Quo vadis Vietnam? - Vonis berat bagi disiden
6 Februari 2013 "Vonis itu mengejutkan dan lebih buruk dari dugaan semula." Kemarahan Phil Robertson terdengar saat berbicara dengan DW. Direktur untuk Asia organisasi HAM Human Rights Watch itu menilai hukuman yang dijatuhkan pada 22 anggota sebuah perhimpunan politik berorientasi agama di salah satu provinsi Vietnam awal pekan ini terlalu berlebihan.
Pimpinan perhimpunan tersebut divonis 21 tahun penjara, anggota lainnya dihukum antara 10 sampai 17 tahun. Mereka didakwa melakukan kegiatan makar dan subversif. Kelompok yang menurut kantor berita Vietnam AVI beranggotakan 300 orang didirikan tahun 60-an dan resmi dilarang pemerintah sejak 1975. Tidak jelas apa visi dan misi dari perhimpunan ini, apakah mereka adalah kelompok religius, politik atau pelindung lingkungan. Setidaknya media pemerintah sepakat dalam satu hal: kelompok ini sama sekali tidak menggunakan kekerasan dalam menggolkan targetnya. Tapi justru inilah yang membuat beratnya hukuman yang dijatuhkan semakin tidak masuk akal. "Sangat sulit menentukan, apa sebenarnya motif di balik proses pengadilan ini, seluruhnya tidak transparan."
Tekanan terus meningkat
Robertson, dan begitu juga Gerhard Will dari Yayasan Pendidikan dan Politik di Berlin, menilai vonis ini berfungsi untuk menakut-nakuti warga. "Hukuman yang tinggi sekaligus merupakan peringatan bagi warga lainnya, " kata Will. Ia menduga, pemerintah Vietnam sengaja memilih kelompok kecil yang tidak dikenal di kancah internasional dan menjatuhkan hukuman sangat berat. Dengan begitu, pemerintah mengirimkan isyarat jelas ke dalam negeri, tanpa perlu kuatir adanya gelombang protes dari luar negeri. Tapi bagi warga Vietnam, pesan yang ingin disampaikan sangat jelas: pemerintah tetap berkuasa, dan mampu menghukum siapapun yang berani mengutarakan pendapat berbeda.
Baik Robertson maupun Will melihat kasus ini sebagai kelanjutan politik restriktif yang dijalankan pemerintah Vietnam tahun-tahun belakangan. "Tekanan terhadap warga semakin meluas dan sistematis," dijelaskan Robertson. Januari tahun ini, 14 disiden, di antaranya penganut agama Katolik, blogger, mahasiswa dan petani dihukum penjara dengan dakwaan serupa.
Represi terhadap warga Vietnam semakin kuat karena meningkatkan ketegangan dalam masyarakat, terutama karena situasi ekonomi yang semakin sulit di negara Asia Tenggara itu. Legimitasi pemerintah selama ini berpatok pada kesepakatan bahwa "pemerintah menjaga agar pertumbuhan ekonomi tetap kuat dan bertanggung jawab meningkatkan taraf hidup rakyat. Tapi sebagai gantinya, pemerintah berkuasa secara penuh. Tapi jalan tengah yang selama ini menopang Vietnam kini mulai runtuh," kata Will. "Krisis ekonomi dan hiperinflasi membuat pemerintah was-was," dikatakan Robertson.
Perpecahan di kalangan politik
Kini, tak hanya pihak oposisi yang kritis terhadap pemerintah. Di kalangan elit politik juga muncul suara-suara sumbang. Tanggal 19 Januari, 72 intelektual dan bekas petinggi politik Vietnam menandatangani petisi yang menuntut reformasi undang-undang dasar. Di antara mereka yang berani menyuarakan pendapatnya antara lain mantan menteri kehakiman Nguyen Dinh Loc dan bekas menristek Nguyen Quang A. Mereka antara lain menuntut dimasukkannya perlindungan hak asasi manusia dalam undang-undang dasar, pembagian kekuasaan dalam pemerintahan dan penugasan angkatan bersenjata untuk melindungi bangsa dan negara. Selama ini, tugas utama militer adalah melindungi Partai Komunis, baru kemudian melindungi negara.
Gagasan untuk meninjau kembali undang-undang dasar sebenarnya datang dari pemerintah, yang sebelumnya dalam referendum selama tiga bulan menanyakan pendapat para warga. Ini menunjukkan bahwa "pemerintah Vietnam tidak monolitik, di dalamnya ada sejumlah fraksi," dijelaskan pakar Asia Will. Fraksi-fraksi ini berbeda pendapat menyoal jalan terbaik untuk mengangkat Vietnam dari krisis.
Para penandatangan petisi ini mendukung perubahan dan menuntut agar Vietnam membuka diri. Sebaliknya, sayap kiri dalam pemerintahan menuntut perluasan kekuasaan dengan memperketat pengawasan polisi dan hukum. "Saya mendapat kesan, bahwa di dalam partai ada kelompok yang sungguh-sungguh mengandalkan represi warga. Fraksi ini menguat dalam setahun, dua tahun terakhir." Vonis yang baru saja dijatuhkan di Provinsi Phu Yen adalah buktinya.