1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiLebanon

Punahnya Kelas Menengah di Lebanon

21 Januari 2023

Krisis ekonomi dan politik yang melanda Lebanon sejak beberapa tahun terakhir ikut mendorong perubahan struktur demografi. Anjloknya populasi kelas menengah diyakini akan semakin memperlebar ketimpangan kemakmuran.

Suasana di Beirut, Lebanon
Suasana di Beirut, LebanonFoto: Hassan Ammar/AP/picture alliance

Ibu kota Lebanon, Beirut, tidak kekurangan kontras. Ketika deretan mobil mewah diparkir rapi di depan restoran dan bar ber-AC, di luar sekumpulan pengemis lintas usia mengorek tempat sampah mencari makanan.

"Sekarang semakin banyak orang yang mengemis di jalan, terutama anak-anak atau juga kaum lansia,” kata Anna Fleischer, Direktur Yayasan Heinrich Böll Jerman di Beirut. "Sebagian bisa diasumsikan sebagai pengungsi Suriah, tapi banyak juga warga negara Lebanon.”

Tahun-tahun penuh gejolak politik dan krisis ekonomi – yang diperparah oleh pandemi Covid-19 dan ledakan di Pelabuhan Beirut pada Agustus 2020 lalu – menyeret seisi negeri ke jurang kebangkrutan.

Menurut Bank Dunia, Lebanon tidak cuma "termasuk negara dengan krisis paling parah di dunia sejak pertengahan abad ke-19,” tetapi juga dipastikan mengalami "vakumnya lembaga-lembaga negara yang semakin memperlambat resolusi krisis dan reformasi kritis,” tulis badan dunia itu.

Punahnya kelas menengah

Kontraksi ekonomi yang dibarengi devaluasi mata uang Pound sebesar 95 persen berakibat pada anjloknya populasi kelas menengah. Terhitung sejak Maret 2020 lalu, Bank Dunia mendegradasi status Lebanon ke kelompok negara berpenghasilan rendah dan menengah.

"Sebelum krisis, warga yang berpenghasilan 1.500 Pound Lebanon punya uang setara USD 1.000. Sekarang nilainya kurang dari USD 200,” kata Hussein Cheaito, ekonom di The Policy Initative, sebuah lembaga wadah pemikir di Beirut.

Lembaga riset Arab Barometer September lalu menemukan, hampir separuh penduduk Lebanon mengaku mengalami rawan pangan lantaran lonjakan harga. "Jutaan warga Lebanon jatuh miskin dan terpaksa berhemat makanan,” kata Lena Simet, peneliti Human Rights Watch (HRW).

Salah satu sumber ketimpangan adalah sistem perpajakan yang sangat regresif. "Lebanon termasuk surga pajak karena minimnya pajak kemakmuran atau korporasi,” kata Hussein Cheaito, peneliti The Tahrir Institute for Middle East Policy kepada DW.

Artinya, "hanya sedikit sekali persentase kemakmuran yang mengalir untuk kemaslahatan bersama,” imbuhnya.

Ambruknya ekonomi Libanon

"Realitanya saat ini adalah salah satu sumber pemasukan terpenting bagi keluarga saat ini adalah kiriman uang dari anggota keluarga di luar negeri,” kata Lynn Zovighian, Direktur Zovighian Partnership, lembaga investasi yang fokus pada intervensi sosial dan ekonomi.

"Ambruknya sektor swasta dan kontraksi pada kas negara mendorong lonjakan angka pengangguran,” kata dia lagi. "Lebanon kini sedang menjalani dolarisasi perekononomian nasional.” Dalam artian, keluarga kini menggantungkan pemenuhan kebutuhan mereka, dari kiriman uang sanak keluargnya yag bekerja di luar negeri.

Saat ini pemerintah di Beirut sudah mengamankan pinjaman senilai USD 3 miliar dari Dana Moneter Internasional. Tapi rencana pemulihan ekonomi yang digodok pemerintah tidak mencantumkan bantuan bagi warga miskin.

"Tiga miliar US Dolar hanya cukup untuk mengukuhkan ekonomi agar mandiri, mengingat jumlah kerugian di sektor keuangan yang setidaknya bernilai USD 70 miliar,” imbuh Chaeito.

Stabilisasi ekonomi makro

"Apa yang menjamin bahwa korporasi swasta tidak sengaja melambungkan harga dan inflasi, seperti yang kita lihat di Amerika Latin? Ini artinya kaum super kaya akan dimudahkan untuk mengakses layanan pinjaman,” kata analis tersebut.

Menurutnya, stabilisasi ekonomi makro adalah satu-satunya solusi untuk menyelamatkan Lebanon dari kebangkrutan dan mencegah bencana kelaparan. 

"Saya mendukung redistribusi kerugian dari sektor keuangan, untuk menjamin bahwa kita punya rencana pemulihan ekonomi yang jelas dan melindungi warga berpenghasilan kecil dan menengah,” kata Chaeito.

"Kemakmuran harus di-rekapitalisasi, tanpanya akan mustahil untuk bisa melihat berkurangnya ketimpangan kekayaan di Libanon.”

rzn/as

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya