Koalisi LSM Kemanusiaan kembali mengritik Hukum Jinayah di Aceh merugikan perempuan dan bias gender. Namun DPRD Aceh mempertanyakan kenapa keluhan tersebut belum juga dibawa ke ranah hukum.
Iklan
Tiga tahun setelah diberlakukan, Hukum Jinayah di Aceh menuai kritik dari organisasi Hak Azasi Manusia. Koalisi sejumlah LSM yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat menilai penerapan Qanun tersebut berpotensi "menguatkan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan," menurut isi pernyataan pers, Minggu (22/10).
Salah satu pasal yang dinilai bermasalah adalah pasal 52 yang mewajibkan korban menghadirkan alat bukti dan saksi ketika melaporkan tindak perkosaan. "Padahal korban perkosaan sering mengalami dampak psikologis dan trauma yang mengakibatkan mereka sulit menungkapkan apa yang terjadi pada diri mereka,” tulis Jaringan Masyarakat Sipil.
Dalam satu kasus, klaim Koordinator Program Solidaritas Perempuan Nisa Yura, korban perkosaan merupakan penyandang difabel yang malah dituduh melakukan zinah karena tidak mampu menunjukkan bukti. "Akibat pasal itu, korban dan keluarganya tidak berani melaporkan kasusnya kepada kepolisian, karena keterbatasan yang dimiliki korban", ujarnya seperti dilansir BBC Indonesia.
Repotnya terduga pelaku perkosaan bisa dibebaskan dari jerat hukum hanya dengan melakukan sumpah sebanyak lima kali, seperti yang tertera di Pasal 55.
Husni Mubarak, dosen doktorat bidang studi Hukum Syariah dari Universitas Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, mengakui hukum Jinayah masih jauh dari sempurna. "Sebab baik Aceh maupun Indonesia tidak memiliki pengalaman dalam penerapan hukum pidana Islam," tulisnya kepada DW.
"Bentuk hukuman belum memberi perlindungan kepada korban, misalkan untuk kasus perkosaan," tuturnya. Lantaran minimnya dukungan untuk rehabilitasi korban perkosaan, "maka terasa betul perempuan sebagai korban."
Tujuh Fakta Syariah Islam di Aceh
Sejak diterapkan lebih dari satu dekade silam Syariah Islam di Aceh banyak menuai kontroversi. Hukum agama di Serambi Mekkah itu sering dikeluhkan lebih merugikan kaum perempuan. Benarkah?
Foto: AP
Bingkisan dari Jakarta
Pintu bagi penerapan Syariah Islam di Aceh pertamakali dibuka oleh bekas Presiden Abdurrachman Wahid melalui UU No. 44 Tahun 1999. Dengan cara itu Jakarta berharap bisa mengikis keinginan merdeka penduduk lokal setelah perang saudara berkepanjangan. Parlemen Aceh yang baru berdiri tidak punya pilihan selain menerima hukum Syariah karena takut dituding anti Islam.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Kocek Tebal Pendakwah Syariah
Anggaran penerapan Syariah Islam di Aceh ditetapkan sebesar 5% pada Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBA). Nilainya mencapai hampir 700 milyar Rupiah. Meski begitu Dinas Syariat Islam Aceh setiap tahun mengaku kekurangan uang dan meminta tambahan anggaran. DSI terutama berfungsi sebagai lembaga dakwah dan penguatan Aqidah.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Polisi Agama di Ruang Publik
Sebanyak 22 milyar Rupiah mengalir ke lembaga polisi Syariah alias Wilayatul Hisbah. Lembaga yang berwenang memaksakan qanun Islam itu kini beranggotakan 1280 orang. Tugas mereka antara lain melakukan razia di ruang-ruang publik. Tapi tidak jarang aparat WH dituding melakukan tindak kekerasan dan setidaknya dalam satu kasus bahkan pemerkosaan.
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Kenakalan Berbalas Cambuk
Menurut Dinas Syariat Islam, pelanggaran terbanyak Syariah Islam adalah menyangkut Qanun No. 11 Tahun 2002 dan No. 14 Tahun 2003. Kedua qanun tersebut mengatur tata cara berbusana dan larangan perbuatan mesum. Kebanyakan pelaku adalah kaum remaja yang tertangkap sedang berpacaran atau tidak mengenakan jilbab. Untuk itu mereka bisa dikenakan hukuman cambuk, bahkan terhadap bocah di bawah umur
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Cacat Hukum Serambi
Kelompok HAM mengritik penerapan hukum Islam di Aceh tidak berimbang. Perempuan korban perkosaan misalnya harus melibatkan empat saksi laki-laki untuk mendukung dakwaannya. Ironisnya, jika gagal menghadirkan jumlah saksi yang cukup, korban malah terancam dikenakan hukuman cambuk dengan dalih perbuatan mesum. Adapun terduga pelaku diproses seusai hukum pidana Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Petaka buat Perempuan?
Perempuan termasuk kelompok masyarakat yang paling sering dibidik oleh Syariah Islam di Aceh. Temuan tersebut dikeluhkan 2013 silam oleh belasan LSM perempuan. Aturan berbusana misalnya lebih banyak menyangkut pakaian perempuan ketimbang laki-laki. Selain itu penerapan Syariat dinilai malah berkontribusi dalam sekitar 26% kasus pelecehan terhadap perempuan yang terjadi di ranah publik.
Foto: picture-alliance/epa/N. Afrida
Pengadilan Jalanan
Ajakan pemerintah Aceh kepada penduduk untuk ikut melaksanakan Syariah Islam justru menjadi bumerang. Berbagai kasus mencatat tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat terhadap tersangka pelanggar Qanun. Dalam banyak kasus, korban disiram air comberan, dipukul atau diarak tanpa busana. Jumlah pelanggaran semacam itu setiap tahun mencapai puluhan, menurut catatan KontraS
Foto: AP
7 foto1 | 7
Hukuman cambuk terus meningkat sejak Hanun Jinayah diberlakukan pada tahun 2014. Menurut pantauan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sepanjang 2016 Mahkamah Syariah Aceh telah memutuskan 301 putusan perkara jinayat antara Januari hingga November. Sepanjang 2016, ICJR mencatat 339 terpidana telah dieksekusi cambuk di seluruh wilayah Aceh.
Sementara, di tahun 2017, ICJR mencatat 188 orang yang dihukum cambuk antara Januari hingga September 2017.
Kepada BBC Indonesia, anggota DPRD Aceh Nur Zahr, mengritik Jaringan Masyarakat Sipil lantaran tidak pernah mengambil langkah hukum buat membenahi Hukum Jinayah. "Jangan berpolemik di media saja, tapi di ranah hukum," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Menteri Agama Lukman Saifudin. Ketika Jaringan Masyarakat Sipil mempermasalahkan Syariah Islam di Aceh 2015 silam, dia mempersilakan untuk menempuh jalan hukum. "Kalau ada pihak yang menganggap Qanun itu tidak sesuai dengan prinsip perundangan nasional, bisa mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung," katanya.
Inilah Provinsi Paling Rawan Pelecehan Seksual
Indonesia belakangan didaulat sedang menghadapi darurat pemerkosaan dan pelecehan seksual. Ironisnya provinsi Aceh tergolong yang paling banyak mencatat kasus pencabulan terhadap perempuan dan anak-anak.
Foto: Imago/Xinhua
Darurat Pelecehan Seksual?
Menurut data Komisi Nasional Perempuan, tahun 2016 Indonesia mencatat lebih dari 6000 kasus kekerasan seksual. Sebagian di antaranya terjadi di rumah tangga. Sementara sisanya di komunitas-komunitas sosial. Tapi provinsi mana yang paling rawan tindak kekerasan seksual?
Foto: Getty Images
#1. Aceh
Yayasan Kita dan Buah Hati mendaulat Aceh sebagai provinsi dengan tingkat kasus pelecehan seksual tertinggi di Indonesia. Korban tidak cuma perempuan. Menurut data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak-anak, daerah Syariat Islam itu tahun 2015 mencatat 147 kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur.
Foto: picture-alliance/dpa/H. Simanjuntak
#2. Jawa Timur
Lembaga Bantuan Hukum Surabaya mencatat sepanjang tahun 2015 terdapat 116 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak di Jawa Timur. Angka tersebut sudah banyak menurun dari tahun sebelumnya yang sebesar 183 kasus kekerasan.
Foto: Getty Images
#3. Jawa Barat
Setiap bulan 17 perempuan di Jawa Barat mengalami pelecehan seksual. Catatan muram tersebut berasal dari Data Kekerasan Seksual yang dipublikasikan Komisi Nasional untuk Perempuan. Menurut Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, kabupaten Bandung dan Bandung Barat menjadi daerah yang mencatat kasus kekerasan seksual tertinggi.
Foto: Imago/Xinhua
#4. DKI Jakarta
Menurut data kepolisian, sepanjang 2014 Jakarta mencatat 63 kasus pemerkosaan terhadap perempuan. Sementara kasus pelecehan seksual yang melibatkan bocah di bawah umur tercatat hampir mendekati angka 300 kasus.
Foto: Ulet Ifansasti/Getty Images
#5. Sumatera Selatan
Tahun 2014 Sumatera Selatan mencatat 111 kasus pemerkosaan dan pelecehaan seksual terhadap perempuan. Jumlahnya tidak banyak berubah di tahun 2015.