Menggapai harapan kehidupan yang lebih baik, lewati berbagai risiko, mereka tiba di Eropa. Tapi perjalanan masih harus diteruskan sampai negara impian, atau dengan paksa dihentikan, dan kembali ke negara mereka.
Iklan
Pintu perbatasan menuju Macedonia di Idomi telah ditutup hari Senin (21/02). Pada hari Selasa-nya (22/02/16), rasa kebingungan menyeliputi para pengungsi Afghanistan saat mereka tiba di Idomeni, perbatasan antara Macedonia dan Yunani. Tidak ada informasi sama sekali, apakah mereka akan diperbolehkan melintasi perbatasan itu atau tidak. Pintu perbatasan tertutup rapat dengan penjagaan yang sangat ketat.
Ketegangan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah pengungsi yang tiba. Sekitar 5000 pengungsi asal Afganistan yang tertahan di sana, tidak dapat melintasi Macedonia untuk melanjutkan perjalanan menuju Jerman.
Mereka mulai melakukan aksi protes, mendesak dibukanya perbatasan. Beberapa orang berhasil memanjat pagar kawat pembatas dan berhasil menyeberang ke wilayah Macedonia.
Dan hari ini, Rabu (23/02/16), pemerintah Yunani mulai membersihkan Idomeni, mengevakuasi pengungsi Afghanistan, diberangkatkan dengan bus menuju tempat penampungan di Athena. Upaya evakuasi mendapat perlawanan dari para pengungsi. Mereka tidak bersedia ditempatkan di penampungan pengungsi, karena khawatir akan dipulangkan ke negara mereka.
“Kenapa mereka tidak memperbolehkan orang Afghanistan melanjutkan perjalanan?” demikiaan dipertanyakan para pengungsi. “Kami tidak akan kembali. Kami akan tinggal di sini. Kami bersedia mati di sini, dan tidak akan kembali ke Afghanistan”, kata-kata itu tertera di spanduk berbahasa Persia.
Ali, pria berusia 25 tahun, yang tiba di Idomeni bersama dengan dua saudara perempuannya serta suami dan anak-anak mereka berharap situasi akan membaik bagi mereka. “Saya meninggalkan Afghanitan karena tidak merasa aman. Saya tidak mau kembali ke Athena. Saya tidak punya uang lagi. Saya ingin pergi ke Jerman,” ujar Ali.
Langkah evakuasi yang diambil terlihat tanpa persiapan sama sekali. Tidak cukup tersedia bus yang bisa memberangkatkan seluruh pengungsi. Tidak ingin dikembalikan ke Athena, banyak pengungsi mulai berjalan menuju pelataran parkir sebuah pom bensin yang terletak sekitar 20 kilometer dari Idomeni.
Putus asa, ketidakpastian dan kebingungan menyelimuti mereka. Banyak pertanyaan, namun tidak ada yang bisa menjawab: Kenapa mereka diperbolehkan pergi ke Idomeni dengan feri atau bus, membeli tiket seharga 100 Euro, jika pintu perbatasan ditutup? Kenapa pejabat berwenang di Yunani tidak memberitahu para pengungsi bahwa mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan menuju Jerman? Pertanyaan utama adalah, bagaimana Yunani akan mampu mengatasi bencana kemanusiaan ini, jika mereka tidak mempersiapkan fasilitas yang memadai?
Yang dapat dikatakan sementara ini adalah bahwa tampaknya krisis pengungsi tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Idomeni akan tetap menjadi pintu utama untuk menuju wilayah utara Eropa. Dan cerita seperti ini pasti akan kembali terulang.
Meraup Keuntungan Ekonomi dari Arus Pengungsi
Para pedagang atau sektor informal di Serbia raih keuntungan dadakan dari arus pengungsi yang mengalir ribuan orang setiap hari. Kesengsaraan bagi pengungsi adalah keuntungan bagi pedagang atau penjual jasa di Balkan.
Foto: DW/D. Cupolo
Calo Tiket Bus
Sektor transportasi jadi bisnis yang tumbuh amat cepat di Balkan. Liridon Bizazli, warga Albania menawarkan jasa angkutan bus pada pengungsi di kamp Presevo. Sekali jalan ke Kroasia tarifnya 35 Euro. Bizazli mengatakan, profesinya dulu sebagai pelayan bar hanya digaji 8 Euro per hari. Kini dengan jadi calo penjual tiket bus ia meraup pendapatan 50-70 Euro per hari.
Foto: DW/D. Cupolo
Boleh Naik Bus Gratis
Tapi Bizazli juga bisa fleksibel dan murah hati. Keluarga yang membawa anak, kadang ia gratiskan menumpang bus. Alasannya, Bizazli sejatinya juga pengungsi dari Kosovo. Perjalanan dengan bus seharusnya gratis, ujar dia. Uni Eropa membayar Serbia untuk membantu pengungsi, tapi pemerintah tidak bertindak dan diduga uangnya mengalir ke jalur gelap.
Foto: DW/D. Cupolo
Main Getok Harga
Setiap hari antara 8.000 hingga 10.000 pengungsi datang ke Presevo. Permintaan tinggi membuat toko-toko buka nonstop melayani pengungsi. Terutama toko bahan makanan dan warung makan selalu penuh. Dampaknya sejumlah toko menaikkan harga dua hingga tiga kali lipat, untuk meraup lebih banyak untung dari rezeki dadakan itu.
Foto: DW/D. Cupolo
Jualan SIM Card Hingga Gerobak
Yang mula-mula dicari pengungsi setibanya di Eropa bukan makanan, melainkan SIM Card untuk ponsel agar bisa mengontak keluarga di Suriah. Akibatnya toko penjual prepaid card tumbuh bagai jamur di musim hujan. Bukan hanya itu, gerobak dorong inipun diburu pengungsi. Antara lain untuk mengangkut anak-anak atau kaum wanita yang sakit, seperti perempuan etnis Kurdi dari Suriah ini.
Foto: DW/D. Cupolo
Penjaja Sepatu Laris
Dengan tibanya musim dingin, banyak pengungsi yang semula berjalan kaki telanjang , terpaksa harus membeli sepatu. Jika terus "nyeker" saat musim hujan pada suhu dingin efeknya adalah penyakit infeksi pada kaki dan juga penyakit lebih berat lain. Warga yang jeli berubah profesi jadi penjaja sepatu dan kaus kaki, yang terbukti amat laris.
Foto: DW/D. Cupolo
Jual Beli Dokumen
Semua pengungsi harus meregistrasi diri di negara jalur transit Balkan. Jumlah petugas terbatas menyebabkan antrian panjang ribuan pengungsi yang memerlukan dokumen resmi. Kesengsaraan ini jadi peluang bisnis bagi supir bus yang nakal. Ia mengumpulkan dokumen milik penumpang yang berangkat ke Kroasia. Kembali ke Presevo ia bisa menjual dokumen "aspal" itu kepada pengungsi yang malas antri.
Foto: DW/D. Cupolo
Informasi Penting
Makin banyak sopir bus atau taksi yang berniat buruk, dengan menarik ongkos bagi perjalanan ke Kroasia tapi menurunkan pengungsi di kota terpencil di Serbia. Untuk melindungi para pengungsi dari kejahatan semacam ini, di kamp penampungan ditempel berbagai informasi berharga yang diterjemahkan dalam dalam beberapa bahasa.
Foto: DW/D. Cupolo
Perampokan di Jalan Tol
Bahkan ada sopir bus atau taksi yang terang-terangan mengancam petugas yang mendampingi pengungsi agar terhindar dari kejahatan semacam itu. Alexander Travelle, seorang relawan dari Presevo, melaporkan sebuah keluarga terdiri dari enam orang dirampok oleh sopir taksinya dengan todongan pistol di jalan tol, setelah diperintahkan membayar 80 Euro per kepala untuk perjalanan ke Kroasia.
Foto: DW/D. Cupolo
Semua Harus Bayar Suap
Agar diizinkan menjual tiket bus di kamp pengungsi Presevo, polisi penjaga kamp harus disogok 100 Euro per minggu. Juga sopir bus dan sopir taksi harus membayar "uang keamanan" kepada petugas polisi di kawasan ini. Namun para relawan mengatakan, tidak semua polisi terima sogokan, walaupun sulit membuktikan masih ada aparat yang bersih.
Foto: DW/D. Cupolo
Tarif Hotel Naik Drastis
Suhu makin dingin dan makin banyak pengungsi terpaksa menginap di hotel. Dengan seenaknya pemilik menaikkan tarif dan mengusir pengungsi yang tak mampu membayar sewa kamar. Jalan keluarnya: beberapa orang pengungsi urunan untuk menyewa satu kamar hotel secara berdesak-desakan.