ebola. Sebulan kemudian, dia mengangkat saya menjadi administrator kamp,” tambahnya.
Iklan
Tak ada dukungan untuk korban
Laporan setebal 35 halaman itu menyoroti bahwa "skala insiden eksploitasi dan pelecehan seksual yang terjadi dalam penanganan wabah Ebola ke-10, berkontribusi terhadap peningkatan kerentanan yang dialami korban.”
Menurut laporan, para korban "tidak diberikan dukungan dan bantuan yang layak untuk melewati pengalaman yang merendahkan seperti itu.”
Laporan juga menemukan ada "kegagalan struktural yang jelas dan ketidaksiapan dalam mengelola risiko insiden ekploitasi dan pelecehan seksual.” Selain itu, tim penyelidik menggarisbawahi bahwa "ada persepsi di pihak korban bahwa staf lembaga punya impunitas.”